
“Lihatlah itu, Bu… Aku dikucilkan oleh mereka. Tidak ada yang mau menemani aku,” rintih Ayu sambil memeluk lututnya. Ucapan polos itu membuat sang ibu segera beranjak menghampiri.
Dengan iba, ibu mengusap lembut rambut Ayu. “Siapa, Nak? Bukannya tadi kalian main bareng?” tanya ibu lembut pada Ayu yang baru berusia enam tahun itu.
“Itu, Bu. Bulek Shinta sama Bulek Sari nggak mau main sama aku. Padahal boneka itu punyaku, Bu. Huhuhuhu…” Tangis Ayu kini semakin keras, membuat sang ibu tak tega melihatnya.
Dengan tenang, ibu melangkah ke arah rumah sebelah, tempat Shinta dan Sari berada. Rumah mereka memang bersebelahan, dan keduanya masih terhitung keluarga jauh. Karena itulah Ayu memanggil mereka “Bulek,” meskipun usia mereka hanya terpaut enam tahun.
“Shinta, Sari… Kalau main, ajak Ayu juga ya. Dia masih kecil, Ibu juga repot mau masak. Tolong temani dia bermain, ya,” pinta ibu pelan.
Dari belakang, Ayu mengintip pembicaraan itu sambil mengusap air matanya.
“Iya, Bu. Kami akan mengajaknya main,” jawab Tari.
“Kami juga minta maaf ya, Bu… karena sudah mengucilkan Ayu,” tambah Shinta, menunduk menyesal.
Mereka mencium tangan ibu Ayu, dan tak lama kemudian Ayu pun kembali bermain bersama mereka. Namun sayangnya, yang terjadi bukanlah perdamaian, melainkan awal dari sebuah pertikaian kecil yang tak disangka.
Keluarga Ayu sebenarnya belum memiliki tempat tinggal tetap. Dengan baik hati, Bu Emi ibunya Shinta, menawarkan bantuan agar mereka tinggal di rumah sebelah yang kebetulan sedang kosong karena ditinggalkan penyewa sebelumnya. Ayah Ayu pun menerima tawaran itu dan mulai mengontrak di sana.
Awalnya semua berjalan lancar. Namun seiring waktu, muncul banyak hal yang membuat Ayu dan ibunya merasa tidak nyaman. Mulai dari harga kontrakan yang tiba-tiba naik, hingga Bu Emi yang suka menyebar gosip tak benar tentang ibu Ayu. Bahkan Shinta sempat mencuri beberapa alat tulis milik Ayu.
Suatu hari, ibu Ayu merasa heran saat memeriksa tas sekolah Ayu.
“Ayu, kok pena dan pensil yang Ibu belikan minggu lalu sudah nggak ada? Ke mana, Nak?” tanyanya sambil mengobrak-abrik meja belajar Ayu. Tapi hasilnya nihil, pena dan pensil itu benar-benar hilang.
“Waktu itu Ayu main guru-guruan di teras, Bu. Cuma ada Bulek Shinta dan Safira,” jawab Ayu tenang sambil melanjutkan makan siangnya. Safira adalah adik Shinta yang juga cukup dekat dengan Ayu. Namun kali ini, Ayu merasa bahwa Safira yang mengambil barang-barangnya.
“Tidak boleh menuduh orang lain tanpa bukti, ya, Nak. Itu namanya berprasangka buruk, dan itu dosa. Nanti kalau ada rezeki, Ibu belikan lagi,” jawab ibu lembut sambil mengecup kening Ayu.
Sore harinya, setelah pulang dari mengaji di masjid, Ayu kembali bermain guru-guruan bersama Safira. Saat itulah tanpa sengaja, isi tas mengaji Safira tumpah. Di dalamnya, Ayu melihat beberapa pena dan pensil yang sangat mirip dengan miliknya bahkan ada tanda pink dan hitam di bagian bawah, persis seperti miliknya.
“Safira, ini punya aku! Lihat, penanya dikasih tanda warna pink dan hitam sama Ibu!” Ayu langsung mengambilnya.
“Ini punyaku, Ayu. Aku juga kasih tanda yang sama. Lagi pula, di pasar juga banyak yang jual model begitu,” sahut Safira dengan wajah mulai panik.
“Tidak mungkin tanda kita sama. Kamu suka warna hijau. Aku nggak mau main sama kamu lagi! Nanti semua barang-barangku hilang!” bentak Ayu sebelum beranjak pergi, wajahnya kesal.
Sesampainya di rumah, Ayu langsung bercerita pada ibunya. Ayahnya yang sedang berada di dapur pun ikut mendengarkan.
“Aku nggak mau temenan lagi sama pencuri itu, Bu!” ucap Ayu dengan bibir cemberut dan alis menyatu.
“Ssssttt… tidak boleh bicara seperti itu, Nak,” sahut ibu sambil memeluk Ayu. “Ibu dan Ayah tidak pernah mengajarkan Ayu untuk membalas kejahatan dengan kebencian. Kalau orang lain berbuat jahat, Ayu harus tetap berbuat baik.”
“Semangat jadi orang baik, Ayu!” timpal Ayah dari dapur, datang membawa sepiring opor ayam kesukaan Ayu.
Suasana pun menjadi hangat kembali. Ayu memeluk ibunya erat, mencoba memaafkan dan melupakan kejadian hari itu.
Penulis: Nabila Rahayu