
Mungkin tulisan ini tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan apa yang telah terjadi pada diriku. Ya, aku. Terkadang aku masih menyesali perihal mengapa aku dilahirkan jika aku tak berguna? Namun, aku mengerti makna dewasa yang sesungguhnya. Terkadang, keluh kesah tiap harinya terasa percuma saja, hanya sebagai pelepas emosi belaka.
Perkenalkan, aku adalah salah satu di antara jutaan manusia yang ada di permukaan bumi ini. Sejak lahir, aku memiliki keluarga yang utuh. Ada ayah dan ibu. Berbeda dengan orang tua lain, kehadiranku bahkan tidak pernah diharapkan oleh kedua orang tuaku. Alasannya hanya karena hasil USG menunjukkan bahwa aku berjenis kelamin perempuan. Aneh memang, definisi anak sebagai anugerah tidak pernah ada dalam keluarga ini. Padahal, di luar sana banyak sekali sepasang suami istri yang belum dikaruniai seorang anak.
Begitulah memang, kasih sayang yang diberikan tanpa keikhlasan. Tak akan pernah bisa aku menjelaskan kepada kedua orang tua bagaimana hancurnya perasaanku kala itu, kala dimana semua anak merasakan kasih sayang dari orang tuanya, sementara aku hanya menjadi beban bagi mereka.
“Maya! Nanti siang cuci piring, kerjamu cuma bisa makan saja!” Bentakan ibu di siang hari memang sudah menjadi makanan sehari-hari. Selain lauk pauk yang aku makan terasa pedas, ternyata ada yang lebih pedas lagi yang dirasakan oleh hati.
Aku tidak menjawab bentakan ibu. Setelah selesai makan, aku bergegas mencuci semua tumpukan piring kotor. Sengaja ditumpuk, karena ibu pasti berpikir aku yang akan mencucinya. Benar sekali. Pikiran yang selalu tepat sasaran.
Ada suatu kejadian yang sangat menyayat hati. Lebih dari apapun itu.
Di minggu pagi, ayah memang libur kerja, dan aku merasa tidak ada rencana mau liburan ke luar kota. Tapi pagi itu, ayah telah mengeluarkan mobil dari garasi. Ibu juga mungkin sudah bersiap. Aku hanya memperhatikan ayah dari anak tangga.
“Maya, bersiaplah. Kita akan ke suatu tempat hari ini,” ujar ibu dari ruang tamu. Segera aku merapikan diri dan langsung menuju ruang tamu. Kesal, kenapa harus terburu-buru? Mau kemana, sih? Banyak sekali pertanyaan yang bermunculan dalam otakku.
“Bu, mau kemana kita pagi ini?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Sudahlah, tidak usah banyak tanya. Tinggal ikut saja, apa susahnya?” bentak ibu. Benar sekali dugaanku, pasti dijawab dengan bentakan. Padahal, aku sudah mempersiapkan diri untuk bertanya, tapi tetap saja sia-sia. Aku tidak menemukan jawaban itu.
Di dalam mobil, tak ada yang membuka percakapan. Hening. Sangat membosankan sekali keluarga ini. Aku masih tetap penasaran, mau kemana ini?
Mungkin sudah sekitar setengah jam, mobil ini berhenti di tempat tujuan. Aku masih belum menemukan plang atau spanduk yang menunjukkan keberadaanku. Aku beranjak turun dari mobil, dan aku telah menemukan sebuah plang kecil bertuliskan ‘Panti Asuhan’.
Definisi sakit yang tidak berdarah. Dugaku adalah orangtuaku mau menempatkan aku di panti asuhan. Namun, ternyata dugaan itu salah. Benarnya adalah orang tuaku mau mengadopsi anak dari panti asuhan itu. Lebih menyayat hati. Seolah aku bukan anak mereka. Aku masih termenung menatap setiap frame yang terpajang rapi di dinding ruang tamu ini. Bahagia yang mereka sempurna ciptakan, padahal kenyataannya mereka sangat sedih, hidup tanpa ada ayah dan ibu di sisi mereka.
“Kami belum dikaruniai seorang anak. Kami memohon untuk bisa mengasuh dan merawat salah satu anak laki-laki dari panti asuhan ini. Apakah bapak berkenan dengan niat baik kami ini?” ujar ayah.
Aku tidak sengaja mendengar percakapan orang tuaku dengan kepala panti asuhan. Sangat memilukan hati. Jujur, awalnya aku mau mencoba untuk menerima kehadiran adik angkatku, karena ibu sudah tidak bisa hamil lagi akibat kehamilannya yang pertama itu mengalami keguguran.
Namun, seolah orang tuaku tidak menganggap aku seperti anak mereka. Bahkan mereka berani mengaku bahwa mereka belum dikaruniai seorang anak. Apa gunanya aku diajak ke sini? Atau mereka sengaja supaya aku mengetahui bahwa aku tidak dianggap? Sesusah itukah menganggap aku ada?
Sampai pada akhirnya, adik angkatku yang sangat disayangi oleh mereka. Namanya Fauzan El-Ibrahim. Dia memperlakukanku sangat baik. Walaupun pada akhirnya, aku yang harus selalu mengalah demi kebahagiaannya.
Ketika berkumpul dengan keluarga besar di rumah nenek, Fauzan lah yang menjadi pusat perhatian. Selain parasnya yang ganteng, Fauzan memang memiliki akhlak yang terpuji. Tak heran jika aku dijadikan bahan perbandingan oleh kedua orang tuaku.
“Maya, orang tuamu bertindak sejauh ini karena sayang dengan kamu. Mereka tidak ingin kamu kesepian di saat mereka sibuk bekerja. Tolong maafkan kedua orang tuamu, ya nak. Nenek selalu mendoakan keluarga kita,” nasehat nenek padaku di ayunan sebelah kolam renang. Tempat favoritku kala berkunjung ke rumah nenek. Di saat yang terpuruk inilah, nenek yang paham perasaanku, meski kita jarang berjumpa, sesekali aku yang menelepon nenek untuk menyambung tali persaudaraan.
Di rumah, ketika malam telah larut, ketika semua lampu sudah dipadamkan, aku mendengar ada yang membuka pintu kamarku. Dan aku masih tersadar, belum tertidur pulas.
“Maya, maafkan ibu dan ayah ya. Karena belum bisa menerima kehadiranmu. Tapi lambat laun, ibu selalu memperhatikanmu nak, meski ibu sudah mengambil tindakan untuk mengadopsi anak, namun kamu tetaplah anak sulung kami. Ibu baru tersadar, bahwa kamu memang anak ayah dan ibu. Maafkan ibu yang tidak memperhatikanmu nak. Ibu dan ayah berjanji, mulai besok akan memperlakukanmu sama seperti ibu memperlakukan Fauzan,” ujar ibu dengan rintihan air matanya. Aku pun kaget, namun aku tetap harus berpura-pura tidur. Lalu setelah itu, ibu mengecup keningku, dan pergi sambil menutup pintu kamarku.
Rasa yang selama ini aku rindukan. Tak pernah aku merasakan kasih sayang yang teramat dalam ini. Belaian dari seorang ibu. Ayah dan ibu, semoga besok kalian bisa menepati janji.
Penulis: Nabila Rahayu
Editor: Rara Zarary