ilustrasi Nabi Adam turun ke bumi

Allah menganugerahkan manusia akal dan nafsu sebagai kelebihannya. Dua alat tersebut adalah modal utama untuk menjalani kehidupan dunia di mana penuh dengan ujian dan cobaan. Berbicara tentang ujian, sebagai insan pertama di muka bumi, hikayat dalam al-Quran tentang Nabi Adam dapat menjadi pelajaran bagi manusia saat ini. Meskipun dalam redaksi kisah ini dirinya mengalami kegagalan, namun ia pantang menyerah untuk terus memperbaiki diri dan berusaha melakukan apapun yang membuat Allah ridha kepadanya.  

Gagal Menjalani Ujian dari Allah, Nabi Adam Diturunkan ke Muka Bumi

Nabi Adam tinggal di surga dengan penuh kenikmatan dan kemakmuran ditenami Ibu Hawa yang diciptakan Allah dari tulang rurusknya sendiri. Apa saja yang dia inginkan, saat itu juga ada di hadapannya, baik berupa makanan, minuman, dan lainnya. Perihal kehidupan surga yang sempurna dan bahagia sebab tiada kelaparan dan dahaga itu terekam dalam Q.S. Taha ayat 118-119.

Di ayat sebelumnya dalam ayat 115-117, sejatinya Nabi Adam telah diingatkan agar tidak mendekati sebuah pohon. Itu saja yang dilarang, yang lain tidak ada. Allah menguji keduanya dengan iblis yang perlahan terus mencoba merayu mereka dengan tipu daya.

Bujuk rayu iblis berhasil, keduanya tidak dapat mengendalikan hawa nafsu mereka berdua. Menurut Quraisy Shihab, sebab ia lupa sehingga terperdaya oleh setan dan mengabaikan peringatan tersebut. Hal itu pula disebabkan oleh dia tidak memilki tekad yang kuat dan kemauan yang kuat serta kesabaran untuk membentengi diri dari rayuan dan tipuan setan. (Tafsir al-Lubab, h. 417)

Maka akibat dari perbuatan itu Nabi Adam dan Siti Hawa diusir dari surga. Mereka berdua pun diturunkan ke bumi dan dipisahkan seperti dalam Q.S. al-Baqarah ayat 36. (Tafsir At-Tabari, Juz I. h. 524.) Sebelum itu, Nabi Adam dan Siti Hawa memohon ampun kepada Allah seraya bertaubat atas dosa yang dilakukannya. Hal ini tertulis dalam QS. al-A’raf ayat 23.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kesalahan dan Penyesalan

Saat Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi, keduanya sangat bersedih. Dikatakan bahwa keduanya menangis sejadi-jadinya. Dalam Kitab Thaharatul Qulub, karangan Syaikh Abdul Aziz ad-Dirini diceritakan kisah ketika turunnya Nabi Adam ke bumi, beliau terdiam selama tujuh hari, menangis hingga air matanya kering, dan kepalanya menunduk. Lalu, Allah SWT bertanya, “Beban berat apa yang Aku lihat menimpa dirimu?”

Nabi Adam kemudian menjawab, “Wahai Tuhanku, musibahku besar dan kesalahan mengelilingiku. Aku dikeluarkan dari malakut Tuhanku, hingga kini berada di negeri kehinaan, padahal sebelumnya berada di negeri kemuliaan. Aku berada di negeri keletihan, padahal sebelumnya berada di negeri kesenangan. Karenanya, bagaimana mungkin aku tidak menangisi kesalahanku?”

Lalu, Allah mewahyukan, “Wahai Adam, bukankah Aku memilihmu untuk diriKu menghalalkan negeriKu, mengistimewakanmu dengan kemuliaanKu, serta memerintahkanmu untuk mewaspadai amarah-Ku? Bukankah Aku menciptakanmu dengan tanganKu, meniup rohKu ke dalam dirimu, memerintahkan para malaikat bersujud kepada-Mu, namun kamu malah bermaksiat kepada perintahKu, melupakan janjiKu, dan perlahan mendekati amarahKu.” Lalu, Nabi Adam AS menangis selama 300 tahun.

Indahnya Keterusiran Nabi Adam Disesali dengan I’tiraf

Dalam penyesalan atas kesalahannya itu, Nabi Adam tidak henti-hentinya memohon ampunan kepada Allah. Dijelaskan dalam Kitab al-Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Rasulullah bersabda; bahwa beliau meminta ampun dengan bertawasul dengan nama Nabi Muhammad.

Doa beliau, “Wahai Tuhanku, dengan derajat yang ada pada Muhammad, aku meminta kepada-Mu agar engkau memafkan aku.” Lalu Allah menjawabnya, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum (memperlihatkannya kepadamu)?”

Nabi Adam pun menjawab: “Ya Allah, ketika Engkau menciptakanku dengan tanganMu dan meniupkan rohMu ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku dan kulihat penyangga singgasana arsy tertulis Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah. Aku tahu bahwa Engkau tidak mengaitkan sesuatu pada namaMu, kecuali sesuatu itu adalah makhluk yang paling Engkau cintai,”.

Maka dalam sebuah hadis riwayat Hakim disebutkan bahwa Allah menjawab komentar Adam: “Engkau benar, wahai Adam. Muhammad memang makhluk-Ku yang paling Kucintai. Jika kamu memintaKu dengan perantaraan kebenaran Muhammad, maka Aku mengampunimu. Andai bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanMu.”

Ibrah dari Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa

Apa pelajaran yang menarik, tetapi sering terabaikan dari cerita Nabi Adam dan Siti Hawa?

Sebagaimana Nabi Adam dan istrinya tidak mampu mengendalikan nafsu serakah yang ada dalam dirinya, akhirnya hidupnya menjadi susah. Mereka gagal melewati hanya satu cobaan, padahal di sisi lain karunia Allah berlimpah tanpa batas, tetapi karena dasar nafsu matanya tertuju pada buah khuldi yang terlarang ternyata itulah yang membuat mereka tercampak dari yang serba bekecukupan menjadi terlantar serba berkekurangan dan menyulitkan.

Pertama, angka dan jumlah tidak memiliki kekuatan yang menjerumuskan. Banyak orang dengan keterbatasan dan kekurangan, mereka bisa bersyukur dan hidup bahagia dalam ketaatan kepada Allah. Dan dengan hati yang qana’ah itu jumlah sedikit akan terasa cukup. Namun justru orang dengan limpahan dan kemewahan harta dan tahta, malah terjerumus dalam noda dan dosa. Sebab mereka memiliki nafsu serakah yang tidak pernah akan merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya.

Kedua, pelanggaran dan dosa mengakibatkan kesusahan dan menyulitkan. Juga dosa dapat merusak qalbu dan melemahkan iman. Dosa pun dapat membuat seseorang menjadi gundah gulana dalam hidup. Betapa hebatnya dosa menjadi virus yang membahayakan bagi kehidupan manusia dan bahkan menjadi sumber malapetaka kebidupan manusia. 

Dan pesan moral yang tak kalah penting dari kisah di atas, setiap manusia ketika diuji pasti memiliki potensi berbuat kesalahan dan dosa. Jangankan kita orang biasa yang hidup di zaman ini, sekelas Nabi Adam saja masih bisa terjerumus dalam kesalahan yang membuatnya harus menanggung hukuman begitu berat. Namun beliau menyesali kesalahan dan menerima serta menjalankan apa yang ditetapkan oleh Allah pada dirinya. Hukuman itu tidak menjadikan beliau memilih jalan pembangkangan. Akan tetapi, justru pada momen itulah beliau semakin menyandarkan diri kepada Tuhannya dan meminta ampunan atas kesalahannya.

Ditulis oleh: Syauqi Nailul Kamal, Pegiat Kajian Islam dan Kebangsaan.