ilustrasi: Hilmiabede

Oleh: Hilmi Abedillah*

Percayalah, Tuhan pasti mengabulkan doa setiap hambanya. Itu sudah tertulis jelas pada kitab suci umat Islam.

Bagaimana bisa Tejo yang asalnya tukang bangunan kini menjadi wali Allah. Dulunya ia sering dipanggil ke rumah-rumah untuk membangun dapur, memasang keramik, atau memplester dinding. Tiap kali adzan dhuhur berbunyi, ia berhenti untuk istirahat. Ia menyantap gorengan dan meneguk es sirup yang disediakan oleh pemilik rumah. Shalat dhuhur ia tinggal.

Tejo tak pernah dianggap para tetangganya sebagai orang agamis. Berangkat jamaah hanya maghrib saja. Jumatan pun jarang-jarang. Ia sebatas orang awam yang tiap hari bekerja mencari nafkah untuk istri dan tiga anaknya, sekaligus memenuhi hasrat kemewahan yang tak pernah ia raih.

Tiba-tiba Syaikh Jamusi al-Madari ke rumahnya yang amat sederhana, dapat nilai 3 dari 10 jika dibandingkan dengan rumah-rumah di dusunnya. Semua orang tahu, Syaikh Jamusi adalah seorang ulama terpandang di negara ini. Tidak ada yang tidak mengenalnya. Bahkan ia bisa dibilang sebagai satu dari tokoh berpengaruh di dunia. Namun, kedatangan Syaikh Jamusi tidak menimbulkan banyak kerumunan tetangga maupun media massa. Baru ketika Syaikh Jamusi pulang, semua orang baru tahu kalau yang datang itu adalah satu ulama terkemuka.

Majalah Tebuireng

“Ada keperluan apa Syaikh datang ke rumahmu, Jo?” tanya seorang tetangga pada Tejo.

Tejo hanya tersenyum malu-malu. Giginya yang tidak taat peraturan baris berbaris nongol dengan setitik cabe. Sepertinya Tejo ingin merahasiakannya.

Beberapa hari lagi, datanglah syaikh-syaikh lain. Semuanya merupakan tokoh Islam yang menjadi panutan masyarakat. Sebut saja Syaikh Qodiri Alam, Syaikh Zanjuri Zurai, dan Syaikh Al-Kadam. Anehnya, kedatangan mereka sama-sama tidak ada yang tahu, kecuali setelah mereka pulang. Padahal, mereka tokoh yang pasti dibuntuti oleh kamera wartawan. Para tetangga semakin heran.

Enam bulan berlalu, sejak kedatangan syaikh pertama, rumah Tejo menjadi saksi bisu peristiwa-peristiwa ajaib. Dua atau tiga hari sekali selalu ada orang berjubah datang. Kadang kala orang yang sama. Karena tetangga-tetangganya bukan saksi bisu, mereka pun menyebarkan berita dalam jangka waktu selama itu. Banyak wartawan yang mencoba mewawancarai Tejo, namun mendapatkan jawaban yang sama. Berita-berita yang muncul akhirnya sekadar spekulasi yang tak pasti.

Istri Tejo yang selama enam bulan ngempet, kini memberanikan diri bertanya, “Ada apa dengan Tejo?” Wah, pola pertanyaannya sama dengan Rangga. “Ada apa dengan Cinta?”

“Kenapa kamu baru bertanya sekarang, Bu? Aku sudah menunggu pertanyaan ini dari dulu,” kata Tejo.

“Ya kenapa, Pak? Aku kan yang tiap hari nyuguhi teh.”

“Besok,” tegas Tejo, “besok kamu akan segera tahu.”

Istrinya buru-buru lari ke dapur. Sepertinya ada ikan yang kelamaan berenang di minyak panas.

Di gardu kampungnya, sekelompok tetangga membuat majelis bahtsut Tejo yang sudah menjadi misteri selama setengah tahun. Ada yang beranggapan kalau syaikh-syaikh itu diundang Tejo ke rumahnya. Tetangga yang lain segera menyanggah, “Eh, masa syaikhnya mau?” “Tejo bayar berapa? Dia kan miskin.” “Terus apa motifnya?”

Tetangga yang lain menimpali, “Bagaimana syaikh-syaikh itu kenal dengan Tejo?”

“Atau jangan-jangan para syaikh itu dihipnotis?” Ah, jangan ngaco!

Majelis itu pun tidak menemukan titik temu dan segera dibubarkan oleh adzan dhuhur, waktu ibu-ibu memasak untuk makan siang. “Eh, kalau Tejo tidak mau jawab, bagaimana kalau kita tanya istrinya saja?”

“Kalau masih tidak mau jawab?”

“Kasih 50 ribu pasti beres.”

Mereka pun pulang ke rumah masing-masing membawa rasa penasaran yang sama.

Esok harinya, sekitar jam sembilan, keheranan tetangga Tejo semakin memuncak. Banyak mobil parkir di halaman rumah Tejo yang cukup luas, bahkan meluber sampai ke halaman tetangganya, bahkan memakan jalan. Anaknya yang sulung mengatur mobil-mobil itu.

Dari suatu mobil, keluar seorang syaikh dengan jenggot putih menggantung di bawah wajahnya. Kepalanya terlilit serban. Pakaian yang dikenakannya nampak berlapis-lapis, padahal di musim kemarau. Jika satu mobil berisi syaikh, maka bisa dipastikan mobil-mobil lain juga milik syaikh. Mereka pasti sudah ada di dalam rumah.

Pintu rumah Tejo tertutup. Oh, forum rahasia. Sejumlah wartawan tercecer di depan gebyok memanggul kamera dan mikrofon. Sebagian ada yang menempelkan telinga di gebyok itu, mencoba mencuri dengar pembicaraan di dalam. Tapi, sungguh sunyi. Tidak ada suara sama sekali. Seolah tidak ada orang di dalam.

Saat seorang syaikh masuk, pintu terbuka. Pandangan seorang wartawan menyerobot ke dalam dan jelas bahwa ada banyak orang di sana sedang berbicara. Mungkin suara mereka hanya bisa terdengar lewat satu pintu itu dan tidak bisa merambat melalui benda padat. Menyadari keajaiban itu, wartawan itu segera pulang untuk menulis berita. Ia tidak lagi tertarik dengan forum apa yang sedang digelar di rumah Tejo. Ia sudah bisa menulis ‘Kerumunan di Rumah Seorang Miskin’, ‘Forum Rahasia di Rumah Tejo’, atau ‘Keajaiban Suara’. Ia kira sudah lebih dari cukup.

Para tetangga juga mencoba masuk, bahkan melalui pintu belakang. Namun, pintu belakang juga terkunci. Seorang tetangga yang lancang mengetuk-ngetuk pintu belakang itu, mencoba meluluhkan hati sohibul bait. Tapi malah dimarahi oleh tetangga yang lain. “Ketuk pintu tiga kali, kalau tidak dibuka, berarti tidak diizinkan masuk.” Oh, ternyata yang memberi nasihat ini adalah istri Ustadz Bahrun.

Di dalam, ada sekitar 45 syaikh yang hadir. Mereka semua duduk di tikar lusuh milik Tejo. Dua anaknya menyuguhkan makanan dan minuman dari dapur. Istrinya fokus memasak nasi dan ikan goreng. Tidak ada kuah-kuahan.

Syaikh Jamusi memulai sambutannya. “Para hadirin yang saya hormati, sebagian dari kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Namun, kita punya ikatan yang kuat karena kita diperkenalkan oleh Allah. Pada tahun ini, Allah mengangkat satu wali yang Anda sekalian harus memberi ucapan selamat padanya. beliau adalah Pak Tejo.”

Anak Tejo lekas berlari menghampiri ibunya yang sedang bersusah payah mengangkat dandang. “Bu, ternyata bapak itu wali.” Tanpa dramatisasi, dandang itu diletakkan pelan-pelan. Lalu dari lubang dinding dapurnya, istri Tejo mengintip ke luar. Dunia masih seperti sedia kala.

Seusai makan siang, para syaikh bubar. Banyak orang berkerumun di luar menyambar tangan para syaikh. Ada yang dapat sepuluh syaikh, ada yang dapat sampai tiga puluh. Bagi mereka, mencium tangan orang alim bisa mendapat pahala. Tak ketinggalan, Tejo di teras rumahnya melepas kepulangan para syaikh itu dengan senyum lebar. Bibirnya berminyak tanda ia tak bersih makan ikan goreng. Sesekali sendawa keluar dari mulutnya. Sebagai wali baru, tak ada seorang pun dari tetangga yang menyalaminya.

Satu per satu mobil syaikh menderu pergi. Para wartawan juga diusir Tejo dengan cara paling halus. Tetangga-tetangganya bergeming dan memilih kembali ke rumah masing-masing. Belum ada yang tahu kalau Tejo seorang wali Allah.

“Pak, kasih tahu mereka kalau Bapak ini wali. Biar kita tidak diremehkan lagi,” usul istrinya sedikit memaksa.

“Tidak usah, Bu. Itu bukan karakter seorang wali.”

“Ya sudah, Pak. Saya minta 20 ribu. Tadi masih utang di Mbak Lasih.”

Tejo terperanjat. “Masa aku kasih uang segitu banyak masih ngutang? Tenang, saya akan minta pada Allah. Yang banyak.”

“Allah itu satu, bukan banyak, Pak.”

“Maksudnya uangnya yang banyak.”

“Cepetan!”

Ketika masuk rumah, Tejo tiba-tiba mendapat ide untuk mengubah namanya. Soalnya, nama ‘Tejo’ sangat tidak pantas untuk nama seorang wali. Kurang islami. Kurang pantes kalau nanti dipanggil masuk surga. Ia berpikir untuk mengganti nama. “Oh ya, Tajudin.”

Walau sudah menjadi wali, Tajudin tetap bekerja seperti biasa. Mendapat panggilan dari orang yang butuh bantuan mengenai labur-melabur. Kadang juga diajak temannya yang mandor. Kadang juga menganggur di rumah jika sedang tidak ada panggilan. Kalau istilah kekiniannya tukang batu freelance.

Walau telah berjalan berminggu-minggu, masih tidak ada yang tahu bahwa Tajudin itu wali. Para syaikh tak ada lagi bertandang ke rumahnya. Mungkin karena bimbingan para syaikh dirasa cukup dan Tajudin bisa menjalani kewaliannya secara mandiri. Rasa penasaran warga soal kedatangan para syaikh di waktu lalu pun kian sirna. Tajudin sekeluarga selalu tutup mulut, sehingga semua penanya jenuh bertanya.

Lambat laun, utang di Mbak Lasih terlunasi. Tapi, tetap saja hidup Tajudin serba pas-pasan. Istrinya ngomel-ngomel terus, sampai mengungkit-ungkit kewaliannya. Dikatakan kewaliannya mandul lah, atau apalah. Yang pasti, bagi istrinya, kewalian Tajudin tidak mengubah apa-apa dalam perekonomian keluarga. Mereka masih harus bekerja keras memeras keringat untuk bisa makan.

Anak-anak Tajudin lebih memilih tidak ikut campur. Mungkin mereka hanya menimang-nimang siapa yang nantinya akan meneruskan kewalian bapaknya. Itu pun kalau kewalian bisa diwariskan.

“Bapak dari kemarin minta apa sih sama Allah?” tanya istrinya meledek.

“Minta uang yang buwanyak…” Tajudin membentangkan kedua tangannya seolah sedang mengangkut uang.

“Terus, Allah jawab apa?”

“Lha menurutmu?” Tajudin berkacak pinggang. “Aku ini wali level kerja. Kalau mau makan, ya harus kerja. Jangan samakan aku dengan wali level tawakal. Ibadah terus tapi bisa makan.”

“Kenapa tidak jadi wali level tawakal saja?” muka istrinya bersungut.

Mulut Tajudin mecucu ke arah istrinya. Kini gantian ia yang meledek, “Apa kau siap?”

Walau sebenarnya tidak siap, istri Tajudin terus mendesaknya agar meminta Allah memberikan rezeki tanpa bekerja. Bagaikan alarm, setiap hari istrinya selalu mengingatkan Tajudin akan hal itu. Sampai-sampai, kuping Tajudin panas dan tak tahan lagi. Ia pun berdoa setelah shalat maghrib. “Ya Allah, akulah kekasihmu. Kabulkanlah doaku. Sesungguhnya jika hamba-Mu berdoa, Engkau pasti mengabulkannya.”

Rupanya doa wali itu manjur. Keesokan harinya, datang segerombolan polisi ke rumah Tajudin. Waktu itu, sebenarnya Tajudin punya janji memplester dinding toilet Haji Syakur, tapi ia tidak berangkat. Para polisi itu pun membawa Tajudin sekeluarga ke kantor. Di sana, Tajudin disuruh tanda tangan. Tanpa keterangan apa-apa. Tanpa tuduhan apa-apa. Istrinya plonga-plongo, apalagi anak-anaknya.

Tajudin dan keluarga pun diantar ke penjara. Tanpa borgol di tangan. Tanpa kaos oranye. Tanpa perlawanan. Ruang penjara yang mereka tempati cukup untuk berlima. Tidak ada orang lain. “Ada apa, Pak?” istri Tajudin bertanya setelah sekian kali tidak diacuhkan oleh polisi.

Tajudin dengan tegas menjawab, “Allah sedang mengabulkan doamu.”

Tebuireng, 18 Mei 2020

*) Hilmi Abedillah, tinggal di Jombang, penulis Trik Ahli Neraka; Antologi Cerita Pendek (2018) dan Lain Waktu; Sebuah Novel Absurd (2019)