sebuah ilustrasi peempuan dan senja.

Zaniya bergeming di tepian ranjangnya, meresapi kesunyian malam, dimana tak satupun anak di kamarnya belum terlelap. Hari ini, sejak pagi, suara guru terdengar samar, tidak ada satu pun kata yang berhasil menyentuh hatinya.

Dia merasa terasing di antara teman-temannya yang begitu memahami apa yang disampaikan selama ini. ya, perihal bagaimana merealisasikan apa yang Tuhan firmankan, bagaimana para nabi menjadi tauladan  dalam kehidupan, bagaimana para ahli hadis memberi keterangan seharusnya lebih baik dalam menjalankan Perintah-Nya, bagaimana huruf arab-arab yang perlu diterjemahkan itu dimaknai untuk menjadi pedoman. Benar tempat ini begitu agung dan suci, gudang keilmuan, ntah dirinya yang memang jauh dari sana, atau dirinya yang memaksa diri tak menerima.

Dari jendela kecil itu, ia lihat langit dihiasi bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan emosional yang dialaminya. Di dalam hati, dia merasakan sebuah kerinduan yang mendalam—kerinduan akan ketenangan yang selama ini hilang. Ia dihantui ketakutan akan kegagalan yang amat besar, bahwa nanti berakhir sia-sia. Tidak bisa sama dengan teman-teman yang sudah bisa fasih melantunkan ayat-ayat suci, untaian doa harian bahkan hajat besar yang dipercaya kan langsung diajabah Sang pemilik semesta, mampu menyampaikan terjemahan dan isi kitab-kitab terdahulu para imam besar.

Ia ingin ketenangan tanpa ketakutan menggerogotinya. Rasanya memaksa menjadi sama, tetapi memang ekspektasi itu yang diharapkan. Ini berat. Padahal ia begitu memiliki beragam cara untuk mewujudkan kebahagiaan untuk sekitarnya, tak perlu menjadi sama dengan yang lain. Tapi tempat ini, yang agung nan suci ini memang bertugas membentuknya seperti yang lain. Sama. .

Lalu hening itu menyergapnya,  ia di zona abisal. Dalam kegelapan, ia berada dirinya di ruang kosong tak terbatas, dikelilingi cahaya lembut. Di sampingnya ada bayangannya, menunggu untuk berbincang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Kenapa kita merasa terasing di antara mereka?” tanya Zaniya, suaranya bergetar penuh kerinduan.

Bayangannya menatapnya, penuh pengertian. “Karena kita berusaha keras menjadi orang lain,” jawabnya tegas. “Kita melupakan siapa diri kita yang sebenarnya.”

“Aku lelah berpura-pura,” keluh Zaniya. “Setiap hari, aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri.”

“Lalu, apa yang kau inginkan?” tanya bayangannya, langkahnya mantap. “Apa yang benar-benar kau cari?”

“Aku ingin ketenangan,” jawab Zaniya. “Aku ingin merasa bebas dan menjadi diriku sendiri tanpa rasa takut.”

“Kalau begitu, berhenti menunggu,” bayangannya berkata, suaranya penuh semangat. “Mari kita menari. Di sini, tidak ada yang menghakimi kita. Hanya kita yang bisa menemukan kebebasan ini.”


Dengan keberanian yang baru, Zaniya melangkah maju, mengikuti bayangannya. Mereka mulai menari, gerakan mereka penuh emosi. “Ingat, kita bukan objek untuk divalidasi oleh orang lain,” ucap bayangannya. “Kita adalah pribadi yang berharga. Zaniya—itu namamu. Artinya intelektual. Jangan lupakan itu!”

Zaniya merasakan semangat mengalir dalam setiap gerak. “Tapi bagaimana jika aku gagal?” tanyanya, suaranya tegas namun ragu.

“Gagal bukanlah akhir,” jawab bayangannya. “Setiap langkah adalah pembelajaran. Kita tidak perlu sempurna; kita hanya perlu berani menjadi diri kita sendiri!”

“Jadi, aku bisa menjadi siapa pun yang aku inginkan?” Zaniya bertanya, wajahnya bersinar dengan harapan.

“Ya! Bahkan jika itu berarti menjauh dari semua yang dikenal,” bayangannya menjawab. “Kita bisa menciptakan ruang kita sendiri, tempat di mana kita bisa tumbuh tanpa rasa takut!”

Mereka terus menari, semakin cepat dan penuh semangat. Zaniya merasakan semua rasa sakit dan ketidakpastian menguap. “Aku tidak akan lagi membiarkan orang lain menentukan siapa aku!” serunya, suaranya menggema di dalam kamarnya.

“Betul!” bayangannya menjawab. “Kau adalah Zaniya, sosok intelektual yang berharga. Hidup ini milikmu, dan kau berhak untuk mengejarnya!”

Saat tarian itu berakhir, Zaniya membuka matanya. Bayangannya mulai memudar, tetapi pesan yang dibawanya tetap membara dalam hati. Dia tersenyum, merasakan ketenangan yang telah lama dicari. “Aku akan mencari diriku sendiri,” bisiknya, penuh tekad.

Hari ini, ia telah menari dengan bayangannya sendiri. Kembali mendekapnya tak membunuhnya. Benar apa yang dikata bayangannya, ketenangan dirinya bukan tentang ia berada di ruang kosong tanpa siapapun. Tetapi dimana ia mampu menjadi dirinya di tengah semua gempuran itu. Zaniya, ya menjadi Zaniya.

Ketenangan itu bukan lagi sekadar angan, tetapi sebuah tujuan yang akan dia capai. Zaniya—si intelektual—kini siap menghadapi dunia dengan keberanian baru, bertekad untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya dan membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar ekspektasi orang lain. Ia mengevakuasi dirinya sendiri yang hampir tenggelam dalam putus asa.



Penulis: Airvia Yeanisya G.