
Oleh: M Farhan Syah Putra*
Kiai Kamuli dan Pengalaman Mondoknya
Tebuireng selalu memiliki cerita-cerita menarik di dalamnya. Pesantren yang sudah melahirkan banyak kiai ini tentu memiliki dinamika pendidikan yang tidak sembarangan. Pendidikan yang mampu membentuk nalar intelektual dan nalar spiritual. Maka keberhasilan seorang santri adalah ketika ia mampu mengelola kedua hal itu dengan istiqomah. Begitulah kesimpulan yang saya dapatkan setelah ngaji dan ngobrol-ngobrol dengan Kiai Kamuli.
Kiai Kamuli bagi saya sosok Kiai yang luar biasa. Disamping ketawaduannya, sikap keistiqomahannya juga memiliki daya tarik tersendiri. Saya sendiri sudah ngefans dengan beliau sejak kelas 2 SMA yaitu ketika ngaji kitab al-Muqoddimah al-Hadromiah, penjelasannya yang runtut dan jelas serta diselingi beberapa cerita, membuat pengajian kitab serasa lebih asik dan menarik. Apalagi kalo sudah bercerita soal pengalaman mondoknya dulu.
Kalo ngomongin Kiai kamuli maka tidak lepas dari tiga hal ; tasbih digital, membaca al-quran dan semangat mengaji. Saya kira tiga inilah yang selalu melekat dan selalu ditekankan oleh beliau. Dan semua itu berawal dari cerita mondok beliau di tahun 1963.
Semangat Intelektual dan Spiritual
Pendidikan pesantren adalah pendidikan yang unik, hampir tidak ada pendidikan yang menggabungkan semangat intelektual dan spiritual menjadi satu kesatuan seperti pendidikan pesantren. Keduanya memiliki tempat yang istimewa dalam diri pesantren sehingga tidak lengkap rasanya jika seorang santri mengabaikan salah satu dari keduanya. Begitulah kira-kira inti dari pesan Kiai Kamuli yang saya dengar dari beliau.
Beliau bercerita bahwa dulu di Tebuireng semangat para santri dalam membentuk intelektualitas dan spiritualitas sangat tinggi. Hal itu bisa kita lihat dari kegiatan yang dilakukan oleh para santri dari pagi sampai malam. Beliau juga bercerita bahwa dulu di Tebuireng kajian keilmuan sangat banyak, inilah kemudian yang dilakukan oleh Kiai Kamuli. Beliau tidak menyianyiakan waktunya untuk bersenang-senang.
Kiai Idris Kamali merupakan salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam membentuk karakter pada diri Kiai Kamuli. Beliau bercerita bahwa model sorogan yang diterapkan oleh Kiai Idris Kamali tidak sama seperti pada umumnya. Para santri yang melakukan sorogan kitab kepada Kiai Idris tidak menggunakan dialek utawi iki iku, tetapi hanya membaca arabnya saja.
Beliau juga bercerita bahwa, karena konsep ngaji sorogan seperti inilah yang kemudian mendorong para santri untuk melakukan kegiatan musyawaarah ba’da isya di Pelataran Masjid Tebuireng, tujuannya adalah untuk memahami lebih lanjut proses sorogan yang sudah dilakukan sebelumnya. Kegiatan ini juga melibatkan santri senior yang berperan sebagai musohhih dari kegiatan musyawarah tersebut.
Tidak hanya sisi intelektualitas saja yang coba dibentuk oleh Kiai Idris kepada para santri pilihannya, sisi spiritualitasnya juga beliau gembleng. Kiai Kamuli bercerita bahwa, Kiai Idris selalu membuka pendaftaran puasa sunnah bagi santri yang menginginkannya. Program ini dibiayai langsung oleh Kiai Idris. Puasa sunnah ini meliputi puasa Rajab 1 bulan, Sya’ban 1 bulan, Syawal 6 hari, Dzulhijah 9 hari dan Muharrom 10 hari. Kiai Idris juga menekankan para santri yang mengikuti program ini untuk menghatamakn Al-Quran 5 hari sekali atau 1 hari 6 Juz.
Proses seperti inilah yang kemudian membentuk pribadi Kiai Kamuli yang penuh dengan keteladanan. Di usia sekarang ini (sekitar 70an) beliau masih semangat mengajar di berbagai tempat dengan berbagai macam kitab. Beliau bercerita bahwa kegiatan mengajar beliau tidak hanya selesai di pondok tetapi juga ada beberapa santri yang mengaji di rumah beliau.
Keteladanan yang lain juga bisa kita lihat dari tasbih digital yang selalu nempel di tangan kirinya. Bahkan ketika saya sedang berbincang dengan beliau, jari-jari itu tidak berhenti menekan tombol tasbih digital tersebut. Keteladanan yang lain juga bisa kita lihat dari keistiqomahan beliau dalam membaca Al-Quran. Menurut satu cerita yang saya dapat bahwa beliau secara istiqomah membaca Al-Quran 1 hari 10 juz. Sebuah angka yang luar biasa jika kita lihat dengan segudang kesibukan yang beliau lakukan.
Begitulah Tebuireng tempo dulu, antara kiai dan santri memiliki semangat yang sama sehingga mampu melahirkan santri-santri yang berkualitas. Keberhasilan seorang santri tidak hanya ditentukan dari sisi intelektualnya saja tetapi juga dari sisi spiritualnya dan keduanya tidak akan berhasil jika antara kiai dan santri tidak bertemu dalam satu titik yang bernama kesungguhan.
*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.