Buku Mahbub Djunaidi : Angin Musim
  • Judul: Angin Musim
  • Penulis: Mahbub Djunaidi
  • Penerbit: Diva Press
  • Cetakan Pertama, September 2018
  • Tebal: 320 hlm; 14 x 20
  • Peresensi: Masnun Muhammad*

Setelah sukses‎ dengan novel Dari Hari ke Hari, yang mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (1974), Mahbub Djunaidi menuntaskan satu novel lagi yang berjudul Angin Musim (1981). Namun novel kali ini tidak memiliki daftar isi. Judul babnya pun hanya nomor urut dari “Satu” hingga “Dua Puluh”. Sungguh memang harus dibaca dengan utuh bila ingin mengetahui isinya.

Tokoh utama dalam novel ini adalah seekor kucing betina berwarna kuning (Si Kuning). Dia merupakan anak dari kucing jantan seorang Wedana dan kucing betina seorang pemborong. Sejak kecil hidup di pasar hingga dia dimasukkan ke karung dan dibawa ke penjara.

Kucing ini bersahabat dengan penghuni penjara yang berasal dari berbagai latar belakang, seperti mantan Kepala Jawatan Kereta Api, bekas Mayor Jenderal/Brigadir Jenderal, wartawan, dan seniman. Selain itu, ada pula beberapa penghuni baru yang berasal dari anak-anak muda yang pantas membawa sepotong pensil di tangan dan mendengarkan seorang guru gemuk mondar-mandir tak henti-hentinya. (hal 178)

Di tempat rehabilitasi itu juga ditemani oleh dua kucing jantan yang disebutkan dengan Si Pincang dan Si Keropos. Si Pincang merupakan kucing kantoran yang sistematis dan terukur pada setiap langkahnya. Kucing jantan satu ini pendiam dan tak pernah mengeluarkan suara sebelum dikaji dengan matang. Dalam bangsa manusia sifat seperti ini diistilahkan “bijak bestari”. Bahkan terkadang saking lamanya malah tidak bersuara sama sekali. (hal 85)

Sedangkan Si Keropos adalah kucing kampung yang bulunya mengkilat helai demi helai. Kepalanya seperti bungkus obat nyamuk. Ini bukan bermaksud menjelekkan, namun menunjukkan rasa ketidaksabarannya. Kakinya nampak kuat dan berisi hingga sanggup menerkam dengan sekali lompat. Dengkulnya tegap seperti jambu klutuk. (hal 84)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Novel bersampul kucing ini memberikan banyak refleksi tentang kehidupan dari akar rumput. Kepedulian Mahbub kepada masyarakat umum yang sering terkalahkan oleh penguasa. Tak luput pula kritik terhadap kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. Semuanya disampaikan dengan metafora bersama lelucon-lelucon ala Mahbub.

“Pemerintah zaman mutakhir tidak menggantungkan nafkah semata-mata dari memungut pajak, termasuk pajak tempel gerobak dorong melainkan lewat utang dari negeri empat penjuru angin dan cicilannya diserahkan kepada anak cucu untuk membayarnya seberapa bisa. Berkat tata-tertib keuangan dunia yang berpandangan jauh ini, semakin banyak suatu negeri punya utang semakin tinggi martabatnya. Di sinilah letak beda penting antara pemerintahan dan orang kampung.” (hal 248)

Tidak menemukan diksi “Angin Musim” yang dipakai untuk judul di dalam isi buku ini. Selain itu, tersadarkan bahwa minim edukasi bagi orang yang ada di penjara. Para tahanan tidak dibekali kemampuan apapun ketika menjalani rehabilitasi. Apakah ini masih terjadi sampai sekarang? Kalau memang begitu, jadi maklum apabila narapidana yang dibebaskan karena mengurangi dampak penyakit korona mengulangi kejahatan yang dilakukan sebelumnya.

Orang yang tidak memiliki hati itu seperti tikus. Bangsa tikus merupakan makhluk yang paling jahanam dari semua makhluk, dia tidak memiliki pembesar, bahkan berpikir pun tidak. Hidupnya kacau balau bagai kelereng tumpah. Tikus – Yahudi-nya kaum binatang – tak henti-hentinya bikin onar baik terhadap manusia maupun kucing. Dan ini kualami sendiri (Si Kuning). Kalau saja mereka itu sedikit berakhlak, tidak bakalan aku dijebloskan ke dalam kantung semen dan dicampakkan di sini (penjara). (hal 60)

Buku ini merupakan bacaan wajib bagi para mahasiswa. Bersama-sama memikirkan dan mengusahakan kemajuan peradaban bangsa. Orang yang memiliki hati nurani akan selalu memberikan kebaikan di mana pun dia berada.

Novel ini ditulis di dalam penjara nirbaya, saat itu bersamaan dengan Sutomo (pemimpin gerakan 10 November) dan Prof. Dr. Ismail Suny (Rektor Universitas Muhammadiyah). Mereka dipenjara dengan tuduhan subversi atau menghasut mahasiswa.  Para tahanan nirbaya tersebut sudah diusahakan menjadi tahanan kota namun tetap tidak berhasil.

Mahbub sering sakit saat menjadi tahanan. Selain itu, dia tidak bisa merayakan lebaran bersama keluarga. Tetapi tetap berusaha menulis dan berkarya dengan kondisi apapun.

“Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai. Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. Papa orang yang sudah banyak makan garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan,” sepenggal surat Mahbub Djunaidi ketika tidak bisa merayakan lebaran bersama keluarga.

Mari kita tetap menjaga diri dari virus korona dengan mengurangi mobilitas walaupun harus meninggalkan keluarga. Semoga angin musim korona cepat berlalu. 

Rujukan tambahan:

  • Djunaidi, Mahbub. 2018. Kolom Demi Kolom. Yogyakarta: Diva Press.
  • Djunaidi, Mahbub. 2018. Asal Usul. Yogyakarta: Diva Press.
  • https://www.nu.or.id/post/read/79274/surat-lebaran-h-mahbub-djunaidi-dari-penjara
  • https://tirto.id/mahbub-djunaidi-berpolitik-lewat-gagasan-dan-tulisan-cK1d
  • https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/149414/ddipenjara-biar-tak-banyak-bicara

*Peresensi merupakan Alumni Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang. Saat ini aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Jombang.