Selembar surat bagi sebagian orang mungkin hanya kertas berisi rangkaian kata. Namun, bagi Raden Ajeng Kartini, setiap goresan pena di atas kertas adalah bara api yang membakar ketidakadilan dan menerangi jalan bagi emansipasi perempuan di zamannya. Surat-suratnya bukan sekadar curahan hati, melainkan juga refleksi mendalam tentang kondisi sosial, pendidikan, dan hak-hak perempuan yang terpasung oleh tradisi. Di balik untaian kalimatnya, tersembunyi kerinduan akan kesetaraan, sebuah nilai universal yang ternyata memiliki resonansi kuat dengan ajaran agama Islam yang dianutnya.

Lantas, bagaimana mungkin seorang perempuan Jawa di awal abad ke-20, yang tumbuh dalam kungkungan adat istiadat, mampu menyuarakan gagasan-gagasan progresif tentang emansipasi, yang sejalan dengan spirit kesetaraan yang dijunjung tinggi dalam Islam? Tulisan ini akan mengajak kita menelusuri jejak pemikiran Kartini melalui surat-suratnya yang sarat makna, sembari menelisik bagaimana nilai-nilai Islam tentang keadilan, ilmu, dan martabat manusia menjadi landasan atau setidaknya beririsan kuat dengan perjuangannya.

Biografi Singkat Raden Ajeng Kartini

Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Jepara, pada tanggal 21 April 1879, lahirlah seorang putri bernama Raden Ajeng Kartini. Ia terlahir dalam keluarga bangsawan Jawa, sebuah lingkungan yang memberikannya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik dibandingkan perempuan seusianya kala itu.

Namun, justru dari jendela pendidikannya inilah, Kartini mulai melihat betapa timpangnya nasib kaum perempuan. Ia menyaksikan bagaimana perempuan dibatasi ruang geraknya, dipingit setelah usia tertentu, dan sulit sekali mendapatkan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri.

Meskipun memiliki privilege sebagai bangsawan, hati Kartini tak pernah tenang melihat ketidakadilan ini. Ia menuangkan kegelisahannya dalam surat-surat yang ia kirimkan kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda. Dari balik tembok kamar pingitannya, Kartini berbagi pemikiran-pemikirannya yang jauh melampaui zamannya. Ia mendambakan pendidikan yang setara bagi perempuan, kesempatan untuk berkarya, dan kebebasan untuk menentukan jalan hidup sendiri. Surat-surat Kartini menjadi jendela bagi dunia luar untuk melihat realita kehidupan perempuan Jawa saat itu, sekaligus menjadi bara api yang membakar semangat perubahan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meskipun hidupnya terbilang singkat, Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan di sekitar rumahnya. Ia ingin memberikan kesempatan yang sama bagi mereka untuk belajar dan meraih mimpi. Sayangnya, Kartini wafat di usia muda, 25 tahun, setelah melahirkan putra pertamanya. Namun, semangat dan ide-idenya tidak ikut terkubur bersamanya.

Surat-suratnya kemudian dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menginspirasi banyak perempuan Indonesia untuk berjuang meraih hak-haknya. Kartini bukan hanya seorang tokoh sejarah, tetapi juga simbol perjuangan emansipasi perempuan dan semangat kesetaraan yang terus hidup dalam jiwa bangsa Indonesia. Setiap tanggal 21 April, kita memperingati Hari Kartini untuk mengenang jasa dan cita-citanya yang mulia.

Semangat Kesetaraan Gender dalam Islam

Secara sederhana, kesetaraan gender berarti perempuan dan laki-laki memiliki hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan. Ini bukan berarti perempuan dan laki-laki harus menjadi sama persis. Kita tahu ada perbedaan biologis dan mungkin juga pilihan hidup yang berbeda.

Di dalam Islam, pembahasan terkait kesetaraan gender menjadi salah satu pembahasan yang cukup menarik. Pendapat mengenai kesetaraan gender dalam Islam seringkali menimbulkan perbedaan tajam dan perdebatan sengit di kalangan pengamat dan aktivis. Ada yang meyakini bahwa ajaran Islam mendukung adanya kesetaraan, namun tak sedikit pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa Islam justru melanggengkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan (Asniah: 2023).

Sudut pandang al-Quran, sebagai rujukan utama hukum Islam sering kali memunculkan kesimpulan yang sifatnya egaliter atau setara. Tidak ada perbedaan tertentu antara laki-laki dan perempuan.

Beberapa nash Al-Qur’an secara eksplisit mengindikasikan status egaliter tersebut. Sebagai ilustrasi, Al-Hujurat (49:13) menjelaskan bahwa Allah Swt. menciptakan umat manusia dengan diversifikasi etnis dan suku bangsa dengan tujuan interaksi sosial yang konstruktif, bukan hierarki. Lebih lanjut, An-Nisa’ (4:124) menyatakan bahwa ganjaran yang setimpal di akhirat akan diberikan kepada individu dari kedua jenis kelamin yang beriman dan melakukan amal saleh.

Berdasarkan premis teologis ini, kesetaraan perlakuan oleh Sang Pencipta terhadap laki-laki dan perempuan menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai justifikasi diskriminasi gender oleh sesama makhluk. Bagaimana kita sebagai makhluk malah melakukan diskriminasi laki-laki dan perempuan, di saat yang sama Allah Swt. sebagai Pencipta alam semesta ini memilih egaliter terhadap masalah tersebut?

Kartini dan Islam: Harmoni Emansipasi dan Kesetaraan Gender

Dari paparan panjang di atas bisa kita simpulkan bahwa apa yang menjadi pikiran Raden Ajeng Kartini terkait emansipasi perempuan sangat selaras dengan nilai ajaran agama Islam. Kartini mencoba untuk menghilangkan sekat-sekat pembatas antara hubungan laki-laki dan perempuan. Di saat yang sama, sumber rujukan utama Muslim, al-Quran sangat mendukung akan hal tersebut.

Keterangan di atas menjadi jawaban atas pertanyaan yang penulis tawarkan di paragraf pembuka, terkait relasi pemikiran Raden Ajeng Kartini dengan nilai-nilai ajaran agama Islam terkait kesetaraan gender. Dari sini juga bisa kita pahami bahwa sosok Kartini adalah sosok yang agamis, tidak hanya dari sisi perilaku, akan tetapi juga dari sisi pemikiran.

Baca Juga: Semangat Kartini Tidak Boleh Hilang dari Perempuan Masa Kini

Penulis: Moch. Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Semester 8 Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang