(Ilustrasi: Abror Rosyidin)

Oleh: Muhammmad Ali Ridho*

Setiap ibadah dalam agama kita mempunyai stressing yang berbeda-beda. Ada ibadah yang disebut ibadah qolbiyah, sekalipun anggota badan tidak banyak ikut berperan,  hal itu tetap dinilai ibadah.

Kita bisa saja duduk santai di kantor, menjamu tamu tapi di hati kita terbisik lafadz Allah, kita bisa saja berdiri di depan pantai, menikmati luasnya pemandangan terhampar membiru, hati kita berucap, “bukan main indahnya laut ini, jika laut aja begini hebatnya, bagaimana lagi yang menciptakannya?” hal yang seperti ini berpahala, karena kita tidak mengagumi laut, tetapi mengagumi yang menciptakanmya, ini di sebut wisata rohani, ibadah qolbiyah atau dalam istilah tasawufnya disebut dzikir khofi.

Adapula ibadah qolbiyah wa badaniyah, selain hati, anggota badan juga ikut berperan, adapun harta tidak terlalu berperan, seperti halnya berpuasa di bulan Ramadan,  asal hati kita punya keinginan dan mau mengerjakan, menjauhi larangan-larangan dalam puasa, Ibadah itu bisa terlaksana.

Shalat walaupun ada unsur harta namun tak seberapa, unsur yang paling dominan adalah hati dan badan, kita cukup berniat dalam hati kemudian badan mengerjakan  sesuai dengan petunjuk yang ada maka kita telah dihitung melakukan ibadah.

Majalah Tebuireng

Kemudian ada pula ibadah yang disebut qolbiyah-badaniyah wa maliyah, hati, jasmani, dan harta, ketiga komponen ini sama-sama berperan, seperti halnya ibadah Haji. Dalam hal ini hati berniat, badan melaksanakan, harta dikeluarkan baru terlaksana ibadahnya.

Hati ingin betul pergi Haji, badan sehat, namun uang tidak punya, selamat melamun!.  Uang banyak, badan sehat, namun hati kurang semangat, maka hartanya dibawa berlibur ke New York, London, Paris, Korea dan tempat-tempat lainnya.

Kali ini, penulis akan membahas ibadah yang justru yang ditekankan adalah harta, yang kerab disebut ibadah maliyah. Memang harta yang diminta untuk dikeluarkan dalam melaksanakan ibadah itu.

Dalam hal ini, Islam mengemasnya dalam bentuk zakat, infaq dan shadaqah. ketiganya mempunyai definisi yang berbeda-berbeda sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.

Kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebuah negara yang kaya dengan sumber daya alam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia, merupakan suatu yang sangat memperihatinkan.

Memang benar kesenjangan sosial yang alami adalah Sunnatullah. Al-Quran menjelaskan hal itu, “Kami lebihkan kamu dari yang lain”. Ada yang kaya ada yang miskin, ada yang alim dan ada pula yang awam.

Namun, kenapa kesenjangan kita permasalahkan,? Jika kita cermati lebih jauh, ditemukan bukti-bukti empiris bahwa pertambahan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bukanlah karena persoalan kekayaan alam yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk (over population), akan tetapi karena persoalan distribusi yang kurang baik serta rendahnya rasa kesetiakawanan di antara sesama anggota masyarakat. Dari hal itu kita simpulkan bahwa kesenjangan yang terjadi merupakan kesenjangan stuktural.

Kita menyadari bahwa pemerataan bukan menciptakan standar ekonomi dengan standar ala Komunisme. Yang kita harapkan adanya keadilan, pemerataan, terciptanya peluang dan kesempatan, artinya jikalau yang kaya semakin kaya, kenapa yang miskin tidak bisa ikut kaya?.

Untuk itu Islam datang, yang mana salah satu dari ajarannya yaitu anjuran melakukan filantropi (kebajikan) terhadap sesama anggota masyarakat dalam bentuk harta. Hal itu dikemas dalam berbagai bentuk seperti syariat zakat, infaq, shadaqah dan memberikan harta terbaik yang dimiliki untuk kepentingan public (wakaf).

Apa salahnya jika kita meluangkan sedikit harta yang kita miliki untuk orang-orang yang membutuhkan. Dalam artian walaupun kita sudah berusaha dengan susah payah untuk mendapatkan harta itu. Namun kita harus ingat bahwa ada hak orang lain dalam harta kita yang harus kita berikan pada mereka dalam berbagai bentuk yang ada, baik zakat, infaq maupun shadaqah.

Zakat berfungsi sebagai  tazkiyah, pembersih harta dan jiwa kita, sebagai pembersih jiwa jika itu zakat fitrah, pembersih harta jika itu zakat zuru dan tijaroh’, dan pembersih barang tambang jika zakat ma’adin  dan seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi “bersihkan harta kalian dengan mengeluarkan zakat”. Tentunya dalam harta yang kita cari,  bercampur dengan sedikit keharaman atau dengan perkara subhat itulah yang dibersihkan dengan zakat.

Namun, ada yang menggunakan dalil ini secara keliru, kita korupsi saja nanti kita bersihkan harta itu dengan zakat, itukan politik money loundry. Hal itu tidak dikenal dalam Islam. jika mau, kita analogikan begini, baju kita yang terkena najis bisa disucikan, namun najis itu sendiri apakah bisa disucikan? Tentu tidak. Jadi tidak bisa menggunakan dalil tersebut dalam hal ini.

Jika zakat ini tidak kita tunaikan maka Allah akan mencabut keberkahan dalam harta yang kita miliki. Untuk  zakat memang ada haul (ukuran waktunya), nishab (ukuran dari jumlah yang harus kita keluarkan). Berbeda dengan infaq yangtidak terkait dengan nisab, tetapi terikat dengan situasi dan kondisi. Biasanya jika objek kita sedang berhasil, rezeki lancar atau kedatangan rezeki yang tak disangka-sangka maka kita keluarkan infaqnya. Berbeda lagi dengan Shadaqah yang mana tidak terikat dengan hal apapun, any time kita bisa melakukannya.

Keberkahan dalam harta kita terletak bagaimana kita memperoleh harta tersebut dan bagaimana pula kita membelanjakannya dengan benar, keberkahan juga terletak pada orang yang menerima dan mendoakannya. Kita seharusnya bersyukur, ketika dijadikan oleh Allah berfungsi sebagai kran air, yang menyimpan tetapi tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk disalurkan kepada mereka yang memerlukan.

Sebagian dari pendidikan puasa adalah  tumbuhnya kepekaan sosial, kepekaan melahirkan kepedulian dan kepedulian itu dibuktikan dengan melakukan zakat, infaq, paling tidak shadaqah. “al-Yadu al-‘ulya khairun min al-yadi as sufla” (tangan diatas lebih baik dari pada tangan di bawah), adigium ini munkin benar, namun jika keduanya sama-sama ikhlas dalam menjalaninya maka hal itu bukan hal yang hina. Karena keduanya saling membutuhkan.

Dalam Fikih terdapat kaidah “li al-wasail hukmu al-maqasid”, alat dan tujuan menduduki status hukum yang sama. Syariat Islam memerintahkan kita Shalat, begitu pula menutup aurat sebagai salah satu syarat dalam mengerjakan Shalat. Maka secara tidak langsung kita diperintahkan harus punya industri tekstil yang memproduksi pakaan, agar kita bisa menutupi aurat.

Di sisi lain, kita diperintahkan menunaikan zakat. Inikan sebenarnya anjuran Islam agar kita memiliki ekonomi yang kuat, maju,  mapan dan mempunyai relasi agar bisa mengeluarkan zakat itu. Syariat Islam juga memerintahkan umatnya agar menunaikan ibadah Haji, maka secara tidak langsung kita diperintahkanh agar menguasai teknologi, bisa membuat pesawat, karena kita tidak munkin berenang dari Indonesia ke Mekkah.

Pada intinya umat Islam harus sukses, kaya, dan memiliki ekonomi yang mapan, agar kita bisa menjadi pelaksana zakat, bukan hanya sebagai penerimanya. Kalaupun hari ini kita berdiri pada barisan yang menerima zakat (mustahiq), namun kita tanamkan dalam hati kita bahwa kedepan kita bisa kaya dan ekonomi kita mapan, agar kita bisa berpindah menjadi yang membayar zakat (muzakki).

Mudah-mudahan momen Ramadhan kali ini membuat kita semakin baik, semakin bertaqwa sehingga kita bisa menjadi hamba-hamba pilihan yang pantas menerima imbalan surganNya, amin ya rabbal alamin.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan mantan Pemimpin Redaksi Tebuireng Online

*Ide dan gagasan tulisan ini banyak mengutip dari ceramah Almarhum KH. Zainuddin MZ).