(sumber foto: http://radiomutiaraquran.com)

Oleh: Vevi Alfi Maghfiroh*

Sudah menjadi adat manusia, khususnya bangsa Indonesia untuk melaksanakan walimah (resepsi) setelah akad pernikahan berlangsung. Kata walimah itu sendiri menurut Imam al-Azhary berasa dari kata “al-walmu” yang berarti al-ijtima’ bersatu atau kumpul. Namun, kemudian kalimat tersebut diaplikasikan untuk semua bentuk hidangan sebagai luapan kegembiraan. Pada akhirnya kalimat walimatul ursy digunakan untuk istilah pesta pernikahan.

Pada dasarnya walimah itu luas, tidak hanya walimatul ursy, tetapi juga ada walihatus safar ketika ingin bepergian, walimatul khitan ketika mengkhitankan putra, dan lain sebagainya. Namun, kali ini, kami khususkan pada pembahasan tentang walimatul ursy.

Acara walimah yang sering disebut dengan resepsi itu memiliki tradisi yang berbeda-beda antar daerah sesuai dengan hukum adat yang ada. Tak jarang sepasang pengantin ingin mengadakan acara-acara tersebut secara megah, dan tak sedikit uang yang dikeluarkan untuk mengadakan acara tersebut.

Jumhur ulama (mayoritas ulam) berpendapat, bahwa sebuah pernikahan belum dianggap terlaksana, kecuali diumumkan secara terang-terangan. Atau belum sah kecuali para saksi yang hadir menyaksikan akad nikah yang dilangsungkan. Sedangkan Imam malik dan para sahabatnya berpendapat, bahwa mengumumkan sebuah pernikahan (secara meluas) bukanlah suatu hal yang wajib. Adapun tindakan pengumuman sebuah pernikahan tetap dibenarkan setelah terlaksana akad yaitu untuk mengklarifikasi perbedaan yang terjadi antara kedua mempelai.

Majalah Tebuireng

Namun terkadang dana untuk pelaksanaan resepsi lebih banyak dari mahar yang diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanitanya, sedangkan kita tahu bahwa mahar atau yang sering disebut dengan maskawin ini merupakan pemberian untuk merefleksikan kesungguhan cinta suami kepada sang istri. Dalam surat An-Nisa ayat 4 disebutkan:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan kodifikasi hukum Islam di Indonesia dalam pasal 30-nya menyebutkan bahwa calon pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Namun dalam pemberian mahar juga tidak boleh mempersulit calon mempelai pria. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 31 yang menyatakan penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan, kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Islam memberikan batas minimum pemberian mahar yaitu sepuluh dirham, seperti hadis yang diriwayatka oleh Daruquthn, tetapi hadis itu mauquf dan sanadnya dipertentangkan. Pendapat hadis yang shahih marfu’ tidak pernah membatasi maskawin tersebut.

Dalam beberapa riwayat, lagi-lagi Islam mengajarkan tetang kesederhanaan baik dalam pemberian mahar maupun pengadaan walimah. Adapun jika kedua mempelai tidak merasa keberatan untuk memberikan mahar yang besar dan mengadakan walimah besar diperbolehkan jika merasa mampu dan tidak mengandung mudhorot di lain waktu. Wallahu ‘alam bishawab


*Mahasantri putri semester akhir Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng