
Si Miskin dan Si Kaya
Ada yang diam-diam menyisihkan uang sakunya
Ada yang dengan mudah membeli sesuka hatinya
Ada yang seringkali merayu untuk membeli mainan baru
Ada menahan diri dari rasa ingin memiliki sesuatu
“Bu,” kata si miskin, menyodorkan celengan ayam tanah liat
Bisakah ibu membantuku memecahkan celengan ini?
Bantu aku menghitungnya
Sekiranya cukup untuk membeli baju baru untuk kita
Sang ibu memeluknya,
Air membasahi kedua bolah matanya
Si kaya mengetuk pintu ruang kerja ayahnya
Menggerutu meminta baju baru di kota
Sang ayah langsung mengantarkannya
Sang anak riang gembira
Hadiah Puasa dari Ayah
Ayah,
Apakah ayah masih ingat
Baju putih ini adalah pemberianmu pertama kali
Baju paling cantik yang pernah kumiliki
Kau bilang,
Ini adalah kado puasaku sebulan penuh
Sekarang aku puasa sebulan penuh lagi, ayah
Tapi tak seorangpun menghadiahkan baju baru itu lagi
Sekarang adik merengek kepadaku, ayah
Meminta hadiah seperti aku dulu meminta hadiah padamu
Saat ini aku sedang mengusahakan itu ayah
Rupanya tak mudah ya, ayah
Tapi aku akan selalu mengusahakan itu adik
Seperti ayah yang mengusahakan aku tersenyum kala itu
Jangan khawatir, ayah
Aku akan menjadi ayah untuk adik
Selamanya
Lebaran yang Berbeda
Satu tahun berlalu begitu cepat
Ramadan tak lama lagi usai
Pertanda lebaran akan tiba
Perayaan yang dulu tak lagi sama
Rumah kali ini sepi
Tak lagi terdengar suara mengisi
Ibu bapak telah pergi
Meninggalkan aku seorang diri
Entah aku harus kemana saat lebaran esok
Haruskah ke rumah saudara seorang diri,
Rasanya tak bisa aku menikmati lebaran tahun ini
Ingin kututup pintu rapat-rapat, agar tak seorang pun menghampiri
Ibu, Bapak
Bukanya anakmu ini belum bisa menerima kenyataan yang ada
Hanya saja, kiranya butuh waktu untuk bisa menerima takdir yang ada
Penulis: Ilvi Mariana