Dalam sebuah pernyataan yang penuh daya gugah, Buya Syakur mengajak kita untuk melihat ibadah haji dari sudut pandang yang lebih profan. Bahwa ritual haji, dengan segala prosesi simboliknya, bukanlah wahyu yang jatuh dari langit secara eksklusif kepada Nabi Muhammad, melainkan sebuah warisan kearifan lokal yang telah hidup di Jazirah Arabia jauh sebelum Islam datang. Pernyataan ini, bagi sebagian orang, mungkin terdengar kontroversial, bahkan subversif, tetapi justru di sinilah letak daya tariknya. Sebab, ia memaksa kita untuk berpikir di luar kerangka dogmatis yang sering kali menutup ruang dialektika.

Buya Syakur (Abdul Syakur Yasin) mengatakan “Soal haji tidak usah dilebih-lebihkan, realitanya haji itu tidak lebih dari seperti orang sedang main-main, camping-campingan, muter-muter bangunan, mondar mandir bolak balik (Sa’i), lempar lempar batu (Jumroh). Itu semua main-main, artinya haji bukan syariat “gedebuk” jatuh dari langit kepada nabi Muhammad saw, tetapi tradisi itu berlaku sebelum lahirnya nabi Muhammad saw. Jadi itu adalah kearifan lokal yang ada di jazirah Arab”.

Pandangan ini mengingatkan kita pada gagasan Edward Said dalam Orientalism (1978), bahwa setiap konstruksi kebudayaan selalu terjalin dalam jaringan sejarah, politik, dan kekuasaan. Jika kita menerapkan pendekatan Said, maka ritual haji bukanlah sekadar perintah ilahi yang ahistoris, melainkan praktik kultural yang telah mengalami negosiasi makna dari zaman ke zaman. Dalam konteks ini, ibadah haji dapat dibaca sebagai sebuah “artefak sosial,” sebuah representasi dari bagaimana manusia menafsirkan yang sakral dalam bingkai tradisi.

Namun, ironisnya adalah bagaimana masyarakat yang begitu menjunjung tinggi ritual berbasis tradisi ini justru sering kali menolak praktik kebudayaan yang lahir dari tanah airnya sendiri. Kasus Dedi Mulyadi, misalnya, adalah sebuah potret bagaimana keberpihakan terhadap warisan lokal sering kali dicurigai, bahkan dicap sebagai bentuk penyimpangan. Sikap ini mencerminkan apa yang dalam kajian pascakolonial disebut sebagai “inferioritas budaya”—suatu kondisi di mana masyarakat merasa lebih sahih dalam mempraktikkan tradisi dari luar ketimbang merawat kebudayaan sendiri.

Situasi ini sejalan dengan kritik Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia (1980): “Kau boleh maju dalam ilmu dan budaya, tetapi kau tidak boleh kehilangan kepribadianmu sebagai bangsa.” Pramoedya melihat bahwa keterputusan dari akar sejarah dan budaya akan membuat suatu bangsa kehilangan daya juangnya. Jika ritual haji bisa diterima sebagai warisan kearifan lokal bangsa Arab, mengapa kebudayaan Nusantara—yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur kita—justru dicurigai?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hal ini menyingkap sebuah paradoks: dalam banyak hal, kita lebih mudah menerima otoritas budaya asing yang dikemas dalam bingkai religiusitas, sementara terhadap tradisi sendiri, kita begitu gesit menghakimi. Padahal, dalam filsafat sejarah, seperti yang dikemukakan oleh Arnold Toynbee dalam A Study of History (1934), peradaban yang bertahan adalah yang mampu melakukan creative adaptation—bukan yang menelan tradisi tanpa refleksi, melainkan yang mampu mengolah dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Lebih jauh, kritik terhadap eksklusivitas tafsir ini juga bisa kita temukan dalam pemikiran filsuf postmodern seperti Jacques Derrida. Dalam konsepnya tentang deconstruction, Derrida menyoroti bagaimana makna selalu bersifat cair dan tidak pernah final. Jika kita terapkan pada kasus ini, maka makna “kesalehan” tidaklah monolitik—ia bisa berbentuk ritual Arab, tetapi juga bisa termanifestasi dalam praktik budaya lokal yang berakar pada kearifan leluhur.

Begitu pula dengan tafsir atas “kesesatan”—sebuah label yang sering kali disematkan kepada siapa saja yang berupaya menegosiasikan ulang warisan budaya dalam konteks modern. Padahal, dalam tradisi intelektual Islam sendiri, pemikiran yang berani justru menjadi kunci kemajuan. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah (1377) menegaskan bahwa peradaban besar lahir dari interaksi yang dinamis antara tradisi dan inovasi. Islam sendiri berkembang dengan menyerap berbagai unsur budaya lokal, sebagaimana kita lihat dalam tradisi sufi yang mengakomodasi unsur mistisisme Persia, filsafat Yunani, hingga tradisi sastra India.

Dengan demikian, membenturkan antara “agama” dan “budaya” adalah simplifikasi yang keliru. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya, agama justru tumbuh dalam ranah budaya. Bahkan, dalam kajian antropologi agama, seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam Islam Observed (1968), agama tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan budaya yang membentuknya. Tradisi keagamaan bukanlah sesuatu yang steril dari pengaruh lingkungan, tetapi justru lahir dari dialektika antara keyakinan dan konteks sosial di mana ia berkembang.

Lalu, di titik ini, pertanyaannya menjadi lebih tajam: mengapa kita begitu mudah menerima tradisi asing yang dikemas dalam bingkai agama, tetapi begitu skeptis terhadap warisan budaya sendiri? Apakah ini bagian dari warisan kolonialisme epistemik yang membuat kita terus merasa lebih rendah dibandingkan budaya lain? Ataukah ini adalah hasil dari proyek purifikasi budaya yang mencoba menghapus keberagaman tafsir demi kepentingan ideologi tertentu?

Sebagaimana dikatakan Nietzsche dalam Beyond Good and Evil (1886), “Keyakinan yang tidak mau diuji adalah tirani yang menyamar sebagai kebenaran.” Jika kita ingin membangun masyarakat yang sehat secara intelektual, kita harus berani menantang dogma, bukan dalam rangka meruntuhkan keyakinan, tetapi untuk memperkaya pemahaman. Sebab, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sejarah, peradaban yang maju bukanlah yang menutup diri terhadap tafsir alternatif, melainkan yang merayakan kompleksitas dan keragaman pemaknaan.

Jika kita menerima bahwa tradisi adalah produk dari sejarah yang dinamis, maka menolak kebudayaan sendiri sembari mengagungkan budaya lain yang dikemas dalam bingkai religiusitas adalah sebuah ironi yang memprihatinkan. Apakah kita benar-benar memahami makna keberagamaan yang kita jalani, atau kita hanya mengikuti arus tanpa pernah mempertanyakannya? Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana identitas dan keyakinan diuji oleh perubahan zaman, bukankah seharusnya kita lebih terbuka dalam membaca sejarah dan memahami bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang lahir dalam ruang hampa?

Dari sini, kita sampai pada pertanyaan yang lebih mendalam: Apakah kita hanya ingin menjadi pewaris dogma, ataukah kita ingin menjadi subjek yang aktif dalam merawat dan mengembangkan kebudayaan kita sendiri? Jika Nabi Muhammad sendiri tidak menghapus tradisi lokal yang sudah ada, melainkan mengolahnya dalam bingkai nilai-nilai Islam, lalu mengapa kita begitu mudah menghakimi upaya pelestarian budaya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan iman?

Mungkin, di sinilah letak ujian terbesar kita sebagai bangsa yang ingin maju berani berdamai dengan sejarah dan mengakui bahwa identitas kita tidak harus bersifat eksklusif dan hitam-putih. Bahwa kesalehan tidak selalu berarti menolak budaya leluhur, sebagaimana kemajuan tidak harus berarti menanggalkan akar tradisi. Seperti yang diingatkan oleh Soekarno dalam pidato-pidatonya, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Sebab, bangsa yang tercerabut dari sejarahnya sendiri hanyalah kumpulan manusia tanpa arah, mudah digiring oleh kepentingan yang lebih besar daripada dirinya.

Jadi, apakah kita akan terus menjadi generasi yang menutup diri terhadap kemungkinan baru dalam memahami warisan budaya dan keagamaan kita? Ataukah kita siap untuk menjadi masyarakat yang mampu membaca sejarah dengan jernih, mengolahnya secara kritis, dan membangun masa depan dengan lebih bijaksana? Jawaban atas pertanyaan ini tidak akan datang dari satu tafsir tunggal, melainkan dari keberanian kita untuk terus bertanya—sebab bertanya adalah langkah awal menuju kebijaksanaan.


 
Penulis: Fileski Walidha Tanjung, Penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media lokal dan nasional.