
Malam itu suasana kampung sudah begitu meriah. Denting takbir yang bergema dari masjid-masjid kecil, suara anak-anak berlarian dengan obor di tangan, dan rumah-rumah yang diselimuti lampu warna-warni. Semua orang bersuka cita, menanti datangnya hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Namun, di dalam rumah keluarga Aminah, suasana berbeda. Meski takbir terus bergema, ada keheningan yang menyelimuti setiap sudut rumah.
Perempuan seumuran 41 tahun itu duduk di teras rumah, memandangi rumah yang dulu selalu penuh tawa. Kini, ruang itu terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan. Di hadapannya, meja makan yang dulunya penuh dengan hidangan khas lebaran—ketupat, opor ayam, rendang—sekarang hanya menyisakan beberapa toples ke kering dan piring kosong yang belum sempat dicuci. Tidak ada lagi suara riuh dari ayah, ibu dan sesepuhnya yang dulu selalu memimpin doa bersama di malam takbir. Tidak ada lagi tawa hangat ibu yang mengatur segala persiapan, atau suara bapak yang memberi wejangan tentang makna lebaran.
Anak-anak Aminah, Sakinah dan Rian, sudah tertidur di kamar masing-masing. Hanya suaminya, Raihan, yang menemani Aminah malam itu. Raihan duduk di sampingnya, memegang tangan Aminah yang terasa dingin, mencoba memberikan ketenangan yang sulit ditemukan.
“Sudah lama ya, Mas, rasanya nggak ada mereka di sini,” Aminah membuka pembicaraan dengan suara pelan, seolah takut mengganggu keheningan yang ada.
Suaminya mengangguk, matanya yang tadinya menatap kosong ke arah pintu, kini teralihkan ke wajah Raihan. “Iya. Kalau dulu, malam seperti ini penuh dengan suara-suara mereka. Suara nenek yang sibuk di dapur, kakek yang ceramah kecil-kecil tentang makna Idul Fitri, dan bapak ibu yang senantiasa menyambut tamu. Sekarang, semuanya tinggal kenangan.”
Aminah tersenyum kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. “Memang benar. Kadang aku merasa lebaran nggak sama lagi tanpa mereka. Nggak ada yang melarang anak-anak makan terlalu banyak ketupat, nggak ada yang ingatkan kita tentang pentingnya bersyukur.”
Aminah terdiam, menatap tangan Raihan yang masih memegang tangannya erat. “Kita mungkin merasa kehilangan, mas. Tapi… kita masih diberi kesempatan untuk berkumpul, untuk merayakan lebaran bersama. Itu yang harus kita syukuri.”
Malam itu, meski tak ada riuh suara dari nenek, kakek, atau bapak ibu, Aminah merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kebahagiaan sederhana. Kebahagiaan karena ia masih bisa merasakan kehangatan keluarga kecilnya, masih bisa merasakan semangat lebaran meskipun semua berubah.
*****
Keesokan paginya, suasana Idul Fitri terasa lebih sepi. Tidak ada lagi keramaian di rumah seperti dulu. Tidak ada lagi tamu yang datang silih berganti, hanya keluarga kecil Aminah yang merayakan lebaran di rumah. Sakinah dan Rian sudah bangun lebih pagi, mengenakan pakaian baru. Mereka bermain di halaman, saling berebutan makanan, dan sesekali berlari ke dapur untuk mencari kue kering yang masih tersisa.
Suaminya, Raihan sibuk di dapur, mempersiapkan sarapan. Aminah berjalan ke halaman rumah, melihat anak-anaknya yang tengah asyik bermain. Ia tersenyum, meski hatinya tetap terasa kosong. Ia merindukan kehadiran orang-orang yang telah pergi, orang-orang yang dulu selalu memberi warna pada lebaran mereka.
Sakinah mendekat, wajahnya ceria. “Ibuk, Rian mau main petasan, boleh nggak?”
Aminah terkekeh kecil, meski ia merasa sedikit ragu. “Hati-hati ya, jangan sampai kena tangan. Petasan itu bahaya.”
“Tenang, Ibuk, aku sama Rian udah bisa kok,” jawab Sakinah dengan penuh keyakinan.
Aminah memandangi anak-anaknya, merasa bangga. Meski suasana lebaran tidak seperti dulu, ia tahu bahwa kebahagiaan mereka adalah hal yang paling penting. Keluarga mereka masih utuh, meski ada kekosongan yang tak bisa digantikan.
****
Hari demi hari berlalu. Silaturahmi yang dulu penuh dengan kedatangan saudara-saudara, kini hanya terjadi melalui pesan singkat atau panggilan video. Aminah merasakan ada yang hilang dari tradisi lebaran yang dulu. Namun, ia tidak bisa menghindari kenyataan. Waktu terus berjalan, dan hidup harus terus dilanjutkan.
Di suatu sore, setelah beberapa hari lebaran berlalu, Aminah duduk di teras rumah, memandang langit yang mulai memerah. Raihan datang dan duduk di sampingnya. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati ketenangan yang hanya bisa dirasakan setelah lebaran.
“Raihan,” kata Aminah dengan suara lembut, “kita sudah banyak kehilangan. Tapi jangan biarkan itu mengurangi kebahagiaan kita. Anak-anak masih membutuhkan kita, masih ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mereka.”
Raihan mengangguk, matanya memancarkan kedalaman yang sama dengan Aminah. “Iya. Kita mungkin nggak bisa mengembalikan yang telah pergi, tapi kita masih punya kesempatan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Kita masih punya waktu.”
Aminah tersenyum. “Kita harus tetap semangat. Karena meskipun lebaran tak lagi seperti dulu, kebersamaan kita sebagai keluarga adalah yang paling penting.”
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Aminah dan Raihan duduk bersama di ruang tamu. Takbir yang menggema di luar rumah sudah mulai reda, namun kedamaian malam itu terasa begitu berarti. Meski tanpa kehadiran orang-orang yang telah pergi, mereka masih bisa merasakan kebahagiaan dalam kebersamaan mereka.
Aminah memandang Raihan, merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Aku bersyukur masih punya kamu, mas. Masih punya anak-anak. Walau ada yang hilang, ada juga yang tetap ada.”
Raihan tersenyum. “Aku juga, dek. Kita masih punya banyak hal yang bisa kita syukuri. Kita masih diberi kesempatan untuk terus bersama.”
Dan malam itu, di tengah kesunyian yang menyelimuti rumah, Aminah merasa bahwa meskipun lebaran tidak lagi seperti dulu, ia tetap memiliki kebahagiaan yang tak ternilai harganya—keluarga kecilnya yang penuh cinta.
Malam takbir berlalu, dan meski tanpa kemeriahan yang sama seperti dulu, Aminah tahu bahwa setiap lebaran yang datang adalah kesempatan untuk bersyukur. Keluarganya masih utuh, masih diberkahi dengan cinta dan kebersamaan. Meski waktu tak bisa diputar kembali, mereka masih punya banyak waktu untuk menciptakan kenangan baru, kenangan yang akan terus dikenang di hari-hari yang akan datang.
Penulis: Ummu Masrurah