ilustrasi permainan catur

Bermain catur merupakan salah satu olahraga yang memiliki banyak penggemar. Sebab permainan catur memiliki tantangan tersendiri bagi orang yang memainkannya, yang berbeda dengan permainan-permainan lain.

Dalam bermain catur, seseorang akan dituntut untuk berpikir keras, saling adu strategi. Sehingga tidak aneh apabila bermain catur merupakan salah satu dari bentuk olahraga, sebab kebanyakan orang akan merasakan lelah setelah bermain catur. Di balik semua keasyikan bermain catur, sebenarnya apa hukum bermain catur dalam agama Islam?

Terdapat tiga pendapat berbeda di antara ulama perihal hukum bermain catur. Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum bermain catur adalah haram, ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.

Berikut beberapa alasan dari ulama yang mengharamkan bermain catur:

Alasan pertama, menyamakan permainan catur dengan permainan dadu, yang mana mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah dan Malikiyah, serta sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah, sepakat bahwa bermain dadu dianggap haram. Keputusan ini didasarkan pada hadist:

Majalah Tebuireng

عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ‌مَنْ ‌لَعِبَ ‌بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Artinya: “Dari Abu Musa Al-Asy’ari, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw berkata: Barang siapa bermain dadu, maka dia telah berbuat maksiat terhadap Allah Swt dan Rasulnya.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Hukum bermain catur disamakan dengan hukum bermain dadu karena keduanya memiliki kesamaan, yakni merupakan permainan yang bisa memalingkan seseorang dari berzikir kepada Allah Saw, dan dari melaksanakan shalat. Penyamaan seperti ini dalam ilmu ushul fikih disebut dengan metode qiyas.

Namun alasan ini dibantah dengan argumentasi bahwa masih memungkinkan bagi seseorang untuk bermain catur dengan tanpa berpaling dari berzikir kepada Allah Saw, dan dari melaksanakan shalat. Seperti ketika orang tersebut hanya bermain catur satu kali dalam satu hari atau satu minggu.

Sedangkan menurut ulama yang membolehkannya, bermain catur lebih mirip dengan permainan perang dan perlombaan balap kuda, yang mana keduanya dapat melatih seseorang dalam mengatur strategi perang. Sehingga dengan adanya dua argumentasi ini, alasan ulama’ yang melarangnya di atas menjadi lemah.

Alasan kedua, adanya ayat Al-Quran:

 إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ [المائدة: 90]

Artinya: “Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut.”

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata:

الْشَّطْرَنْج مِنَ الْمَيْسِرِ

Artinya: “Bermain catur merupakan salah satu bentuk dari berjudi.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)

Namun alasan ini dibantah dengan argumentasi bahwa bermain catur tidak bisa dikategorikan sebagai perjudian. Karena dalam realitanya, antara keduanya sangat berbeda, yang mana dalam perjudian terdapat unsur taruhan uang dan dapat menyebabkan pertikaian, berbeda dengan permainan catur.

Pendapat kedua mengatakan bahwa hukum bermain catur adalah makruh, ini adalah pendapat mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’iyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj menjelaskan:

(‌وَيُكْرَهُ) ‌اللَّعِبُ (‌بِشَطْرَنْجٍ) بِفَتْحِ أَوَّلِهِ وَكَسْرِهِ مُعْجَمًا وَمُهْمَلًا؛ لِأَنَّهُ يُلْهِي عَنْ الذِّكْرِ وَالصَّلَاةِ فِي أَوْقَاتِهَا الْفَاضِلَةِ بَلْ كَثِيرًا مَا يَسْتَغْرِقُ فِيهِ لَاعِبُهُ حَتَّى يَخْرُجَ بِهِ عَنْ وَقْتِهَا

Artinya: “Hukum bermain catur adalah makruh, karena dapat menyebabkan seseorang lalai dari berdzikir kepada Allah Swt, juga dari melaksanakan salat di waktu fadhilah (awal waktu), bahkan kebanyakan dari mereka bermain catur hingga meninggalkan salat.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra], jilid 10, halaman 216).

Meskipun bermain catur dapat menyebabkan seseorang meninggalkan salat, hukum bermain catur tidak diharamkan. Sebab hubungan antara bermain catur dengan meninggalkan salat tidak mengikat, dalam arti meninggalkan salat tidak harus dengan bermain catur, bisa dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa hukum bermain catur adalah mubah, dalam arti diperbolehkan secara mutlak. Imam Sa’id Bin Jubair, Imam Asy-Sya’bi, dan Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bermain catur diperbolehkan atau mubah. Namun, Al-Ghazali menekankan bahwa jika seseorang terlalu mendalami permainan tersebut, hukumnya menjadi makruh.

Alasan dari pendapat ini adalah kaidah:

‌الأَصْل ‌فِي ‌الْأَشْيَاء ‌الْإِبَاحَة

Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah diperbolehkan.”

Ulama yang berpendapat demikian berdalih bahwa dalam Al-qur’an ataupun hadist tidak ada penjelasan mengenai keharaman bermain catur. Sehingga hukum bermain catur adalah mubah.

Dari beberapa pendapat di atas, kita bebas hendak mengikuti pendapat yang mana. Namun, sebaiknya kita mengikuti pendapat yang ketiga, yakni hukum bermain catur adalah mubah, dan bisa menjadi makruh apabila ditekuni. Pendapat ketiga lebih disarankan sebab beberapa pertimbangan berikut:

  1. Tidak adanya dalil yang secara tegas menjelaskan bahwa hukum bermain catur adalah haram.
  2. Bermain catur dapat melatih seseorang dalam mengatur strategi.
  3. Terbantahkannya alasan-alasan dari ulama yang melarangnya.
  4. Mayoritas ulama menyetujui bahwa hukum bermain catur bukanlah haram dan juga makruh, apabila dilakukan dengan tanpa menekuni, dalam arti bermain hingga lupa waktu.
  5. Sebagai sarana untuk menenangkan pikiran bagi orang-orang yang habis bekerja keras, sebab adanya kaidah:

اِذا ضاق الأمر اِتسع

Artinya:  “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya dilonggarkan.”

Baca Juga: Permainan Catur dalam Perspektif Islam


Referensi: Ahmad bin Salih bin Ali Bafadol, Ahkamu Tasni’ Fil Fikhi Al-Islami, [Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2010], halaman 346-352.


Ditulis oleh: Dicky Feryansyah, (Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang).