
Seorang pria paruh baya tampak sibuk menata dagangannya. Gerobak gorengan yang sudah tua itu terlihat seperti teman setia yang menemani hari-harinya yang panjang. Dalam kesibukannya, sesekali ia mengusap keringat yang menetes di dahi. Walau kulitnya sudah mengeriput dan rambutnya beruban, matanya masih penuh semangat. Ia adalah Aswan, seorang penjual gorengan yang telah merantau dari tanah kelahirannya, Sumatera, ke pulau Jawa yang jauh.
Aswan memulai perjalanannya bertahun-tahun yang lalu, dengan hanya membawa harapan dan sedikit modal. Dulu, ia bekerja sebagai petani di desanya. Namun, hidup di pedesaan dengan penghasilan yang pas-pasan membuatnya memutuskan untuk mencari peruntungan di tanah orang. Dengan berbekal keberanian dan tekad, ia meninggalkan keluarga, sahabat, dan tanah kelahirannya. Ia tahu bahwa ia harus berjuang keras jika ingin mengubah nasibnya.
Sore itu, di sebuah sudut kota yang ramai, Aswan sedang mempersiapkan gorengan-gorengan yang akan dijual. Ada tahu isi, tempe mendoan, dan pisang goreng yang sudah siap menggoda selera. Sebagian besar pembelinya adalah para pekerja kantoran yang pulang dari tempat kerja, atau ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar. Aswan menyapa mereka dengan senyum tulus, meski perutnya sering kali keroncongan karena tidak sempat makan. Ia tahu, di balik senyum pelanggan, ada beragam cerita kehidupan yang mungkin lebih berat dari yang ia bayangkan.
“Tahu isi, tempe mendoan, pisang goreng! Murah meriah, enak, dan bikin kenyang!” teriak Aswan dengan suara lantang, berusaha menarik perhatian orang-orang yang lewat.
Di bulan puasa ini, gerobak Aswan lebih ramai dari biasanya. Banyak orang yang mencari takjil untuk berbuka, dan gorengan menjadi pilihan yang tidak pernah salah. Aswan tahu betul betapa berharganya waktu berbuka puasa, sehingga ia selalu berusaha menyediakan gorengan dengan kualitas terbaik meski ia sendiri sering kali harus begadang hingga larut malam.
Perjuangannya bukanlah hal yang mudah. Setiap hari ia harus berjuang dengan cuaca panas yang terkadang membuat tubuhnya terasa kehabisan tenaga. Namun, ia tak pernah mengeluh. Setiap gorengan yang ia buat bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol dari segala perjuangan yang telah dilaluinya. Setiap gigitan dari gorengan yang ia sajikan membawa kisah tentang kerinduan pada kampung halaman, tentang rindu pada tanah kelahirannya yang subur, serta tentang impian yang ia kejar dengan gigih di tanah yang jauh.
Aswan ingat betul perjalanan beratnya saat pertama kali datang ke Jawa. Tak ada saudara atau teman yang menanti. Ia hanya membawa uang seratus ribu di kantong dan selembar surat dari seorang kerabat yang mengatakan bisa membantunya mencari pekerjaan. Tapi kenyataannya, semua itu tak semudah yang dibayangkan. Ia harus tidur di emperan toko, makan seadanya, dan berjuang keras setiap harinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk berdagang gorengan—sesuatu yang familiar baginya, karena dulu, di kampung, ibunya sering membuat gorengan saat bulan puasa.
Meski dagangannya tak langsung laris, ia tak pernah menyerah. Ia terus berinovasi dengan menciptakan variasi gorengan baru. Ia mulai membuat tahu isi dengan bumbu spesial, tempe mendoan dengan tepung yang lebih renyah, hingga pisang goreng dengan taburan kelapa yang manis. Lambat laun, orang-orang mulai mengenalnya, dan gerobaknya pun tak pernah sepi pembeli.
Saat bulan Ramadhan tiba, Aswan merasa ada keberkahan yang lebih dalam perjuangannya. Ia merasa lebih dekat dengan Tuhan. Setiap kali ia menggoreng, ia berdoa agar usaha kecilnya diberkahi dan semakin lancar. Ia juga merasa bahwa bulan puasa ini mengajarkannya lebih banyak tentang sabar, ikhlas, dan syukur. Meski ia merantau jauh dari keluarga, ia tetap merasakan kehangatan bulan suci ini.
@@@@@
Suatu sore, seorang anak kecil datang menghampiri Aswan dengan wajah ceria. “Pak, gorengan yang paling enak apa ya?” tanya anak itu dengan polos.
Aswan tersenyum lembut. “Semua gorengannya enak, nak. Tapi kalau kamu suka yang manis, coba pisang goreng ini. Dijamin ketagihan.”
Anak itu mengangguk, lalu memilih beberapa potong pisang goreng. Sebelum pergi, ia menoleh ke Aswan. “Pak, kenapa dagangannya selalu ada kalau puasa? Saya suka beli gorengan Pak Aswan setiap sore,” ujarnya sambil menggenggam uang dengan tangan kecil.
Aswan terharu mendengar kata-kata itu. Ia tahu, meskipun hanya sedikit yang ia dapatkan setiap hari, ia tetap bersyukur. Bahkan, ketika bulan puasa seperti ini, banyak orang yang memilih gorengan sebagai bagian dari berbuka puasa mereka. Tidak sedikit pula yang menanyakan kabar Aswan dan menanyakan bagaimana kabar keluarganya di Sumatera. Semua perhatian kecil itu terasa begitu berarti bagi Aswan.
“Ada yang lebih indah dari rezeki yang kita peroleh, Nak,” jawab Aswan lembut. “Yaitu, rasa syukur yang tak pernah putus. Bahkan ketika kita merasa kekurangan, Tuhan selalu memberikan kita jalan.”
Anak kecil itu hanya mengangguk, seolah-olah memahami apa yang baru saja Aswan katakan.
Malam semakin larut, dan gerobak Aswan pun mulai kosong. Ia menyusun kembali barang-barangnya dengan rapi dan mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah kontrakan kecilnya. Meski lelah, hatinya terasa ringan. Ia berpikir tentang ibunya yang dulu selalu mendoakannya, tentang ayah yang mengajarkan untuk tidak mudah menyerah dalam hidup, dan tentang tanah kelahiran yang mungkin tidak pernah ia kembali lagi, karena kondisi hidup yang tidak memungkinkan.
Namun, satu hal yang selalu membuatnya bangga adalah kenyataan bahwa ia bisa bertahan hidup dengan cara yang sederhana tapi penuh makna. Aswan tahu, meski jauh dari keluarga, Tuhan selalu mengawasi dan memberinya kekuatan untuk terus maju. Ia merasa bahwa hidupnya adalah sebuah perjuangan yang tak akan pernah berhenti, selama ada harapan yang harus diperjuangkan.
@@@@@
Pada suatu hari di tengah bulan puasa, saat gerobak Aswan sedang ramai dikunjungi pembeli, seorang lelaki muda yang tampak seperti mahasiswa mendekat. “Pak, saya lihat setiap sore gerobak Pak Aswan selalu ramai. Apa rahasianya?” tanya lelaki muda itu sambil mengangkat tangan, menunggu giliran membeli gorengan.
Aswan menatapnya dengan senyum yang penuh kebijaksanaan. “Rahasia saya bukan soal gorengan yang enak, Nak. Tapi soal ketekunan dan kejujuran. Saya selalu berusaha memberi yang terbaik kepada pembeli saya. Kalau kita tulus dan ikhlas, semuanya akan datang dengan sendirinya.”
Lelaki muda itu terdiam sejenak, mencerna kata-kata Aswan. Lalu, ia mengangguk dan tersenyum. “Saya akan ingat itu, Pak.”
Aswan hanya mengangguk, merasakan kehangatan di hatinya. Ia tahu, setiap orang yang datang dan membeli gorengannya adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Dan setiap gorengan yang ia buat adalah simbol dari ketekunan, perjuangan, dan harapan yang tak pernah padam.
Hari itu, Aswan tidak hanya merasa puas dengan hasil jualannya, tetapi juga merasa bahwa ia telah memberi sesuatu yang lebih dari sekadar gorengan—ia memberi semangat dan inspirasi kepada orang lain untuk tetap berjuang, tidak peduli apapun yang terjadi.
Di balik gorengan yang renyah itu, ada cerita tentang keberanian, ketekunan, dan cinta akan kehidupan. Aswan, sang penjual gorengan, terus mengukir kisahnya di tanah Jawa, dengan harapan bahwa setiap gorengan yang ia jual menjadi berkah bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Penulis: Ummu Masrurah