Ilustrasi: kehilangan dalam segala hal. (source: loveyourself)

Oleh: halub©*

Belajarlah! Jangan biarkan air itu tumpah begitu saja, sedih—hilang, kecewa binasa. Ambil pelajarannya. Waktu terus berlari, kecepatannya, jika saja kita tahu. Mungkin tak akan banyak yang gila. Tak akan banyak yang mengorbankan kehormatannya.

Waktu itu, mahal? Betulkah? Dibiarkan berlari begitu saja. Jalan-jalan tak dapat berkawan dengan sunyi. Siapa yang dapat menggenggam hati satu manusia? Zaman bergulir, kemajuan datang; dari kekeliruan yang dianggap sah. Dan sebaliknya. Pondasi berpikir, bergetar—pilihan merelakan tergiur, atau bertahan pada prinsip?

Mudah, jika hanya diucap. Menganggap biasa ini hal lain. Menggilakan yang waras, atau sebaliknya. Tak mudah, biar pun kehilangan terjadi setiap hari. Belajar tak mudah. Tetap bodoh adalah mudah, tak juga. Banyak yang dipertaruhkan. Kebencian, cacian, dan banyak lagi.

Istilah-istilah selalu timbul, untuk membentengi kekacauan. Bunga, namanya juga masih muda, jangan terlalu kaku, sok suci padahal pura-pura, munafik di kondisi tertentu. Siapa yang paling bertanggung jawab atas ini?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Orang lain selalu salah. Siapa yang jauh lebih butuh untuk bersedih. Tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Merasa paling berharga, padahal biasa saja. Merasa paling berkuasa, padahal selalu dikhianati dan pengkhianat tulen.

Sungguh, memang tak lucu. Banyak yang dipertaruhkan untuk menggapai sesuatu. Dianggap tolol, tak punya masa depan dan seluruh makna kehilangan yang tak juga selalu dekat dengan kesakitan, ini hanya terapi yang sungguh, mendidik, mungkin.

Jl. Insinyur H. Juanda – Bekasi, Ahd260524, 17.25


Tercenung, Satu Jam

Tidak sesederhana yang dibayangkan. Terlalu lemah, merasa lemah, tak berharta layaknya petualang, anggap benar kesalahan fatal. Tak ada tenang, hutang harus dibayar.

Mulai dari awal lagi, apa-apa dilihat dari seberapa banyak harta yang dipunya. Tak berubah, seorang lagi, melintasi keramaian, menghindari pertanyaan. Bergejolak senyap dengan banyak pertentangan hebat.

Ukuran kepemahaman tiap orang, seperti laut dan sungai. Ada sungai di dalam laut,  adakah rumah di dalam rumah? Keluarga di dalam keluarga? Negara di dalam negara?

Penyesalan di dalam harapan, terlalu berharap, jatuh tak kuat bangkit lagi. Berharap yang lain membaik, lutut sendiri koyak dengan lidah tak bertulang. Pandai bercakap kurangnya ini itu. Kekurangan saya apa?

Tercenung, satu jam, satu hari, satu pekan. Ow lupa! Tak ada kekurangan, sungguh, yakinlah! Semua berjalan semau-maunya saja, orang lain harus ikut aturan pikiran perasaan pribadi. Ketika sebaliknya harus terjadi, tak mau.

Kita semua dikendalikan dengan hati-hati, sangat hati-hati dan jauh sangat penuh perhitungan. Pencarian dengan sederajat, sangat perlu! Kekurangan yang tak jauh, dapat saling diterima.

Potongan nyawa yang diperebutkan. Jika 7 tahun tiba, babak baru bergulir. Belum tentu akan bergerak sesuai harapan pikiran dan perasaan. Mudah, jika diimpikan, tulis, dikhayalkan, diperbincangkan. Pembuktian? Itu kondisi lain lagi.

Ideal, hanya ada di khayal dan permaisurinya. Sudah, berapa fase, keremukan terjadi, ngilu yang bertubi-tubi,  berapa kali?

Jangan merekayasa, jangan kira tak diterka. Semua telah menjadi saksi tanpa diminta. Fitrah dirusak, terperinci, dengan rancangan penuh rapat dan diskusi beribu-ribu jam, malam, dan tahun.

Jl. Insinyur H. Juanda – Bekasi, Ahd260524, 17.00



Karena Apa?

Satu generasi, dahulu, telah utuh. Menghancurkannya, butuh waktu, pengorbanan, serangan yang tidak seperti serangan. Serius, tapi harus santai dan dipikirkan seumur hidup.

Terimakasih diucapkan lagi, terus-terusan. Wajah disolek lagi, badan dipakaikan parfum lagi, gawat! Sudah tak asing lagi, telah dianggap biasa, akrab saja, mengalir bersama kurikulum, yang telah didesain rapi, terperinci, sangat penuh perhitungan, pertimbangan, evaluasi yang berlari bagai angin—menembus generasi yang bahkan urung muncul 20 – 30 tahun lagi. Hebat? Tak. Inilah kekuatan pikiran dan kekonsistenannya.

Kita, dirusak? Tidak, berkali-kali tidak! Kita sangat menikmati ini, sangat menerima dan mencintainya, hingga? 20 – 30 generasi yang terus lahir di bersama aliran sang waktu. Gila? Tak juga. Kita sangat mengaguminya, kerusakan dan ombaknya, indah, sangat menawan.

Fitrah, naluri alami musnah. Berlebihan? Tidak. Jangan menyerah. Kuat, kuat, biar jatuh, menangis lagi, terdiam lagi. Tercabik lagi, dengan kenyataan. Bangkitlah lagi! Naluri alami dari dua lawan jenis akan tetap terus dipangkas, perlahan. Lalu kita menikmatinya, tak mau menyadarinya.

Hingga, yang keliru kita bela, biar pun nyawa taruhannya. Luar binasa.

Jl. Insinyur H. Juanda – Bekasi, Ahd260524, 17.11