(ket. kanan-kemeja putih), Ketua PCINU Jerman, M. Rodlin Billah saat mengisi studium generale di aula Yusuf Hasyim Tebuireng. (foto: rhmn/to)

Tebuireng.online– Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Jerman (PCINU Jerman), M. Rodlin Billah memberikan materi pada Studium General di auditorium Pesantren Tebuireng, Kamis (25/8/2022).

Stadium General (SG) yang diadakan oleh Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (MAHA) berbicara tentang kajian Al-Qur’an Masyayikh Tebuireng dan jaringan sanadnya. SG kali ini menggagas tema bahasan “Peran dan Tantangan Pewaris Nabi dalam Menjaga Eksplorasi Sanad Al-Qur’an di Era Society 5.0.”

Ketua Cabang Istimewa NU, M. Rodlin Billah atau akrab disapa Gus Oding tersebut, memfokuskan pembahasan kali ini pada era society 5.0. Sebelum berbicara era society 5.0, beliau flashback terlebih dahulu tentang revolusi manusia dari masa ke masa.

“Tradisi atau profesi manusia itu senantiasa bergeser setiap zamannya. Awal peradaban manusia untuk bertahan hidup adalah berburu menggunakan alat seadanya (Hunting society). Kemudian, setelah berburu dianggap tidak dapat menjawab tantangan bertahan hidup, munculah sistem bercocok tanam (agrarian society). Era bercocok tanam inilah disebut era 1.0. Kemudian, ada era 2.0 (indutrial society), yakni masa industri. Adanya penemuan mesin uap yang disebut revolusi industri pertama dan penemuan conveyor belt (ban berjalan) yang memicu revolusi industri ke dua, maka masuklah ke Era 3.0 (information society),” terangnya.

Kemudian, Ia melanjutkan bahwa era 4.0 (society creative) itu dipicu karena revolusi industri ke tiga, yaitu penemuan perangkat elektronik (komputer, kalkulator, dan lain-lain) yang kemudian dapat membantu menyelesaikan beberapa masalah. Belakangan ini, munculah revolusi industri ke empat, yaitu artificial intelligence (kecerdasan buatan), digital transformation, dan lain-lain. Hal ini menandai era society 5.0. Era 5.0 adalah sebuah komunitas di mana nilai-nilai kemajuan ekonominya sejalan dengan pemecahan masalah yang dihadapi oleh manusia.

Majalah Tebuireng

“Karakter utama dari society ini adalah integrasi atau kelekatan dua hal; cyber space dan physical space. Physical space/physical existence adalah apa yang saat ini kita lakukan atau interaksi secara fisik (santri dengan kiai, pasien dengan dokter). Tetapi belakangan ini, istilah itu memungkinkan dicampur oleh dunia cyber (manusia kontrol robot drone lewat smartphone). Pun demikian dalam hal, sosial, seperti komunitas, hukum nasional, dan lain-lain (social existence) dan pemikiran, seperti agama, emosi dan lain-lain (thinking existence) juga memungkinkan dunia cyber. Terakhir, muncul istilah pure cyber existense, secara fisik tidak ada wujudnya, selain hanya berupa data, contohnya website,” jelasnya.

Gus yang menggeluti bidang sains dan teknologi tersebut, membantah sebuah persepsi bahwa agama hanya berada di lingkup pemikiran atau batin.

“Menariknya, tesis bahwa agama itu hanya ada dalam thinking existence itu tidak benar, jika kita tarik ke ranah histori. Contohnya, kontribusi para masyayikh kita dahulu kepada masyarakat yang nyata dalam berbagai bidang (Taswirul Afkar-1914, menjawab isu aktual yang dihadapi masyarakat; Nahdlatul wathan-1916, lembaga pendidikan agama bercorak nasionalis-moderat; Nahdlatut Tujjar-1918, perekonomian),” jelasnya panjang lebar disertai contoh yang ditampilkan di slide presentasi.

Kemudian, cicit KH. Bisri Syansuri Denanyar ini, menantang audien agar dapat melanjutkan kiprah masyayikh kita terdahulu, supaya tidak tergerus oleh zaman.

“Pertanyaannya, bisakah kita sekarang melanjutkan kiprah masyayikh kita dahulu yang sifatnya physical space semua, menggabungkan antara physical space dan cyber space? Sehingga keduanya dapat berjalan seiringan. Karena mau tidak mau industri 4.0 atau society 5.0 itu sudah dan sedang berlangsung.”

Ratusan mahasantri menyimak studium generale “Kajian Al Qur’an Masyaikh Tebuireng dan Jaringan Sanadnya.”

Forum yang menjadi bekal bagi mahasantri yang akan diwisuda ini, diikuti dengan antusias oleh seluruh mahasantri. Untuk itu Gus Oding menerangkan konsep transformasi digital secara rinci, di mana hal ini akan menjadi bekal bagi mahasantri ke depannya.

“Jika kita berbicara digital transformation dan ada orang yang bilang ‘harus menggunakan tekonologi,’ itu adalah definisi yang tidak tepat di awal. Yang paling tepat menurut kami, transformasi digital adalah perubahan mindset di awal. Jadi, bukan soal menggunakan instagram, tiktok, dan lain sebagainya, karena sedang trend. Tidak. Tetapi dibalik, apa yang bisa kita manfaatkan dari kehadiran platform itu untuk mentransmisikan kinerja-kinerja para masyayikh kita tadi. Maka, kita tidak hanya sebagai user, lebih dari itu kita adalah kreator” ucap Gus Oding.

Gus yang aktif menulis artikel keislaman ini juga menerangkan formula dalam menghadapi Era 5.0.

“Di lain hal, setelah mindset berubah, baru kita bicara orang. Belum teknologi. Karena, kalau kita sudah melihat adaptasi teknologi baru sebagai kebutuhan, baru kita berbicara ‘siapa yang bisa menggunakan’ teknologi tadi. Kemudian, setelah orang atau SDM sudah ada, lantas bagaimana menciptakan kultur atau budaya digital tadi. Sehingga itu semua menimbulkan proses. Setelah itu baru kita berbicara ‘alat’ yang dapat membantu proses tadi, baru kemudian kita berbicara ‘teknologi.’ Teknologi itu terakhir. Percuma kalau menggunakan teknologi baru, tapi mindsetnya masih mindset lama.”

Terakhir, setelah berbicara panjang lebar mengenai society 5.0 dan transformasi digital, Gus Oding menyebutkan dampak negatif dari era 5.0 tersebut. Menurutnya, Society 5.0 bukan tidak memiliki dampak negatif, ada. Saat ini kita terlalu banyak informasi, dan itu merupakan tantangan bagi kita. Bagaimana kita dapat memfilter informasi yang tak terbatas itu, agar terhindar dari hoax. Dan yang paling penting adalah expertise, keahlian.

“Kerena kalau dokter berani memasang plang ‘dokter umum atau spesialis,’ maka lulusan Ma’had Aly harus berani (pasang plang) ‘ahli hadis, fiqh, dan lain-lain.’ Bukan dalam artian itu kesombonga, tapi tanggung jawab keilmuan,” imbuhnya.

Tantangan selanjutnya, menurutnya adalah pelanggaran privasi dan ketergantungan manusia terhadap teknologi. Semakin sering kita menggunakan teknologi, maka akan semakin menjadi ketergantungan. Terakhir, teknologi banyak mengotomasi banyak pekerjaan, sehingga banyak pekerjaan yang dulu ada sekarang tidak ada (loss of jobs).

“Maka, yang harus kita pastikan pekerjaan para masyayikh kita itu, harus tetap dilanjutkan baik dalam physical space, maupun cyber space,” pesannya.

Pewarta: Al Fahrizal