(ket. tengah-kopiah putih) KH. Abdul Ghofur Maimoen saat menjadi pembicara dalam Halaqah Fikih Peradaban di Pesantren Tebuireng, Sabtu (17/9/2022). (foto: kopiireng)

Tebuireng.online- Pesantren Tebuireng bersama Kementerian Agama dan PBNU membuat forum diskusi bertajuk “Halaqah Pesantren” dengan tema “Fikih Peradaban, Fikih Siyasah dan Negara Bangsa”. Pada kesempatan tersebut salah satu yang menjadi pembicara adalah KH. Abdul Ghofur Maimoen.

Dalam Halaqah yang berlangsung di gedung Yusuf Hasyim Tebuireng itu, putra dari KH. Maimoen Zubair (alm) tersebut memaparkan sejarah potret kenegaraan Islam. Gambarannya, dulu tidak ada batas dalam negara. Yang membatasi adalah akidah. 

“Jadi kalau pejabat pemerintah kerajaan berkunjung ke kerajaan Islam lain tidak ada visa atau pajaknya. Batas teritorial sebuah negara itu memang gejala modern,” ungkap kiai muda dan pegiat tafsir itu.

Dengan landasan itu, akhirnya, lanjut Gus Ghofur ada beberapa kelompok yang menganggap bahwa pembatasan teritorial antar negara itu adalah menyalahi aturan kesultanan zaman dulu. Sehingga mereka punya cita-cita pendirian sebuah negara dengan agama Islam sebagai ideologinya (khilafah). 

“Kelompok yang seperti ini berbahaya, karena menganggap sah menyerang negara atau wilayah di luar batas teritorialnya untuk memperluas kekuasaannya (ekspansi). Lebih bahaya lagi kelompok ini menganggap bahwa negara yang bukan negara Islam adalah dar al-harb (boleh diperangi),” imbuhnya.

Majalah Tebuireng

Alhasil, para fuqoha’ kontemporer ditantang untuk membenarkan tatanan politik dunia yang baru saat ini. Bagaimana pandangan fikih soal hal tersebut. 

“Contoh saja pemilu, pemilu itu kan gejala baru. Zaman fikih klasik yang berada pada masa kekhalifahan (Umayyah/Abbasiyah) kan tidak ada. Kalau membuka fikih klasik pemilu untuk memilih imam itu tidak sah. Karena yang berhak menentukan imam itu kan ahl al-ikhtiar. Dan itu tidak boleh diserahkan kepada orang-orang awam. Nah, fikih saat ini menjawab bahwa pemilu itu sah sebab dianggap wakalah,” begitu kata beliau. 

Menurutnya, itulah rumitnya tatanan politik dunia baru ketika dihadapkan dengan fikih-fikih klasik. Para fuqaha’ harus membuat rekonstruksi ulang soal fikih agar dapat mengimbangi dunia modern. Tentu tidak boleh lepas dari kerangka syariat.

Pewarta: Yuniar Indra