
Malam pertama Ramadan tiba. Seorang Perempuan bernama Rina duduk termenung di pojok ruang makan. Lampu-lampu kunir yang hangat memancar dari langit-langit rumah membuat suasana rumah terasa sedikit lebih hidup. Namun, di matanya, semuanya terasa sepi dan penuh bayangan. Ramadan tahun ini begitu berbeda. Tidak ada suara tawa kakek yang biasanya menyambutnya di meja makan, tidak ada senyum hangat yang membuat perutnya terasa penuh dengan kebahagiaan. Semua itu hilang begitu saja. Kakeknya, sosok yang selama ini menjadi penjaga hidupnya, kini telah tiada.
Rina menggenggam erat tangan mukena biru muda yang dipakainya. Tangan itu kini terasa dingin, seakan tubuhnya menyesuaikan diri dengan kesunyian yang menyelimutinya. Kakek, yang dulu selalu setia menemani Rina sepanjang Ramadan, tidak ada lagi di sampingnya. Kakek yang selalu bangun sebelum azan Subuh untuk mempersiapkan sahur, yang selalu memeluknya dengan lembut setelah berdoa, kini hanya tinggal kenangan. Rina teringat betapa kakek selalu menemaninya berdoa di malam terakhir Ramadan, sambil berpesan untuk selalu menjaga hati dan amalan. Kini, semua itu hanya tinggal bayang.
“Paman, bibi… Aku ingin ke makam,” Rina berbisik, suaranya hampir tidak terdengar.
Paman dan bibinya yang berada di meja makan menoleh ke arahnya. Mereka tahu betapa besar kehilangan yang dirasakan oleh Rina, dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk memberikan rasa nyaman. Namun, Rina tidak bisa menghilangkan perasaan kosong yang membekas di hatinya. Tanpa kakek, Ramadan ini terasa seperti kehilangan separuh jiwanya.
“Boleh, sayang,” ujar bibi dengan lembut. “Tetapi, mari kita buka puasa terlebih dahulu. Setelah itu, kita bisa pergi bersama-sama. Kakek pasti senang kalau kita bisa berkumpul di malam pertama Ramadan seperti ini.”
Rina mengangguk kecil, meski hatinya terasa berat. Setelah beberapa saat, suara adzan Maghrib terdengar dari kejauhan, mengiringi suasana malam yang mulai sepi. Mereka semua duduk bersama di meja makan. Di meja itu, hidangan buka puasa sudah tersaji dengan rapi: kurma, air putih, dan sepiring nasi hangat dengan lauk yang sederhana. Paman dan bibi memandang Rina dengan penuh perhatian, mencoba mengisi kekosongan di hatinya.
Rina meraih sebutir kurma, menggigitnya perlahan, tapi rasa manisnya terasa hambar di lidahnya. Tak ada kakek yang tersenyum sambil memandangnya dengan bangga. Tak ada pelukan hangat yang menyambutnya selepas berbuka. Semua itu hilang bersama angin yang berhembus lembut di luar rumah.
Bibi meletakkan tangan di atas tangan Rina. “Rina, kita harus kuat. Kakek ingin melihat kita bahagia, bukan sedih.”
Rina menoleh, memandang bibi yang wajahnya penuh dengan rasa iba. “Tapi, bibi… Rasanya Ramadan tahun ini tidak lengkap tanpa kakek. Aku… aku merindukannya.”
Paman menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku tahu, Rina. Kita semua merindukan kakek. Tapi, kakek pasti ingin kita terus menjalani Ramadan dengan penuh semangat. Kakek mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, bahkan di saat-saat sulit sekalipun.”
Rina menundukkan kepala, menatap hidangan yang ada di depannya. Dia merasa seolah dunia ini begitu kosong tanpa kakek. Momen-momen indah yang mereka lalui bersama kini terasa sangat jauh. Namun, entah mengapa, di dalam hatinya, dia tahu bahwa kakek ingin dia bahagia, meski tanpa kehadirannya.
*****
Setelah berbuka, mereka bertiga pergi ke makam kakek. Langit malam yang gelap terlihat semakin indah dengan cahaya bintang yang berkilauan. Rina berjalan pelan, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya. Setiap langkahnya menuju makam kakek terasa semakin berat, seolah dia sedang berjalan melewati jalan kenangan yang tak akan pernah kembali.
Sesampainya di makam, Rina berhenti sejenak, memandang batu nisan yang terletak di hadapannya. Di sana tertulis nama kakek dengan huruf yang sudah mulai pudar. Rina meletakkan tangan di atas batu nisan itu, merasakan ketenangan yang aneh, meski hatinya masih terasa sesak.
“Assalamu’alaikum, kakek… Aku rindu sekali,” Rina berbisik, suaranya lembut dan penuh harap.
Paman dan bibi berdiri di sampingnya, memberikan ruang bagi Rina untuk berdoa. Dalam keheningan malam, Rina merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah rasa tenang yang tiba-tiba datang. Mungkin ini adalah cara kakek berbicara kepadanya, meski tanpa kata. Mungkin kakek ingin dia tahu bahwa segala yang telah dilalui bersama, kenangan yang tercipta, akan selalu hidup dalam hatinya.
“Ya Allah, beri kekuatan kepada hamba-Mu ini untuk menjalani hidup tanpa kakek. Semoga aku bisa menjadi anak yang selalu menjaga amanah yang telah kakek berikan. Amin.”
Rina memejamkan mata sejenak, mencoba meresapi setiap doa yang keluar dari hatinya. Ketika membuka mata, dia melihat paman dan bibinya tersenyum padanya. Senyuman itu memberikan rasa hangat yang membuat hatinya sedikit lebih ringan. Meskipun kakek tidak ada di dunia ini, Rina tahu bahwa dia tidak sendirian. Paman dan bibi selalu ada untuknya. Mereka adalah keluarga yang akan menemani langkahnya, meski dalam kesedihan yang mendalam.
Malam itu, mereka duduk bersama di dekat makam kakek, merasakan kedamaian yang mengalir melalui hati mereka. Ramadan kali ini mungkin terasa berbeda, namun Rina tahu bahwa kakek selalu ada dalam setiap doa dan kenangannya. Dia akan selalu melanjutkan perjalanan hidupnya, dengan penuh cinta dan harapan, karena kakek telah mengajarkannya untuk selalu bersyukur dan terus melangkah, meski tanpa kehadiran fisiknya.
Penulis: Albii