
Momentum silaturahmi saat Idul Fitri bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan sebuah ritual sosial yang sarat makna dan diatur oleh serangkaian aturan tak tertulis. Aturan-aturan ini, meskipun tidak tertuang dalam dokumen resmi, dipahami dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat, membentuk sebuah kode etik yang mengatur interaksi selama momen penting ini. Silaturahmi Idul Fitri sendiri adalah sebuah jalinan sosial yang memperkuat hubungan antarindividu dan keluarga. Ini adalah momen di mana tali persaudaraan dipererat, maaf-memaafkan dilakukan, dan kebersamaan dirayakan. Aturan-aturan tak tertulis ini menjadi cerminan dari nilai-nilai budaya yang mendalam.
Salah satu aturan tak tertulis yang paling mendasar adalah mengenai waktu kunjungan. Biasanya, kunjungan dilakukan setelah salat Idul Fitri, dimulai dari keluarga terdekat, seperti orang tua, kakek-nenek, dan saudara kandung. Kemudian, kunjungan dilanjutkan ke tetangga, teman, dan kerabat yang lebih jauh. Waktu kunjungan pun diatur sedemikian rupa, menghindari waktu-waktu istirahat atau jam makan tuan rumah. Tamu juga diharapkan untuk tidak terlalu lama berkunjung, memberikan kesempatan bagi tuan rumah untuk menerima tamu lainnya. Hal ini menunjukkan penghormatan terhadap tuan rumah dan kesadaran akan pentingnya menjaga kenyamanan bersama.
Selain waktu, penampilan juga menjadi perhatian utama. Tamu diharapkan mengenakan pakaian yang sopan dan rapi, mencerminkan rasa hormat kepada tuan rumah. Pakaian baru atau pakaian terbaik biasanya dipilih untuk menandai momen spesial ini. Namun, kesederhanaan tetap dijunjung tinggi, menghindari kesan berlebihan atau pamer. Penampilan yang baik mencerminkan sikap yang baik pula, menunjukkan bahwa tamu menghargai momen silaturahmi ini.
Baca Juga: Reuni Keluarga, Ruang Silaturahmi hingga Pamer Pencapaian?
Saat tiba di rumah tuan rumah, tamu diharapkan mengucapkan salam dengan sopan, biasanya “Assalamualaikum” diikuti dengan ucapan selamat Idul Fitri. Kemudian, tamu akan dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu, di mana hidangan khas Lebaran seperti kue kering, kurma, ketupat, dan opor ayam telah disiapkan. Suasana hangat dan ramah ini menciptakan rasa kebersamaan dan mempererat tali silaturahmi.
Selama kunjungan, percakapan biasanya berkisar pada kabar keluarga, cerita lucu, atau kenangan masa kecil. Hindari topik sensitif seperti politik, agama, atau masalah pribadi seperti pertanyaan kapan menikah, kapan punya keturunan yang dapat menimbulkan ketegangan. Percakapan yang ringan dan menyenangkan menciptakan suasana yang akrab dan penuh kebahagiaan.
Salah satu aturan tak tertulis yang paling penting adalah mengenai pemberian “angpau” atau uang Lebaran. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak, sebagai bentuk kasih sayang dan berbagi kebahagiaan. Jumlah uang yang diberikan bervariasi, tergantung pada kemampuan dan kedekatan hubungan. Orang tua juga perlu menyadari perlu adanya timbal balik untuk putra/putri sang pemberi, atau untuk pemberi sendiri, entah saat itu juga atau dikemudian hari.
Selain itu, tamu diharapkan untuk tidak merepotkan tuan rumah. Misalnya, tamu tidak boleh meminta hidangan khusus atau mengkritik hidangan yang disajikan. Tamu juga diharapkan untuk membantu membereskan meja atau mencuci piring jika ditawarkan makanan berat. Sikap saling membantu ini mencerminkan nilai gotong royong yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia.
Di beberapa daerah, ada aturan tak tertulis tambahan yang berkaitan dengan tradisi lokal. Misalnya, di Jawa, tradisi sungkeman yang muda mencium tangan orang yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan. Selain itu ada marandang atau memasak rendang menjadi tradisi minang yang turun temurun di Sumatera Barat. Tradisi ini biasanya dilakukan di saat hari-hari tertentu di antaranya saat menjelang Hari Raya Idul Fitri tiba. Hampir setiap rumah di Ranah Minang melakukannya agar bisa disantap bersama saat dikunjungi kerabat.
Baca Juga: Silaturahmi, Wasilah Mencapai Derajat Birrul Walidain
Dalam konteks yang lebih luas, tradisi silaturahmi Idul Fitri juga berperan penting dalam menjaga harmoni sosial. Dengan saling mengunjungi dan bermaaf-maafan, masyarakat Indonesia membangun kembali hubungan yang mungkin sempat renggang dan menciptakan suasana damai dan penuh kehangatan. Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Generasi muda belajar tentang pentingnya sopan santun, menghormati orang yang lebih tua, dan menjaga hubungan baik dengan sesama.
Penulis: Ilvi Mariana