
Dewasa ini, penggunaan media sosial terutama TikTok, bagi sebagian orang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan, terutama di kalangan remaja. Banyak yang merasa tertekan untuk tampil sempurna dan mengikuti gaya hidup Barat yang mewah, seringkali tanpa mempertimbangkan latar belakang hidup yang berbeda. Tren ini tidak hanya memengaruhi penampilan, tetapi juga cara berbicara yang semakin jauh dari nilai etika.[1]
Dari realitas ini, akhirnya memunculkan tak sedikit orang yang kehilangan jati dirinya. Mereka seakan dipaksa untuk hidup mengikuti standar yang ditetapkan oleh lingkungan atau tren, meskipun hal itu seringkali berada di luar batas kemampuan mereka sendiri. Tuntutan gaya hidup yang terus meningkat menjadikan banyak orang terjebak dalam perlombaan semu, hingga perlahan identitas diri mereka memudar. Oleh karena itu, penting untuk menumbuhkan sikap hidup sederhana, atau minimalisme, sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan sifat konsumtif yang tidak perlu yaitu dengan menyederhanakan kebutuhan dan berpegang pada prinsip qanaah.
Minimalisme adalah suatu konsep yang belakangan ini semakin populer, didorong oleh berbagai alasan yang positif. Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari hidup ‘dengan lebih sedikit’. Minimalisme berfokus pada memiliki hanya hal-hal yang memberikan nilai tambah bagi diri sendiri dan orang-orang terdekat, serta melepaskan segala sesuatu yang tidak diperlukan.[2] Karakter minimalisme punya kesamaan dengan konsep qanaah dalam Islam.
Qana’ah adalah salah satu ajaran dalam Islam yang mencerminkan sikap menerima dengan ikhlas dan merasa cukup atas segala pemberian Allah SWT. Individu yang memiliki sifat qana’ah biasanya menunjukkan rasa puas terhadap kehidupannya. Kepuasan ini muncul ketika seseorang mampu melihat dan menilai berbagai peristiwa serta pencapaian dalam hidupnya secara positif.[3]
Secara etimologis, qana’ah berarti menerima apa adanya dan tidak bersikap rakus. Menurut Hamka, qana’ah dimaknai sebagai sikap menerima segala sesuatu dengan rasa cukup. Seseorang yang memiliki sifat ini akan merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Qana’ah mengajarkan untuk tidak mudah takut atau ragu, tetap tenang dalam berpikir, serta senantiasa berserah diri kepada Allah SWT sambil mengharapkan pertolongan-Nya. Ia juga mengajarkan untuk tidak mudah kecewa ketika harapan tak terpenuhi.
As-Sayyid Bakri al-Makki menyebut qana’ah sebagai sifat yang mulia. Al-Faruq menjelaskan bahwa qana’ah berasal dari bahasa Arab yang berarti rela dan senang hati menerima apa yang diberikan. Orang yang memiliki sifat qana’ah akan merasa cukup dengan rezeki yang diperoleh dan selalu bersyukur atas nikmat yang ada. Sementara itu, menurut Qurthubi, secara bahasa qana’ah adalah sikap menerima hasil yang didapat dengan penuh keikhlasan terhadap keadaan yang dialami. Dalam pengertian istilah, qana’ah berarti menerima segala sesuatu dengan tulus, serta memanfaatkan apa yang dimiliki sebatas untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.[4]
Sikap qana’ah memberikan dampak yang besar bagi seseorang yang mampu merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Mereka cenderung merasa lebih bahagia dan tentram dibandingkan dengan orang-orang yang selalu diliputi rasa kurang. Jiwa yang dipenuhi dengan qana’ah dipercaya lebih siap menghadapi tantangan hidup dan lebih mudah meraih kebahagiaan sejati.
Qana’ah juga berperan sebagai pengendali dalam menjalani kehidupan, karena seseorang yang memiliki sifat ini akan senantiasa lapang dada, hatinya tenteram, dan merasa berkecukupan. Tidak sedikit orang yang secara lahiriah hidup berkecukupan, bahkan terkesan mewah, namun jiwanya dihantui kegelisahan dan sifat tamak. Sebaliknya, ada pula mereka yang hidup dalam keterbatasan materi, namun hatinya dipenuhi kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan.[5] Dalil qonaah ini di jelaskan dalam al-Quran surat Al-An’am ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
Artinya: Siapa saja yang beramal saleh baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia adalah orang beriman, maka kami akan menghidupkannya dengan kehidupan yang baik. (Q.S. Al-An’am ayat 97).
Lafaz ḥayātan ṭayyibah memiliki beragam penafsiran dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satu makna yang disampaikan dalam kitab Tafsir al-Baghawi adalah bahwa ḥayātan ṭayyibah dimaknai sebagai sikap qana’ah.[6]
Di sisi lain qana’ah sendiri merupakan salah satu jalan bagi seseorang untuk menumbuhkan rasa syukur dalam hidupnya. Tanpa sikap qana’ah, seseorang akan terus memandang ke atas, membandingkan dirinya dengan apa yang dimiliki orang lain. Akibatnya, ia tak pernah merasa puas atas pencapaiannya sendiri, bahkan lupa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan. Dalam ketidakterbatasan keinginan, qana’ah hadir sebagai penyeimbang, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada banyaknya harta, melainkan pada hati yang mampu merasa cukup.
Sikap qana’ah ini merupakan sikap yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini didukung oleh hadis yang tercantum dalam kitab Risalah Qusyariah,[7] mengatakan;
عن أبي هريرة، رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كن ورعاً تكن أعبد الناس، وكن قنعاً تكن أشكر الناس؛ وأحب للناس ما تحب لنفسك تكن مؤمناً وأحسن من جاورك تكن مسلماً، وأقل الضحك، فإن كثرة الضحك تميت القلب
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Jadilah kamu orang yang wara, niscaya kamu menjadi hamba Allah yang paling taat. Jadilah kamu orang yang qanaah, niscaya kamu menjadi orang yang paling bersyukur. Perbuatlah kepada orang lain apa saja yang juga menyenangkan dirimu, niscaya kamu menjadi seorang mukmin yang sempurna. Berbuatlah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu menjadi seorang muslim yang baik. Sedikitkan tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.
Dengan demikian, kecerdasan emosional dan spiritual memegang peranan penting bagi setiap individu dalam menjaga keseimbangan dan mengontrol kehidupannya. Terutama bagi generasi muda saat ini, yang hidup di era digitalisasi yang serba cepat dan modern, tentu membutuhkan pegangan agar tidak mudah terpengaruh oleh doktrin-doktrin yang berkembang di media sosial. Dalam konteks ini, ilmu tasawuf berperan sebagai benteng yang dapat membantu individu tetap teguh dan bijak melihat kondisi sosial yang ada saat ini.
Tasawuf sendiri memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial, terutama dalam menyelesaikan berbagai masalah dan penyakit sosial yang ada. Amalan-amalan yang terkandung dalam ajaran tasawuf dapat membimbing seseorang untuk menjalani kehidupan dunia dengan menjadi pribadi yang bijaksana, arif, dan profesional dalam bermasyarakat.
Selain memperhatikan realitas fisik, tasawuf juga mengajarkan pemahaman terhadap realitas batin, sehingga individu dapat berinteraksi secara harmonis, seimbang, dan serasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam ibadah maupun muamalah, dengan berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam. Seseorang yang dikendalikan oleh hawa nafsu, dan tidak mampu mengendalikan dirinya, cenderung akan terjerumus dalam perbuatan negatif, seperti membenarkan segala cara demi mencapai tujuan dan kesenangan pribadi. Menurut Al-Ghazali, orang seperti ini akan mengarah pada kehancuran moral.[8] Maka inilah jati diri seorang muslim, ada landasan karakter yang dibangun melalui aspek zahir dan batin. Maka fenomena apa pun yang terjadi di luarnya seperti ‘standar Tik Tok’ dan sebagainya, tidaklah punya dampak yang begitu signifikan jika karakter muslim itu sudah tertanam dalam diri kita.
Baca Juga: Mengkaji Ulang Dakwah Para Influencer di Media Sosial: Anugerah atau Petaka?
[1] Kadek Ari Setia Utama Putra et al., “Persepsi Masyarakat Terhadap Aplikasi TikTok Sebagai Media Menurunkan Tingkat Stres Di Era Pandemi Covid-19,” Widya Duta: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Budaya 16, no. 1 (2021): 67–73.
[2] Jainul Arifin, Nurul Hikmah Sofyan, and Imam Prayogo Pujiono, “FILSAFAT KEHENDAK SCHOPENHAUER DAN SIFAT QANA’AH SEBAGAI LANDASAN GAYA HIDUP MINIMALIS,” Academic Journal of Islamic Principles and Philosophy 5, no. 2 (2024): 199–228.
[3] Iswan Saputro, Annisa Fitri Hasanti, and Fuad Nashori, “Qana’ah Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Kepuasan Hidup Dan Stres,” Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris 3, no. 1 (2017): 11–20.
[4] Agus Kurniawan, “Pengaruh Antara Qana’ah Terhadap Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa Universitas Islam Riau,” Universitas Islam Riau, 2020, https://repository.uir.ac.id/14322/1/168110082.pdf.
[5] Silvia Riskha Fabriar, “AGAMA, MODERNITAS DAN MENTALITAS: Implikasi Konsep Qana’ah Hamka Terhadap Kesehatan Mental,” Muharrik: Jurnal Dakwah Dan Sosial 3, no. 02 (2020): 227–43.
[6] Abū Muḥammad al-Ḥusayn bin Mas‘ūd bin Muḥammad bin al-Farrā’ al-Baghawī asy-Syāfi‘ī (wafat: 510 H), Tafsīr Al-Baghawī (Dār Iḥyā’ at-Turāth al-‘Arabī – Bairūt, n.d.).
[7] Abd al-Karim bin Hawaazin bin Abd al-Malik al-Qushayri (al-Mutawaffa: 465 H), Al-Risalah al-Qushairiyyah (Dar al-Ma’arif, Cairo, n.d.).
[8] A. S. Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf / Asmaran,AS (Raja Grafindo Persada, 1994).
Referensi:
(al-Mutawaffa: 465 H), Abd al-Karim bin Hawaazin bin Abd al-Malik al-Qushayri. Al-Risalah al-Qushairiyyah. Dar al-Ma’arif, Cairo, n.d.
Arifin, Jainul, Nurul Hikmah Sofyan, and Imam Prayogo Pujiono. “FILSAFAT KEHENDAK SCHOPENHAUER DAN SIFAT QANA’AH SEBAGAI LANDASAN GAYA HIDUP MINIMALIS.” Academic Journal of Islamic Principles and Philosophy 5, no. 2 (2024): 199–228.
Asmaran, A. S. Pengantar Studi Tasawuf / Asmaran,AS. Raja Grafindo Persada, 1994.
Fabriar, Silvia Riskha. “AGAMA, MODERNITAS DAN MENTALITAS: Implikasi Konsep Qana’ah Hamka Terhadap Kesehatan Mental.” Muharrik: Jurnal Dakwah Dan Sosial 3, no. 02 (2020): 227–43.
Kurniawan, Agus. “Pengaruh Antara Qana’ah Terhadap Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa Universitas Islam Riau.” Universitas Islam Riau, 2020. https://repository.uir.ac.id/14322/1/168110082.pdf.
Putra, Kadek Ari Setia Utama, Gede Wisnu Permana, Putu Yuna Sephiani, and Ni Komang Sutriyanti. “Persepsi Masyarakat Terhadap Aplikasi TikTok Sebagai Media Menurunkan Tingkat Stres Di Era Pandemi Covid-19.” Widya Duta: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Budaya 16, no. 1 (2021): 67–73.
Saputro, Iswan, Annisa Fitri Hasanti, and Fuad Nashori. “Qana’ah Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Kepuasan Hidup Dan Stres.” Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris 3, no. 1 (2017): 11–20.
(wafat: 510 H), Abū Muḥammad al-Ḥusayn bin Mas‘ūd bin Muḥammad bin al-Farrā’ al-Baghawī asy-Syāfi‘ī. Tafsīr Al-Baghawī. Dār Iḥyā’ at-Turāth al-‘Arabī – Bairūt, n.d.
Penulis: Ahmad Firdaus, Mahasantri M2 Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng