Dua santri sedang belajar. (sumber: Ist)

Kalau dipikir-pikir, kenapa aku dulu mau menghafalkan al-Qur’an? Kalau aku tahu ini semua sangat rumit, sangat menyita waktu, mana mungkin aku mau repot-repot menghafal. Tiba-tiba bibirku menungging senyum, kupandangi mushaf kecilku. Terlihat kecil di genggaman telapak tanganku yang sedikit besar.

Hafalanku tinggal beberapa juz lagi. Sudah lima tahun aku menghafal, tapi tak kunjung selesai. Entah, aku yang malas atau memang otakku yang bebal ini tak bisa menerima memori lagi. Lucu, bukan? Bukankah otak manusia mampu menyimpan memori kurang lebih sebanyak 1 juta gigabyte? Itu artinya manusia mempunyai kemampuan untuk terus mengingat kejadian yang membekas di otaknya.

Tapi nyatanya, menghafal beberapa ayat saja rasanya sudah mau menyerah. Sudah aku baca beberapa kali, tetap saja. Kira-kira, apa yang salah? Aku juga tidak tahu. Tapi untungnya, aku tidak jadi menyerah. Enak saja, aku sudah sejauh ini. Tidak masalah menunggu beberapa tahun lagi untuk selesai.

“Kau sedang apa, Yas?” Yusuf, teman sekamarku, menegurku dari belakang, senyumnya merekah. Tangan kanannya memegang secangkir kopi hitam.
“Kau melamun? Merenungi nasib yang tak kunjung membaik? Atau mendoakan dia yang sekarang menjauh darimu? Melankolis sekali kau, heh…” Yusuf menyodorkan kopi kepadaku, “…kau mau?”

Aku menggeleng pelan. Yusuf terkekeh, membuat lesung pipinya sedikit terlihat. Yusuf adalah teman sekamarku. Terkenal sekali di kalangan santri putri. Kulitnya hitam manis, perawakannya tinggi dan tegap. Nilai plus untuk lesung pipinya. Tapi bukan itu yang menyebabkan aku iri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Yusuf sudah menyelesaikan hafalannya tiga setengah tahun yang lalu. Itu artinya dia menghafal seluruh ayat al-Qur’an selama satu setengah tahun. Awalnya aku biasa saja, toh laki-laki tidak ada uzur bulanan, wajar jika rata-rata mereka menghafal hingga selesai dalam waktu satu atau dua tahun.

Tapi kenapa aku berbeda? Satu setengah tahun dan lima tahun itu perbedaan yang jauh sekali. Berkali-kali aku membandingkan diriku dengan Yusuf. Sudah ganteng, pintar, mutqin lagi. Hei, dia hanya butuh satu setengah tahun saja, aku yang lima tahun tidak selesai-selesai.

“Sampai mana hafalanmu?” Yusuf melirik mushaf yang kubawa. Aku menunjukkan halaman yang kubuka. Mata bulatnya membelalak.
“Wuihhh, sedikit lagi, Ilyas.”
“Mau mengejekku, ha? Sedikit apanya? Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kau.”
Yusuf menungging senyum, “Belum terlambat, Ilyas, diteruskan saja. Bukankah menghafal itu menyenangkan sekali?”

Aku diam saja. Menghafal memang se-‘menyenangkan’ itu. Rasanya senang tak terkira setiap kali berganti juz. Tidak pernah lelah. Aku paham betul kalau hafalanku masih jauh dari kata lancar, bahkan beberapa ayat sering tertukar, membaca juz ini, tiba-tiba tersambung di juz lain. Lucu sekali jika diingat. Belum lagi ayat-ayat yang sama, ayat-ayat pendek yang membuat napas tersengal. Juga ayat yang sangat asing di telinga. Ah, itu rumit, tapi entah kenapa begitu menyenangkan.

“Itulah kenapa menghafal Qur’an begitu menyenangkan. Tidak segampang menghafal Pancasila waktu SD. Pun juga tidak semudah menghafal al-Ikhlash saat ujian praktik. Ini full 30 juz, kawan, tentu berbeda sekali.”
Aku meng-iyakan ucapannya.

“Kita semua punya kapasitas masing-masing, termasuk kau dan aku. Coba kau pikir, siapa teman kita di sini yang menghafalnya paling lama? Hanya kau saja.” Yusuf terpingkal.
“Tidak usah risau. Kau mempunyai hati yang besar, Ilyas, jiwa yang tangguh. Kau mempunyai semangat yang tidak semua orang punya, termasuk aku. Bayangkan, kau sabar menunggu lima tahun lebih agar bisa menyelesaikan hafalanmu. Menghafal al-Qur’an itu bukan perkara siapa yang paling cepat. Akan tetapi, siapa yang bisa bertahan hingga akhir.”

“Kalau aku jadi kau, mungkin aku sudah berhenti dari dulu. Kau tahu kalau aku orang yang tidak sabaran…”
“Tapi kau cepat menghafalnya,” aku menyela perkataannya.
Yusuf tersenyum, “Buat apa kalau menghafal cepat kalau tidak nyantol di kepala, heh?”
Mulutku mengatup, tanganku menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Bersyukur kau masih diberi kesempatan begitu besar. Berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain. Kembali ke awal, kita sudah punya porsi masing-masing, tidak usah iri dengan mereka yang sudah selesai. Kau kira jika hafalan selesai, masalah juga selesai begitu? Kau salah, justru mereka yang sudah selesai hafalannya, tanggung jawabnya lebih besar.”
Aku mengangguk, membenarkan ucapan Yusuf barusan.

“Aku balik dulu, teruskan menghafalmu.” Yusuf menepuk bahuku pelan, lalu balik badan.
Sedikit plong di kepala. Perkataan Yusuf banyak juga maknanya. Terkadang aku terlalu fokus membandingkan diriku dengan orang lain, sampai lupa bersyukur atas apa yang aku dapat, sesuai kemampuanku.

Ah, malu sekali. Kukira ayatnya yang sulit, ternyata aku yang kurang bersyukur.



Penulis: Selvia Angela