Pemateri dan pembedah film “Di Bawah Bendera Demokrasi”, dalam acara Haul Gus Dur yang berlangsung di MINHA. (foto: rizal)

Tebuireng.online– Para penerus semangat perjuangan Gus Dur dan pecinta Gus Dur gelar nonton bareng film “Di Bawah Bendera Demokrasi” pada Sabtu (16/12/2023) di Museum Islam Hasyim Asy’ari (MINHA) Tebuireng, Jombang.

Acara ini dimotori oleh GusDurian Wilayah Jawa Timur bekerja sama dengan Museum Islam Hasyim Asy’ari dan jaringan Gusdur yang berada di kabupaten Jombang dan sekitarnya.

Nobar film garapan metro tv ini juga menghadirkan dua orang pembicara, yakni Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) Indonesia, Akhol Firdaus, dan Emma Rahmawati, Pengasuh Ponpes Seblak, Jombang.

Peserta khusyuk menyimak pemutaran film. (foto: rizal)

Emma Rahmawati atau biasa dipanggil Ning Emma menyebutkan ada banyak sekali keteladanan yang dapat diambil dari Gus Dur.

“Dalam demokrasi bagi saya ada 4 hal yang dapat diteladani dari politik demokrasinya Gus Dur. Pertama, menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusian. Kedua, kesejahteraan manusia. Ketiga, anti kekerasan. Keempat, menjunjung tinggi konstitusi,” ujarnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di lain sisi, ketika Ning Emma mengaitkan pemikiran Gus Dur tentang kajian gender beliau justru menemukan luasnya pemikiran Gus Dur tersebut.

“Ketik masih muda, saat ayah saya meninggal dan bertemu dengan Gus Dur, kala itu saya baru awal-awal kuliah, jadi belum terlalu banyak membaca buku-buku pemikiran, hanya kitab-kitab pesantren aja dulu. Kemudian setelah saya fokus pada kajian gender dan perempuan, di sana saya menemukan betapa besarnya pemikiran Gus Dur itu,” ungkapnya.

Di sesinya, Ning Emma berstatement bahwa, Gus Dur sudah meneladankan saatnya kita melanjutkan.

Selain itu, Akhol Firdaus juga menyampaikan tentang sepak terjang Gus Dur itu sangat luar biasa.

Foto bersama usai nonton bersama film Di Bawah Bendera Demokrasi. (foto: panitia)

“Gus Dur itu selalu pasang badan untuk tegaknya demokrasi di Indonesia. Sehingga, perjuanagan menata Indonesia yang jauh lebih ramah itu rupanya menjadi cita-cita yang masih mewah hingga sekarang. Makanya, beruntung kita punya tokoh yang seumur hidupnya mengabdikan diri untuk cita-cita ini,” ungkap pria yang juga menjadi Dosen Filsafat di UIN Tulungagung.

“Betapa pun Gus Dur tokoh yang komplit, tapi beliau berada di pinggiran bersama orang-orang yang terpinggirkan. Sehingga normanya selesai, ideologinya jadi, tapi perjuangannya yang tidak pernah selesai. Maka, inilah yang harus menjadi PR kita bersama,” lanjut Akhol mengakhiri materinya.

Pewarta: Al Fahrizal