ilustrasi: www.google.com

Oleh: Iryan Ramdani*

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi, sekolah mulai ramai. Di kelas Fatimah, anak-anak sudah hampir hadir semua. Tinggal beberapa teman Fatimah yang belum hadir, ia bernama Zahra dan Aisyah. 2 anak itu terkenal “ Malas Belajar dan Nakal”. Fatimah sendiri adalah anak yang pintar, rajin, dan berakhlaqul karimah. Fatimah sering mendapat pujian dari para guru karena kecerdasannya. Ia seorang anak yatim piatu, orangtuanya meninggal sejak Fatimah kelas 7 SMP. Orangtua Fatimah meninggal karena kecelakaan setelah pulang kerja. Hingga pada akhirnya, Fatimah dirawat, dibesarkan, dan disekolahkan oleh sang nenek dari ayah yang tinggal di sebuah kota kecil, Malang. Nenek Fatimah hanya seorang penjual nasi keliling di desanya, yang penghasilannya pas-pasan.

Pada saat ini, Fatimah duduk di bangku kelas XII SMA, ia selalu memikirkan cita-citanya. Fatimah ingin menjadi seorang dokter, ia makin rajin belajarnya dan sungguh-sungguh sekolahnya, demi menggapai cita-citanya. Fatimah sudah semester 2, dia bingung memikirkan bagaimana kedepannya. Yang selalu melekat di pikiran Fatimah adalah keadaan dirinya. Bahwa dirinya hanyalah seorang wanita sederhana, penghasilan neneknya cukup untuk makan sehari-hari saja. ia berpikir bagaimana caranya agar bisa kuliah setelah lulus kuliah. Fatimah selalu berusaha dan berdoa. Setiap hari Faimah selalu belajar walau hanya membaca satu halaman.

Hari demi hari, bulan pun telah berganti. Nenek Fatimah semakin tua. Sore itu setelah pulang sekolah, Fatimah terus memikirkannya. Fatimah sedih karena neneknya yang sudah mulai sakit-sakitan, Fatimah selalu berpikir bagaimana caranya agar ia tidak merepotkan neneknya. Sore itu, Fatimah dipanggil neneknya.

“Fatimah, apakah kamu masih ingin melanjutkan sekolah?” kata sang nenek dengan suara yang rendah.

Majalah Tebuireng

“Iya nek, aku ingin cita-citaku tercapai dan sebentar lagi aku akan lulus SMA,” kata Fatimah dengan raut wajah yang sedih.

“Sekarang kamu sudah semester 2, tidak lama lagi kamu ujian, penghasilan nenek hari ini tidak seberapa. Jikalau kamu ingin makan, makanlah seadanya. Kamu juga harus selalu bersyukur walau tidak pernah makan yang enak karena di luar sana masih banyak yang kekurangan makan. Jadilah pribadi yang tangguh dan kuat tunjukkan kepada almarhum ayah dan ibumu bahwa kamu bisa menjadi sosok wanita yang baik,” ucap sang nenek dengan nada sedih.

“Iya nek,” kata Fatimah dengan berlinang air mata.

Keesokan harinya Fatimah berangkat sekolah seperti biasanya. Pada jam istirahat, Fatimah tidak makan. Ia berpuasa karena tidak punya uang untuk membeli makanan, tiba-tiba Aisyah dan Zahra menghampirinya.

“Eh, Fatimah! tumben nggak istirahat, diam aja daritadi di kelas. raut wajahmu juga kelihatan sedih,” kata Aisyah dengan hati penasaran.

“Iya nih, tumben! Lagi nggak punya uang ya? hahaha,” kata Zahra dengan nada mengucilkan.

“Hmm.. hari ini nenekku sedang tidak ada uang karena penghasilan nenekku pas-pasan, aku sendiri harus mensyukuri apa yang ada. Mau tidak mau aku harus puasa supaya irit,” ucap Fatimah dengan nada rendah.

“What! Nenek kamu lagi nggak punya uang? Tapi, kamu masih saja sekolah, apa kamu nggak kasihan sama nenek kamu?” ucap Zahra dengan mata melotot.

“Tahu nih! Sudahlah lebih baik kamu nggak usah sekolah, kasihan kali nenekmu sudah tua, sakit-sakitan tapi masih rela bekerja demi membiayai kamu sekolah,” celetuk Aisyah dengan nada meledek.

“Astagfirullah… maksud kalian apa? Kalian merendahkanku? aku paham kok maksud kalian berdua. Kalau berkata itu hati-hati, jangan sekali-sekali kalian bawa nama nenekku. Aku tahu selama ini aku salah, nenekku bekerja demi aku. Aku pun tahu keadaanku sekarang seperti apa. Selama ini, aku pun berpikir bagaimana caranya supaya nenekku tidak bekerja. Tetapi, aku pun tidak ingin putus sekolah, aku harus menggapai cita-citaku,” kata Fatimah dengan hati yang sangat sedih karena mendengar ucapan kedua temannya tadi.

****

Bulan terus berganti hingga pada akhirnya, Ujian Nasional pun telah tiba. Fatimah bingung harus bagaimana lagi karena neneknya masuk rumah sakit. Fatimah tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit tersebut. Fatimah berusaha mencari solusi untuk membayar biaya rumah sakit sang nenek dan kebutuhan sehari-hari. Sepulang sekolah, Fatimah mencari pekerjaan dari rumah ke rumah hingga pada akhirnya ia mendapatkan sebuah pekerjaan yang menurutnya tidak terlalu berat. Ia menjadi buruh cuci setrika di sebuah rumah yang berada di desa sebelah. Dalam 1 bulan, ia diberi upah Rp.500.000. Beruntung, perjalan menuju ke rumah majikannya tidak terlalu jauh. Setiap sepulang sekolah, ia melakukannya dengan penuh kesabaran. Baginya, itu adalah ujian yang berat, tetapi ia ikhlas menjalani itu semua. Fatimah meminta sesuatu pada majikannya.

“Oh iya bu, maaf apa saya bisa minta keringanan soal gaji saya?” tanya Fatimah pada majikannya.

“Keringanan apa maksudnya?” tanyanya.

“Jadi begini loh bu, nenekku saat ini sedang masuk rumah sakit. Mau tidak mau saya harus membayar biaya rumah sakit tersebut. Jadi, saya minta uang gajinya diberikan 1 minggu sekali saja bu, karena uang itu pun dipakai untuk biaya sehari-hari, juga untuk makan,” kata Fatimah dengan raut wajah sedih memohon kepada majikannya.

“Oh, iya tenang saja. Hal itu gampang, jika kerjamu bagus, saya akan beri uang tambahan,” kata majikannya tersenyum.

“Terima kasih banyak bu, iya insyaallah,” ucap Fatimah dengan hati sangat senang saat mendengar ucapan majikannya.

Setiap sepulang sekolah, Fatimah mencuci pakaian majikannya. Setelah kerja seminggu, majikannya menilai bahwa cucian Fatimah bersih dan rapi. Sesuai perjanjian seminggu yang lalu, bahwa Fatimah diberi uang gaji seminggu sekali. Tidak hanya itu, Fatimah juga mendapat uang bonus. Uang gaji dan bonus tersebut dipakai untuk membayar rumah sakit sang nenek. Adapun sisanya untuk biaya makan. Setelah sepuluh hari neneknya di-opname disebuah rumah sakit daerah setempat. Alhamdulillah, kondisinya membaik. Pada malam hari, Fatimah bicara pada neneknya untuk tidak bekerja, supaya neneknya sehat dan baik-baik saja.

“Nek, mulai saat ini nenek tidak usah bekerja, bagaimana pun kondisi nenek. Biar aku saja yang bekerja nek. Insyaallah aku bisa dan baik-baik saja,” kata Fatimah sambil membujuk neneknya agar tidak kerja kembali.

“Tidak, nenek baik-baik saja kok,” ucap nenek sambil memaksakan dirinya untuk bekerja.

“Kondisi nenek sekarang seperti ini, aku tidak mau nenek bekerja lagi. Nenek sudah tua dan kondisinya belum terlalu baik. Beberapa hari lalu nenek baru saja keluar dari rumah sakit,” kata Fatimah sambil meyakinkan neneknya agar tidak bekerja.

“Iya, nenek tahu kok, tetapi nenek tidak mau melihat cucu nenek bekerja sebelum waktunya. Sekarang kamu belum lulus sekolah,” ucap nenek sambil memegang tangan Fatimah.

“Tenang saja nek. tinggal menunggu beberapa waktu lagi ada pengumuman kelulusan dan hasil ujian nasional, semoga nilaiku memuaskan,” kata Fatimah dengan nada penuh harap.

“Aamiin,” ucap nenek.

Hari demi hari tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh nenek dan dirinya. Keesokan hari sebelum Subuh, seperti biasanya Fatimah selalu melakukan salat sunnah Tahajjud, Taubat, Hajat, dan Witir. Setelah itu Fatimah selalu memanjatkan doa. Ia selalu meminta kepada Allah agar dirinya mendapat nilai yang tinggi, supaya dirinya bisa melanjutkan belajar di universitas yang diimpikannya selama ini. Ia juga tidak lupa untuk selalu mendoakan kebaikan bagi teman-temannya, agar menjadi orang yang baik dan sukses. Fatimah selalu mendoakan kedua orang tuanya serta almarhum kakeknya, supaya ditempatkan di surga Allah.

****

Pagi itu Fatimah merenung di kamarnya. Ia memikirkan nilai hasil ujiannya. Ia berharap dan berdoa, supaya hasilnya memuaskan, tidak mengecewakan neneknya, karena selama ini Fatimah selalu belajar dan berusaha untuk meraih apa yang dicita-citakan. Ia pun segera bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah melihat hasil ujiannya. Fatimah segera keluar kamar menemui neneknya.

“Nek, hari ini pengumuman hasil ujian. Apa nenek tidak mau melihat hasil ujianku?” tanya Fatimah dengan suara rendah.

“Tentu saja boleh, nenek akan antar kamu ke sekolah,” ucap nenek sambil tersenyum.

“Yasudah nek, kita siap-siap sekarang,” katanya.

Keduanya pun siap-siap pergi ke sekolah. Sesampainya di sekolah, Fatimah sedikit terharu, karena ia disambut baik oleh para guru. Fatimah pun duduk di kursi yang sudah disediakan, duduk bersebelahan dengan sang nenek tercintanya. Selang beberapa menit menunggu, akhirnya pengumuman kelulusan diumumkan tepat di aula sekolah. Seketika kondisi ruangan tersebut menjadi hening. Setelah mendengar bahwa semua kelas XII lulus kondisi menjadi ramai kembali, semua murid merasa senang dan bersorak-sorakan. Fatimah tetap duduk dan diam. Dalam hati, Fatimah mengucap syukur alhamdulillah, baginya jika hanya sekadar lulus saja tidak ada apa-apanya. Lulus juga perlu, tapi nilai juga lebih penting untuk kedepannya. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan informasi, bahwa dirinya dipanggil dengan nilai tertinggi se-Kabupaten Malang. Fatimah pun mengambil piagamnya dan dipersilahkan untuk berbicara di depan siswa dan guru.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya terima kasih pada guru di SMAN 1 Malang, berkat kalian saya bisa seperti ini, tidak lupa nenekku yang paling kusayang kalau bukan karena dirimu aku juga tidak akan seperti ini. Selama ini, engkaulah yang berjuang, agar aku selalu dapat bersekolah. Engkau pula yang selalu merawatku dan selalu ada untukku. Walau ayah dan ibu tidak ada disisiku, engkaulah yang selalu menguatkanku dan menjadikanku sebagai orang yang tak kenal lelah. Jasamu tak akan kulupakan hingga akhir hayatku. Karena engkaulah guruku dan pahlawanku,” ucap Fatimah sambil menangis.

Semua orang pun ikut menangis haru dan memberikan banyak tepuk tangan. Kedua temannya, Zahra dan Aisyah ternyata mendapatkan nilai terendah. Selesai acara, Fatimah pun pulang ke rumah. Fatimah dikejutkan oleh para tetangganya di desa karena menyambutnya dengan baik. Akhirnya, berita pun mulai bermunculan sampai ke koran bahwa seorang anak yatim piatu dapat memperoleh nilai tertinggi se-Kabupaten Malang. Fatimah benar-benar telah memperoleh apa yang diinginkannya, dan apa yang dicita-citakan. Dia mendapatkan beasiswa di salah satu universitas yang diimpikannya sejak lama.

*Santri Pesantren Tebuireng.