
Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo*
Pada era modern kini, teknologi digital berkembang dengan sangat pesat di tengah-tengah kehidupan kita. Hal ini menjadikan informasi dan komunikasi dapat diakses dengan sangat cepat dalam durasi waktu yang relatif singkat. Siapapun yang memiliki gawai dan koneksi internet, baik tua maupun muda, baik anak-anak maupun orang dewasa, pasti dapat mengakses berbagai informasi dan juga menjalin komunikasi dengan sesama di dunia maya. Sebaliknya, bagi yang tidak memiliki akses tersebut, tentu saja ia tidak berkesempatan untuk ikut berkecimpung di dunia maya.
Dalam realita masyarakat kita saat ini, telah jamak diketahui bahwa hampir semua orang memiliki gawai. Akan tetapi, seringkali ada sebagian orang yang mempunyai gawai, namun tak memiliki koneksi internet -sebab sedang tidak punya uang untuk beli kuota atau mungkin punya uang namun malas buat membelinya-, sehingga mereka pun tak dapat mengakses dunia maya.
Kendati demikian ini membuat sebagian orang ‘memutar otak’ agar tetap dapat mengakses dunia maya, namun tanpa perlu keluar uang untuk beli kuota. Salah satu siasat yang biasa dilakukan oleh sebagian orang ini adalah dengan menggunakan jaringat internet, baik hotspot maupun WiFi, milik teman, tetangga, atau orang lain yang ada di sekitar mereka. Tak jarang mereka menggunakan jaringat internet milik orang lain tersebut secara diam-diam, dan bahkan tanpa izin. Hal ini sering kali disebabkan karena pemilik hotspot atau WiFi lupa mengunci jaringan internetnya dengan sandi atau password tertentu.
Lantas, dalam sudut pandang fikih, sebenarnya bagaimana hukum menyambung jaringan internet orang lain secara diam-diam atau tanpa izin itu? Mari kita bahas!
Dalam kitab Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyampaikan keterangan sebagai berikut:
(وَسُئِلَ) بِمَا لَفْظُهُ هَلْ جَوَازُ الْأَخْذ بِعِلْمِ الرِّضَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَمْ مَخْصُوصٌ بِطَعَامِ الضِّيَافَةِ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُمْ أَنَّهُ غَيْر مَخْصُوصٍ بِذَلِكَ وَصَرَّحُوا بِأَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ كَالْعِلْمِ فِي ذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَمَتَى غَلَبَ ظَنُّهُ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحُ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ ثُمَّ إنْ بَانَ خِلَافُ ظَنّه لَزِمَهُ ضَمَانُهُ وَإِلَّا فَلَا
Artinya: “Imam Ibnu Hajar ditanya: apakah kebolehan mengambil sesuatu dengan keyakinan adanya kerelaan pemilik itu tertentu dalam hal hidangan atau yang lainnya? Maka beliau menjawab: masalah tersebut tidak terkhusus dalam hal hidangan saja. Para ulama menjelaskan bahwa prasangka kuat itu kapasitasnya sama dengan keyakinan. Untuk itu, apabila seseorang memiliki prasangka kuat bahwa pemilik barang memberikan keluasan untuk untuk mengambil barang miliknya, maka ia boleh mengambilnya. Namun jika sebaliknya, maka ia wajib mengganti rugi.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 4/116).
Dari keterangan di atas, dapat diqiyaskan bahwa perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin ini sama halnya seperti mengambil hidangan milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik sebagaimana keterangan di atas. Sehingga, dalam tinjauan sudut pandang fikih, hukum perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin tersebut, berdasarkan keterangan di atas, dapat diperinci sebagai berikut:
Apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa jaringan tersebut tersebut hanya digunakan secara pribadi (tidak untuk umum) dan pemilik tidak rela jika dimanfaatkan olehnya, maka menggunakan jaringan internet tersebut hukumnya haram. Akan tetapi, bila seseorang memiliki keyakinan atau sangkaan kuat bahwa pemiliknya rela jika jaringan internetnya dimanfaatkan olehnya, maka hukum memanfaatkan jaringat internet tersebut diperbolehkan, meski tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum menyambung atau memanfaatkan jaringan internet hotspot atau WiFi tanpa sepengetahuan pemiliknya itu tergantung pada adanya keyakinan atau sangkaan yang kuat apakah pemiliknya rela ataukah tidak. Wallahu a’lam bishshowaab.
__________________
Referensi:
Al-Haitami, Ibnu Hajar. Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra.