Buku terbitan Pustaka Tebuireng

“Sudah saatnya kita semua bisa memulai harakah untuk memberdayakan masyarakat dan menyatukan umas dengan berbagai cara sebagaimana yang telah dilakukan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.” Begitu pesan KH. Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) dalam pengantar buku Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari; Pemersatu Umat Islam Indonesia (Percik Pemikiran Relfektif Socio-Religious KH. Abdul Hakim Mahfudz). Buku ini merupakan sajian gagasan, penelusuran, diskusi, serta argumentasi Gus Kikin terkait sosok Kiai Hasyim sebagai pemersatu umat Islam Indonesia.

Buku ini menampilkan diakronik kesadaran dan kesengajaan Kiai Hasyim terkait aneka upaya berkelanjutan dalam rangka menyatukan umat Islam Indonesia. Buku ini memuat enam bab yang terdiri dari; Profil Kiai Hasyim, Spirit Nasionalisme Kiai Hasyim, Pesantren Tebuireng dan Pergerakan Islam Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Upaya Pelestarian Paham Aswaja, MIAI-Masyumi dan Semangat Persatuan Umat Islam, dan Resolusi Jihad dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Enam bab tersebut disusun secara kronik mulai dari tahun 1897 hingga 1947.

Pada tahun 1897 Kiai Hasyim muda yang belum genap berumur 28 tahun bersama para ulama’ lain berikrar di depan multazam untuk memperjuangkan kemerdekan negaranya masing-masing. Ini adalah bentuk nasionalisme Kiai Hasyim pada bangsa Indonesia. Menurut Gus Kikin pertemuan Kiai Hasyim dengan Syaikh Nawawi Banten di Makkah menambah sikap nasionalismenya. Hingga sikap nasiolisme syaikh Nawawi kemudian diwarisi seluruh ulama diaspora di tanah Hijaz. (hal 53)

Sikap nasionalisme Syaikh Nawawi ini terpotret dalam Murah Labid untuk memperkuat  dan  membangun  nasionalisme  kebangsaan  maka  harus tercipta negara yang damai. Teks lengkapnya sebagai berikut:

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَـٰذَا بَلَدًا ءَامِنࣰا وَٱرۡزُقۡ أَهۡلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَ ٰ⁠تِ مَنۡ ءَامَنَ مِنۡهُم بِٱللَّهِ 

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian” (Surat Al-Baqarah: 126)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

فإن الدنيا إذا طلبت ليتقوى بها على الدين كان ذلك من أعظم أركان الدين فإذا كان البلد آمنا وحصل فيه الخصب تفرغ أهله لطاعة الله تعالى وأيضا إن الخصب مما يدعو الإنسان إلى تلك البلدة فهو سبب اتصاله في الطاعة

Kata Nawawi, “Apabila dunia itu dicari untuk ketakwaan dalam agama, maka hal itu termasuk pokok agama yang utama. Kemudian ketika negara itu aman dan menghasilkan kedamaian, maka waraganya tenang untuk melaksanakan ketakwaan. Sebab kesuburan (ketahanan pangan) itu pula yang diinginkan manusia di negaranya, hingga menjadi sebab keberlanjutan ketakwaan.

Tampak Syaikh Nawawi mengidam-idamkan negara Indonesia ini aman dari para penjajah, sebagaimana negara Makkah. Di ayat yang lain Syaikh Nawawi menggambarkan tentang kebolehan berbuat baik antar umat Islam maupun Non-Islam, selama mereka tidak mengganggu agama Islam atau mengusih penduduk asli.  Hal ini nanti tampak jelas saat penggambaran proses Kiai Hasyim memfatwakan Resolusi Jihad sebagai bentuk perlawanan kepada penjajah.

Proses penyatuan umat Islam oleh Kiai Hasyim di Indonesia dimulai dengan mengkritik organisasi Islam terkuat saat itu. Pada 1913 Kiai Hasyim mengkritik organisasi Sarekat Islam (SI) risalahnya yang berjudul Kaff al-‘Awwam ‘an al-Haudl fi Syarikah al-Islam. Katanya SI hanya menimbulkan perpecahan antar umat Islam. Lantaran anggotanya marah pada Islam lain yang tidak mau masuk ke dalam organisasi ini, meski muslim itu adalah ayah, anak, saudara, atau gurunya. (hal 64) Bahkan Gus Kikin menilai bahwa pembakaran Pesantren Tebuireng pada 1913 bukan hanya tuduhan pembunuhan yang tidak terbukti saja. Namun tebitnya kitab ini yang menjadi salah satu alasan pesantren Tebuireng dibakar. (hal 71)

Terbitnya Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah  pada tahun 1921 menjadi penanda runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyah dan munculnya gerakan modernis Islam. Gus Kikin menilai kitab ini merupakan respon Kiai Hasyim akan gerakan modernisme Islam di Indonesia yang mulai meninggalkan mazhab dan taklid. Gerakan-gerakan itu sekaligus melahirkan perpecahan di antara umat Islam. Hingga kemudian Kiai Hasyim menyusun Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim sebagai jangkat moralitas dan komitmen keberagamaan etis bagi kaum pesantren. Sehingga para santri tetap berada dalam lingkar rantai keilmuan dari para kiai hingga imam mazhab, terus hingga Nabi. (hal 98-99)

Gambaran perpecahan umat Islam di Indonesia saat itu dinilai cukup signifikan. Oleh karenanya Kiai Wahab Hasbullah mengusulkan pada Kiai Hasyim agar mendirikan organisasi. Namun usulan itu baru terlaksana dua tahun setelahnya dengan bentuk Nahdlatul Ulama pada 1926. Kiai Hasyim tidak ingin organisasi kaum pesantren itu justeru menjadi pemicu perpecahan umat Islam Indonesia. (hal. 118)

Perjalanan berikutnya Kiai Hasyim menyusun risalah al-Mawaidz, sebagai responnya terhadap banyaknya perdebatan furu’iyyah di kalangan umat Islam yang kontra produktif. Beliau memberi nasihat kepada kalangan tradisionalis, modernis, dan keduanya. Padahal ada masalah penting yang dihadapi bersama yakni adanya ordonansi Belanda yang mempersempit gerak belajar-mengajar umat Islam Indonesia. (hal. 128) Gus Kikin mengatakan bahwa penerbitan disebarluaskannya risalah ini adalah bentuk upaya penyatuan umat Islam Indonesia.

Lalu di tahun 1937 muncul MIAI sebagai representasi kesatuan umat Islam Indonesia kala itu. Berdirinya MIAI saat itu dinilai adalah buah dari usaha penyatuan Kiai Hasyim sejak janjinya di depan Multazam, pendirian pesantren, penyusunan kitab, hingga pendirian NU. Komitmen dan otoritas Kiai Hasyim terhadap upaya penyatuan umat Islam dinilai oleh Gus Kikin membuahkan hasil akan munculnya Resolusi Jihad di tahun 1945. (hal. 143)

Setidaknya, butuh waktu kurang lebih setengah abad—sejak berdirinya Tebuireng—agar Kiai Hasyim dipercaya dan diakui seluruh umat Islam Indonesia. Hingga otoritas keagamaannya mampu membuat para pejuang di peperangan 10 November 1945 tak gentar menghadapi kematian melawan sekutu. Alakulihal, buku ini dipandang perlu sebagai pembanding ketika mengkaji keseluruhan karya Kiai Hasyim. Terlebih untuk para pengajar yang memberikan pengajian kitab Kiai Hasyim. Karena bagi Gus Kikin Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari tak dapat dinilai dari karya-karya beliau saja. Melainkan harus melihat latar sosial saat itu. Sehingga kontruksinya tampak jelas.


Judul: Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari;
Pemersatu Umat Islam Indonesia (Percik Pemikiran Relfektif Socio-Religious KH. Abdul Hakim Mahfudz


Penulis:
KH. Abdul Hakim Mahfudz
Mohamad Anang Firdaus
Rizki Syahrul Ramadhan
Ilham Zidal Haq

Cetakan: April, 2024
Penerbit: Pustaka Tebuireng
Harga: Rp. 70.000 (WA. 0812 3277 6019)
Resensi: Yuniar Indra Yahya