
Oleh: Ust. Dr. Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah
اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه لا نبي بعده
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن، يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، وقال النبي ﷺ اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Hadirin Jamaah Jum’at yang dimuliakan oleh Allah
Mengawali khutbah pada kesempatan yang penuh berkah ini, pertama-tama kami hendak mengingatkan kepada diri kami sekaligus mengajak jamaah sekalian untuk bersama-sama meningkatkan kualitas iman dan takwa kita kepada Allah. Kita tingkatkan terus komitmen dan perjuangan kita dalam rangka menjalankan segenap perintah Allah dan Rasul-Nya juga menjauhi larangan-Nya.
Hadirin Jamaah Jum’at yang dimuliakan oleh Allah
Salah satu yang patut kita renungkan pada kesempatan yang penuh berkah ini sebagai sarana dan cara kita untuk meningkatkan takwa kita kepada Allah adalah dengan merenungi ibadah yang sudah kita jalani beberapa hari ini. Yaitu terkait dengan hikmah berpuasa. Salah satu yang bisa cermati adalah lima ayat berturut-turut yang menegaskan syariat berpuasa. Ayat itu diawali dengan penegasan kewajiban puasa:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَععَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Kita diberi informasi oleh Allah terlebih dahulu bahwasannya puasa sudah diwajibkan sejak umat-umat terdahulu. Kita dibebani kewajiban berpuasa bukan yang pertama kalinya. Artinya bahwa kewajiban puasa ini sudah dibebankan kepada umat-umat terdahulu juga. Tujuannya pun sama, yakni supaya kita menjadi pribadi yang bertakwa dan dijaga oleh Allah.
Kemudian dilanjutkan ayat berikutnya:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur
Meskipun sebenarnya ayat ini membicarakan tentang kewajiban membayar hutang puasa. Akan tetapi ayat ini juga masih membicarakan tujuan puasa secara umum. Bahwa kita berpuasa di samping bertujuan agar bertakwa ada tujuan syukur dan terima kasih dalam puasa. Kita belajar berterima kasih kepada Allah. Lalu para ulama mencoba menggali apa korelasi antara syukur dengan puasa? Oleh pikiran pendek kita, bersyukur itu selalu dikaitkan dengan datangnya nikmat. Tapi kali ini justru berkaitan dengan puasa. Padahal secara akal pendek manusia, puasa itu bukan nikmat, akan tetapi ujian. Korelasinya adalah bahwa pendidikan syukur itu muncul ketika kita mampu menyukuri dan berterima kasih atas hal-hal bisa jadi kita rasa tidak enak. Tapi kalau dia mampu bersyukur dalam keadaan lapar, maka dia berarti mampu bersyukur atas kenikmatan meskipun sedikit rasanya. Begitu kita sehat kita sembuh kembali segar kembali segar saat berbuka.
Dengan menggali hikmah-hikmah besar di balik puasa ini, maka kita dapat bersyukur atas segalanya dari Allah. Karena barang siapa yang tidak dapat bersyukur atas hal-hal yang kecil, maka ia tidak mungkin berterima kasih atas hal-hal yang besar. Karena biasanya kalau orang sudah mendapat kenikmatan yang besar justru yang menonjol adalah syahwatnya. Dan saat itu biasanya ia lupa berterima kasih dan bersyukur. Dan dia akan menganggap bahwa segala kenikmatannya merupakan hasil jerih payah dirinya sendiri. Maka, kita patut merenungkan kembali bahwa tujuan berpuasa ini adalah agar kita pandai bersyukur.
Kemudian, dalam berpuasa kita juga sangat diharapkan banyak-banyak berdoa. Dalam firman Allah,
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Allah akan senantiasa mengabulkan setiap kali hamba-Nya berdoa kepadanya. Oleh karena itu kita diperintahkan agar banyak memohon kepada Allah. Dan kita banyak untuk yakin kepada Allah, supaya kita yarsyudun (cerdas). Yakni dapat menjadi pribadi yang mudah menemukan kebenaran dalam segala kondisi. Sehingga puasa ini mendidik kita menjadi pribadi yang cerdas; cerdas spiritual dan intelektual.
Para ulama menegaskan bahwa puasa itu aslun min a’malil qulub, yaitu akar dari semua aktivitas hati. Kalau di luar puasa, yang banyak kita turuti adalah aktifitas non-hati. Kita makan, minum, rencana, program, dan lain sebagainya itu semua adalah dalam rangka menuruti aktivitas yang bersifat zahir, tidak mendidik hati kita sama sekali. Padahal hati kita merupakan tempat ketakwaan. Kata Rasulullah, “al-takwa ha huna, al-takwa ha huna, al-takwa ha huna.” Dengan menunjuk hati. akan tetapi hati kalau tidak diisi dengan Allah, maka akan diisi oleh hawa nafsu. Kemudian akan berdampak kepada perbuatan yang kita kerjakan.
Interaksi manusia dengan hawa nafsu ada tiga pola interaksi. Pertama, orang yang mampu menahan hawa nafsunya.
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ (40) فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِیَ ٱلۡمَأۡوَىٰ (41)
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,Maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya). [Surat An-Nazi’at: 40-41]
Pribadi yang cerdas adalah mereka yang mampu menahan hawa nafsunya agar tidak merasuk ke dalam hati. Meskipun kita sedang berpuasa sejatinya nafsu kita tetap ada. Tapi jangan sampai kemudian masuk bersemayan di dalam hati, biarkan ketakwaan yang menetap dalam hati. Sehingga puasa tadi bertugas untuk menggeser hawa nafsu itu. Kata imam Abdul Wahab Al-Sya’rani ada dua hal yang mengusir hawa nafsu kita; yakni rasa lapar dan mengurangi porsi tidur. Kedua hal tersebut terkumpul dalam bulan Ramadhan. Di siang hari kita berlapar-lapar, sementara di malam kita qiyamullail. Awalnya kita jam 9 sudah tidur, akan tetapi Ramadhan kali ini kita masih tadarus. Awalnya kita baru bangun saat subuh, akan tetapi Ramadhan ini kita harus bangun sahur. Sehingga hal-hal ini bisa menundukkan hawa nafsu kita.
Ayat yang kelima menerangkan tujuan dari berpuasa yakni la’allahum yattaqun. Artinya memang puasa ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertakwa dengan buah ketakwaan pula. Para ulama’ menegaskan bahwasannya orang yang kenyang rawan sekali hatinya keras. Karena keras ia sulit sekali menerima ketakwaan dan kebaikan. Makanya para Kyai kita dalam rangka mendidik santri itu dengan Riyadhoh dalam bentuk puasa. Karena yang diolah yang disegarkan yang dihibur adalah hatinya, bukan fisiknya. Kalau olahraga yang dihibur adalah fisiknya, sehingga kita diajak jalan, lari dan sebagainya. Sedangkan olahjiwa adalah mendidik hati dengan puasa, salah satunya.
Semoga senantiasa dijadikan oleh Allah menjadi pribadi yang bertakwa, bersyukur, dan cerdas spiritual serta intelektual.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Pentranskip: Yuniar Indra Yahya