Gus Glory saat memberikan pemaparan terkait pendidikan di SPMAA khususnya dan pesantren pada umumnya di seminar Memadukan Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, Jumat (23/08)

Tebuireng.online- Hari pertama seminar pendidikan “Memadukan Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional” dalam rangka peringatan Harlah 120 tahun Tebuireng dilangsungkan pada Jumat, (23/8/19).

KH. Glory Islamic, S.Ag., M.Si., pengasuh pondok pesantren SPMAA Bali hadir dalam acara ini turut urun rembuk menjadi narasumber terkait sub tema seminar hari ini, “Peran dan Sumbangsih Pesantren Dalam Mencerdaskan Bangsa”.

Pria yang akrab disapa Gus Glory ini menyampaikan bahwa pesantren itu adalah lembaga yang mandiri. “Abi Muchtar mengajari kami sejak awal adalah Konsep self-reliance, konsep kemandirian,” ungkap beliau.

“Bahkan bisa dikatakan, negara ini lahir dari rahim pesantren. Jadi, kualat negara ini kalau tidak memperhatikan ibunya,” celetuknya yang disambut gelak tawa dan tepuk tangan para hadirin.

Meski begitu, ia juga menyayangkan akan keadaan negara saat ini. Hal itu didasarkan pada banyaknya pondok pesantren di negara ini, namun yang terjadi justru bukan adanya perbaikan di negara ini. “Tadi saya lihat di data Dirjen Direktorat Pontren, sekarang sudah 29.300 sekian pesantren dan ada 3 juta santri. Pertanyaannya adalah kalau ada segitu ribu itu pesantren dan segitu juga santri yang dididik, kok naga-naganya bukan menuju ke perbaikan. Where is the santri, kemana santri dan apa yang dilakukan pesantren?” kritiknya.

Majalah Tebuireng

Gus Glory berharap bahwa seminar yang diadakan ini untuk mengetahui mengapa hal itu terjadi dan dapat teratasi. “Dan mudah-mudahan kedepan kita dapat jawabannya. Saya yakin, akan dapat jawabannya,” harapnya.

Lanjutnya, salah satu yang lain adalah realibilitas yakni ketahanan terhadap segala zaman. Pesantren sudah terbukti. Bahkan sejak zaman sebelum penjajahan, zaman penjajahan, zaman merdeka, zaman reformasi, sampai zaman tidak karuan, pesantren tetap mandiri dan bisa survive.

Kemudian netralitas pesantren, ini juga penting. Menjadi keunggulan, dimana pesantren menjadi pengayom. Pesantren tidak akan menjadi underbouw (baca: Belanda). Pesantren tidak boleh menjadi subordinat dari lembaga atau kepentingan politik apapun. Pesantren harus tetap menjadi begawan di atas semua golongan dan kepentingan politik, serta kemandirian lembaga.

Cerita awal santri masuk pondok, “Pertama, santri masuk itu sudah dihadapkan pada pilihan ‘kamu nanti mau jadi apa’. Kalau hanya sekedar mengaji kitab, jangan ke SPMAA. Tapi kalau kamu mau menjadi pengabdi umat, silahkan di sini. Maka mereka, pertama kali begitu masuk (SPMAA), mereka langsung dilempar ke hutan. Selama 6 hari. Yang laki digundul plontos dan benar-benar dipisahkan dari dunia nyaman selama ini. Mereka dibawa ke hutan lalu diberikan materi dril fisik, dril mental, termasuk diberikan tahu tentang bagaimana dahulu salafu al-saleh dalam mendidik santri-santrinya,” ungkap pria yang merupakan adik dari pengasuh Pondok Pesantren SPMAA Lamongan, KH. Khosyi’in Koco Woro Brenggolo ini.

Setelah pemaparan panjang mengenai pendidikan pesantren, Gus Glory mengungkap hal yang diajarkan Abi Muchtar, “Kami diajarkan menanamkan keyakinan dunia akhirat. Ini adalah tentang pemerataan ekonomi. Tentang kemampuan inovasi-inovasi baru. Kami diajarkan betul, ‘hidupmu itu dunia akhirat’. Seperti buah pisang. Pisang itu terdiri dari kulit dan isi. Kulit adalah kehidupan dunia, isi adalah kehidupan akhirat. Kulit ini penting, tapi isi lebih penting. Dimanapun orang makan itu isinya. Kadang orang tidak bisa melihat isi karena tertutupi kulit. Orang tidak bisa melihat akhirat karena tertutupi oleh dunia,” jelas mantan direktur East Java Director di Health Service Progam.

“Santri harus anti zona kenyamanan. Harus get out from the comfort zone. Kalau santri masih ingin enak di zona nyaman, maka santri akan kembali lagi takut untuk berjuang. Maka beliau (Abi Muchtar) mengajarkan, ‘tanamlah kebaikan sebanyak-banyaknya di dunia. untuk kamu terima di akhirat’,” pungkasnya.


Pewarta: Aji

Publisher: MSA