Halaqah Aswaja ke-2 digelar oleh para pegiat Aswaja Jombang bersama Ketua PWNU Jawa Timur KH. Abdul Hakim Mahfudz (Kiai Kikin) di Pesantren Tebuireng, Rabu (07/05/2025). Foto: Sutan

Tebuireng.online- Halaqah Aswaja ke-2 digelar oleh para pegiat Aswaja Jombang bersama Ketua PWNU Jawa Timur KH. Abdul Hakim Mahfudz (Kiai Kikin) di Pesantren Tebuireng, Rabu (07/05/2025) pagi. Halaqah ini membahas seputar parameter Aswaja Hadratussyaikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, fleksibilitas fikih aqalliyat di wilayah minoritas muslim, serta representasi Aswaja bagi kalangan Gen Z.

Dalam pembuka, Kiai Kikin mengungkapkan satu kegelisahan bahwa, “Ada ilmu-ilmu baru yang didukung oleh peralatan yang luar biasa canggih. Manfaatnya bisa dirasakan jika dilandasi dengan adab, sebaliknya jika tidak dilandasi itu akan muncul mudharat. Karena, siapa yang menggunakan ilmu ini, dia akan sangat mampu membuat banyak hal. AI (Artificial Intelligence) merupakan penemuan yang sangat luar biasa. Bahkan ada orang yang menganggap ‘barang’ ini hidup. Karena ia dilengkapi dengan search engine dan algoritma sehingga cara kerjanya persis dengan otak manusia. Itu riset yang luar biasa sehingga seola-olah hidup,” ungkap beliau.

“Tapi mesin tetaplah mesin, lalu bagaimana kita menghadapi itu semua. Saya membuka-buka turats peninggalan Hadratussyaikh, kita masih berlandaskan itu. Belum ada tulisan-tulisan lain yang bisa menerjemahkan itu. Usia turats itu sudah 80-tahunan, kita harus berpikir jangan sampai sudah 100 tahun kita belum punya hal apa yang harus kita lakukan ke depan. Sementara perkembangan ilmu yang lain sangat luar biasa,” imbuh Pengasuh Pesantren Tebuireng ini.

Beliau menegaskan, “Maka kita harus punya patok yang kuat, sehingga kita mau ke mana pun, sepanjang tali dipanjangkan masih terkendali dengan patok itu,” ucap beliau.

Sementara itu, KH. Bey Arifin mengawali diskusi dengan bahasan fikih aqalliyat (minoritas) yang secara realitas dialami oleh anak-anak gen Z, baik pelajar, pekerja, maupun politisi di luar negeri. Ia menceritakan, misalnya di Amerika, keponakannya mengalami kesulitan dalam mengekspresikan keagamaannya, mulai dari soal makanan, pakaian, dan tingkat pergaulan serta budaya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain itu, ia bercerita ketika anaknya di Eropa, Paris tahun 2018, saat terjadi pengeboman. Islamphobia di sana sangat tinggi, sehingga Islam wasathiyah sangat tepat untuk dibawa ke sana. Karena opini yang terbangun di sana, Islam identik dengan terorisme sebab Islam yang dibawa ke sana itu Islam yang berhaluan keras (kaku).

Dalam esainya berjudul “Jembatan Dua Zaman: Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari sebagai Solusi Tantangan Era Digital”, Aswaja ini menjadi landasan untuk mengembangkan epistemologi pemikiran Kiai Hasyim, dengan lima poin yaitu keteladanan ilmu dan keikhlasan, komitmen terhadap tradisi dan kearifan lokal, moderasi dan toleransi, pendidikan berbasis karakter.

Selain itu, KH. Yusuf Suharto, Mudir Ma’had Aly Denanyar, dalam bahasan fikih aqalliyat, mengungkapkan bahwa dawuh Kiai Hasyim dalam ziyadah ta’liqat, ada indikasi ‘kebolehan’ atau kemungkinan untuk mengambil pandangan di luar 4 mazhab.

“Asal mudawan, terpercaya, dan dikutip oleh ulama-ulama Aswaja. Artinya kita mempermudah, apalagi dalam konteks luar negeri,” katanya.

Menurutnya, kitab risalah ahlussunah Kiai Hasyim itu perlu di-syarah-i atau diberi catatan kaki. Maka ini perlu rumusan dan harus hati-hati. “Saya kira kalau ada istilah ijtihad kolektif, maka syarah juga bisa syarah kolektif sesuai dengan porsi masing-masing,” imbuhnya.

“Ketika kiai Hasyim menulis tentang kentongan itu dijawab oleh Kiai Faqih Maskumambang dengan hazzur ru’us. Itu pandangannya menarik sekali. Artinya, elaborasi pemaknaan ini, kita bisa variatif. Karena pandangan Mbah Hasyim dianggap sebagai satu ‘pandangan’ kemudian disanding dengan pemaknaan Kiai Faqih terhadap hadis man tasyabbaha bibqoumin fahuwa minhum. Menarik, karena muaasis itu punya pandangan sendiri-sendiri sehingga kita bebas memilih yang mana,” tutur penulis buku Ahlussunnah Wal Jama’ah: Fikih dan Landasan Amaliyah ini.

Ia melanjutkan, “Suatu hari kami bertemu seorang profesor bilang ke saya, ‘tantangan kita itu berat. Aswaja itu jangan dibuat tebal-tebal kitabnya, bagaimana Aswaja itu dijelaskan dalam satu lembar’,” ceritanya.

KH. Yusuf Suharto saat memaparkan penjelasan di forum. Foto: Sutan

Mengenai konsep Aswaja yang ditulis oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Majid, Ketua Aswaja Center Jombang, mengelaborasi dalam pendekatan turats. “Kiai Hasyim di dalam Risalah Ahlu Sunnah wal Jamaah, mempunyai pola definisi; pertama secara lughot, syari, dan ‘urf. Sunnah secara etimologi adalah jalan, walaupun tidak diridai, ini dikutip dari kitab al-Kulliyat Abul Baqa’ Al-Kafawi seorang ulama Hanafiyah wafat 1094 H. Kemudian Kiai Hasyim menyebutkan Aswaja secara terminologi syar’i, jalan yang ditempuh oleh Rasulullah atau orang yang ahli di dalamnya. Sedangkan sunnah secara ‘urf itu adalah sesuatu yang menjadi tradisi orang yang diikuti baik itu nabi atau wali. Selain itu, di tulisannya, Kiai Hasyim juga merujuk definisi Aswaja dari Syekh Ahmad Zaruq seorang ulama Malikiyyah, di uddatil murid yang wafat 899 H. Kemudian ada kutipan juga dari Syekh Izzudin ibni Abdissalam wafat 660 H yang bermazhab Syafi’i,” terangnya.

Ia menegaskan, artinya formulasi konsep yang ditawarkan oleh Kiai Hasyim di dalam Risalah Ahlu Sunnah wal jamaah itu, beliau semaksimal mungkin memadukan pendapat antar mazhab. “Yang perlu kita gali ialah kenapa Kiai Hasyim menulis seperti ini. Bukan hanya memamahi tulisan saja. Apakah risalah ini shalih li kulli zaman wa makan. Saya yakin kiai Hasyim akan meridai jika ada komentar dan sebagainya, karena ini ranahnya adalah keilmuan,” katanya.

Dalam keterangan tambahan tentang hakikat ilmu, KH. Zainuridha menjelaskan, beliau mengutip dari perkataan Syekh Ali Jum’ah, bahwa ilmu itu nur (cahaya). Sedangkan science dan knowledge itu adalah ma’lumat tajribiyyah (Informasi percobaan).

“Ilmu adalah nur, cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati seseorang yang beriman sehingga ketika menerima ma’lumat tajribiyyah itu membuat hatinya semakin takut kepada Allah. Kita sebagai Aswaja memahami ilmu itu bukan science atau knowledge, Syekh Ali Jum’ah menekankan, ‘ilmu bil akhlaq wal amal bil ikhlas. Itu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Maka, dari itu akan berkembang sangat pesat,” terangnya.

Seiring itu, KH. Nur Hannan, Ketua AMALI (Asosiasi Mahad Aly Indonesia) menceritakan, bahwa beliau pernah diskusi lama di kamar perpustakaan Gus Baha (KH. Baha’uddin Nursalim). Gus Baha’ menyampaikan, di Tebuireng harus ada kajian kitab-kitabnya Hadratussyaikh, yang populer kitab risalah ahlussunah wal jamaah, dari situ kemudian membuat semacam kaidah umum dan rumusan dari pemikiran Hadratussyaikh.

“Ini merupakan usulan beliau dan di Tebuireng dapat melakukan itu. Oleh karena itu, saya berharap dari kajian kajian seperti ini dapat merumuskan kaidah-kaidah umum tadi. Sehingga kaidah ini bisa dibaca oleh masyarakat secara luas. Bisa menyikapi peristiwa baru yang memang tidak disebutkan di dalam kitab tersebut. Maka perlu dilakukan ta’liq atau tahqiq dari kitab tersebut. Taqlid ba’da ‘amal itu ‘kan kaidah umum yang diperbolehkan. Itu contohnya,” kata Pengasuh PP. Al-Hasyim ini.

Lebih lanjut, Kiai Hannan juga menyebutkan bahwa, kita bisa mengeksplorasi pemikiran-pemikiran yang masih dalam kerangka mazhab empat. Realitanya dalam praktik, yang paling dominan adalah mazhab Syafii. Penelitian Prof. A. Zahro di tesisnya juga menyebutkan bahwa hasil-hasil bahtsul masail NU itu didominasi pendapat di kalangan Mazhab Syafii.

Mengenai fenomena keberagamaan di internet, Dr. M. Hamsa Fauriz, Wakil Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, ikut memberi komentar bahwa, dalam teori Religious-Social Shaping of Technology yang diperkenalkan oleh Heidi Campbell dalam bukunya When Religion Meets New Media (2010) menyatakan teknologi digital sangat mempengaruhi perkembangan dan pemikiran.

“Radikalisme dan terorisme banyak sekali di internet, itu mengisi ruang digital, sedangkan cara agama menanggulanginya ialah dengan moderasi beragama. Selain itu, ada pengaruh yang membuat Aswaja atau paham agama terhalang, salah satunya adalah kehidupan materialistik. Misalnya, setelah lulus, siswa punya orientasi untuk kerja saja. Sehingga ilmu tadi tidak jadi cahaya, orientasi belajar tidak betul-betul untuk ilmu. Maka dari itu, Aswaja harus dikemas hadir di dunia digital,” jelasnya.

KH. Abdul Hakim Mahfudz saat memaparkan tanggapan terhadap forum. Foto: Sutan

Di akhir diskusi, Kiai Kikin membahas hal lain yang juga penting, yaitu proxy war. “Dulu saya pernah membaca, proxy war. Sebenarnya proxy war itu bagaimana mempengaruhi orang lain agar dia itu terpengaruh. Tapi sekarang itu dibelokkan, seolah-olah cerita proxy war dinarasikan besar, perang antar negara, ini mengendalikan itu dan sebaliknya. Tapi kita sekarang ini tersendat dipengaruhi oleh gadget. Maka satu satunya benteng ialah keilmuan yang dari nur,” pungkas beliau.


Pewarta: Sutan