“Jadilah guru yang diingat muridnya” satu kalimat yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)  Anis Baswedan pada seminar pendidikan dengan tajuk “Mewujudkan Revolusi Mental melalui Penguatan Peran Strategis Guru” pada 26 November lalu dari rangkaian peringatan Hari Guru Nasional 2014.

Dinamika pendidikan di Indonesia dalam realita masih banyak kekurangan yang mesti dan segera dibenahi demi mencapai pendidikan yang lebih baik. Salah satu elemen vitalnya yaitu guru selaku pemegang tanggung jawab besar dalam rangka mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicitakan. Namun sangat disayangkan peran besar seorang guru sering terlupakan oleh siswa bahkan namanya turut terhapus dalam ingatan. Tak jarang murid di era kini ketika duduk di bangku SMP tak mampu lagi menyebutkan nama-nama gurunya di SD. Tingkatan perndidikan hanya terlewati bak sebuah tangga tanpa kesan dan makna. Pergeseran hubungan antara guru dan murid yang semestinya seperti anak dan orang tua kini keakraban itu telah terkikis nilai-nilainya sehingga paradigma yang sekarang guru lebih dari sekedar teman dalam belajar, tugas dan kewajiban selesai jika materi selesai. Sehingga peran guru secara personality hanya dianggap sebagai penyampai pengetahuan terbayarkan dengan sebuah gaji, impas sampai disitu.

Lebih lanjut pernyataan Mendikbud bahwa jejak mengajar para guru saat ini akan menempel lekat pada ingatan siswa jika mereka dididik sebagai seorang pembelajar. Hal tersebut perlu disikapi positif, pasalnya nilai-nilai pendidikan yang sebenarnya telah hilang padahal ciri khas pendidikan masa Islam klasik yang kemudian di Indonesia berlanjut ke pendidikan pesantren lebih dahulu menerapkannya. Meminjam istilah al Abrasyi yang mengatakan pendidik sebagai bapak ruhani (spiritual father) bagi anak didiknya. Artinya penentu keberhasilan pendidikan erat kaitannya dengan guru terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no 14 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru tertulis sempurna menjadi sebuah wacana teoritis, namun dalam prakteknya masih jauh dalam angan-angan. Standar kompetensi dan kualifikasi guru disesuaikan secara administrasi demi sebuah tunjangan profesionalisme guru, padahal adanya tunjangan sertifikasi pada mulanya bertujuan untuk menghargai pengabdian seorang guru yang berjuang melawan kebodohan. Pembelajaran terpaku pada silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sehingga guru disibukkan menyusun perangkat pembelajaran demi menuntaskan sebuah materi serta lepas dari sebuah kewajiban secara administratif, keluar dari zona aman demi sebuah tunjangan profesional guru. Hal tersebut berdampak dalam proses belajar mengajar yakni pembelajaran lebih terpaku pada transfer of knowledge pembentukan dan penanaman sebuah karakter dan spiritual pada murid tidak tersentuh. Hal-hal tersebut secara tidak langsung melupakan sebuah esensi pendidikan dan melupakan hakikat guru yang lekat dengan makna profesionalisme.

Nur Uhbiyati menjelaskan makna profesionalisme merujuk kepada guru sebagai pendidik yang artinya orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. ( Nur Uhbiyati: 1998). .

Majalah Tebuireng

Dalam paradigma jawa, pendidik diidentikkan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh anak didiknya (Hasan Basri:2009). Dalam Islam nabi Muhammad sebagai pendidik pertama dan utama yang telah didik oleh Allah sebagai pendidik teladan dan percontohan dalam diri Rasulullah kisahnya abadi sepanjang masa diakui di seluruh dunia tidak hanya pengikut agamanya. Tujuan utama diutus sebagai rasul untuk menyempurnakan akhlak. Pada perkembangan Islam dalam sejarah pendidikan masa klasik guru dan murid berhubungan sangat erat dan personal, saling mengetahui sifat, kemampuan, menjadikan pendidikan di masa itu tidak terpaku pada transmisi keilmuan lebih seperti orang tua dan anak. (Mehdi Nakosteen:1996). .

Berbanding terbalik jika melihat potret buram pendidikan di negeri ini yang mencoreng pelaku pendidikan seperti kasus pelecehan seksual di taman kanak-kanak dilakukan oleh guru, mahasiswa dan dosen mengkonsumsi narkotika bersama-sama, tawuran antar pelajar, korupsi dana pendidikan, menjadi catatan hitam problematika pendidikan sebagai indikasi pendidikan di Indonesia gagal.

 

Mewujudkan Revolusi Mental melalui Penguatan Peran Strategis Guru

Mewujudkan revolusi mental melalui penguatan peran strategis guru pada bagian ini dilakukan dengan mengembalikan hakikat guru dan murid sebagaimana terurai dalam teori pendidikan yang digagas para ahli pendidikan Islam maupun tanpa label Islam sudahlah sangat elok. Yang jadi problem adalah penghayatan hakikat guru dan murid saat ini kurang dapat dipahami oleh kedua belah pihak serta belum mampu menginternalisasikan nilai-nilai. Noktah merah pendidikan yang melibatkan pelaku pendidikan semestinya tidaklah terjadi jika mengembalikan kepada hakikat aslinya.

Yang paling utama dalam menjalankan tugas seorang pendidik adalah manumbuhkan ruuhul mudarris atau jiwa pendidik yang melekatkan sebuah tanggung jawab personal, sosial, maupun agama. Artinya dalam segala tindakan guru haruslah memperhatikan norma-norma serta menjaga kehormatan sebagai seorang pendidik sehingga pantas dijadikan teladan oleh muridnya. Mall praktek pendidikan dari berbagai ranah tidak mungkin terjadi jika guru dan murid memahami hakikat masing-masing.

Dapat berkaca pada sejarah pendidikan umat Islam di Indonesia yakni pesantren sebagai pendidikan tertua yang lebih dahulu mengimplementasikan sebuah keakraban antara guru dan santri dalam mendidik. Model pendidikan bukan hanya mentransmisikan sebuah pengetahuan, menghafal konsep, dan menghafal nilai tetapi menekankan sebuah penanaman dan pembentukan sebuah karakter dalam diri santri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Dr. Doni Koesoema tentang pendidikan karakter dapat efektif dan utuh harus menyertakan tiga basis dalam pemrogramannya. Pertama, desain pendidikan karakter siswa sebagai pembelajar di dalam kelas, relasi bukan monolog tetapi dialog yang banyak arah. Kedua, pendidikan berbasis kultur sekolah, model pendidikan pesantren bukanlah tradisionalis primitif tetapi dipahami sebagai wajah pendidikan yang memegang budaya bangsa yang luhur dan tentunya sebagai pusat studi keagamaan. Ketiga, desain pendidikan berbasis komunitas. Komunitas sekolah tidak berdiri sendiri tetapi menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Gagasan Doni Koesoema menunjukkan ke arah pesantren pesantren, Nurcholis Madjid menyebutkan model sistem lembaga pendidikan keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Gus Dur pernah membuat kajian tentang pesantren sebagai subkultural yang mempunyai tiga kriteria, antara lain: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, dan hierarki kekuasaan yang ditaati sepenuhnya.

Dalam sebuah buku Education for Character (1991) yang ditulis Thomas Lickona mengartikan pendidikan karakter yaitu usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Ia menegaskan menghendaki anak-anak mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar , serta melakukan apa yang diyakini benar bahkan ketika harus ditekan dari luar dan godaan dari dalam. Kemudian dibutuhkan bukan hanya karakter kuat, tetapi juga benar, positif dan konstruktif demikian diungkap Franz Magnis Suseno.

Joshepson Institute of Etich merumuskan enam pilar utama pembentukan karakter. Pilar pertama adalah trustworthiness, dapat dipercaya dipupuk sejak anak berusia 4-6 tahun. Tidak berbohong dan berani membela kebenaran adalah karakter yang paling mendasar dan paling utama. Pilar kedua adalah responsibility atau tanggung jawab, yang sebaiknya mulai diajarkan sejak usia 6 tahun , berpikir sebelum bertindak dan mempertimbangkan konsekwensinya. Ketiga adalah respect maksudnya anak dibiasakan memperlakukan orang lain dengan hormat, sikap ini perlu ditanamkan sejak usia 9-11 tahun. Keempat adalah fairness yakni belajar untuk mengikuti peraturan yang berlaku tidak berprasangka buruk dan tidak sembarangan menyalahkan orang lain. Kelima adalah caring (peduli) yang harus mulai diterapkan sejak masa remaja, inti pilar ini ialah bertindak dengan ramah dan peduli pada orang lain. Pilar keenam adalah citizenship yang dibangun sejak meninggalkan masa remaja dan mulai menjadi dewasa.

Dalam pendidikan pesantren, santri berada dalam lingkungan pesantren selama satu hari penuh sehingga para pendidik atu pengasuh dapat mengawasi, membimbing dan memberi teladan, kepada para santri secara total. Inilah yang memudahkan intensifikasi usaha pencapaian sistem pendidikan ala pesantren, bahwa pendidikan harus dimulai dari keteladanan seorang guru. Jika guru beraklak baik, jujur, ikhlas, tanggung jawab dengan amanat yang diembannya maka akan melahirkan anak didik yang berakhlak baik, jujur, ikhlas, tanggung jawab sebagaimana gurunya. Sisi positif lain pesantren adalah metodologinya , pesantren mampu menciptakan suasana keakraban, pola hidup persaudaraan, jiwa kebersamaan, egaliter, dan toleran. (Lutfi Taufik: majalah Tebuireng edisi 29 2013)

Sebagai lembaga pendidikan yang eksis hingga saat ini turut andil memberikan kontribusi besar terhadap bangsa. Sejarah membuktikan keberadaan negara Indonesia saat ini digagas oleh orang-orang yang berada di lingkup pesantren. Manusia unggul pesantren yang santun, berkepribadian luhur berjasa bagi bangsa ini. Tak dapat diingkari ulama dan santri turut andil dalam perjuangan secara heroik maupun diplomasi. KH. Hasyim Asy’ari terlibat penuh dalam perjuangan 10 November, KH. Wahid Hasyim turut menggagas piagam Jakarta sebagai cikal bakal kelahiran Pancasila dan KH. Abdurrahman Wahid pernah memerintah negeri ini dikenal sebagai tokoh pluralisme.

Menilik lebih dalam pendidikan di pesantren menurut Zamakhsari Dhofir tujuan pesantren tidak semata-mata memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih, dan mempertinggi semangat,menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.

Tetapi pesantren dewasa ini berubah hasil produknya, tidak dipungkiri bahwa pesantren melakukan penyerapan kebijakan pendidikan negara yang kemungkinan terbesarnya adalah berganti-ganti kurikulum dan materi ajar dalam lembaga tersebut dan bahkan prinsip awalnya mulai kabur. (Yan Musthofa: majalah Tebuireng edisi 29 2013)

Dengan hadirnya kurikulum 2013 berdasarkan pendidikan karakter oleh beberapa ahli dinilai mampu menjadikan pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik, namun dalam prakteknya masih banyak kekurangan mulai dari keterlambatan pendistribusian buku, kurangnya guru memahami penerapan kurikulum dalam kegiatan belajar yang dikarenakan guru belum mendapatkan pelatihan kurikulum serta konsep evaluasi yang membingungkan guru. Konsep yang baik ternyata dalam implementasinya tidak seperti yang diharapkan. Sering dikatakan pergantian menteri sama dengan pergantian kurikulum adalah benar. Belum genap satu semester Mendikbud yang baru menyatakan bahwa K13 akan digantikan kembali dengan kurikulum KTSP dengan alasan banyak sekolah belum siap.

Semoga saja kebijakan pergantian kurikulum bukanlah semacam proyek yang hanya menghabiskan anggaran tetapi belum mencapai hasil yang diinginkan. Kalaupun ini benar lagi-lagi dunia pendidikan menjadi lahan subur untuk dapat dikomersilkan demi sebuah keuntungan. Tidak sedikit anggaran yang digelontorkan pemerintah terkait kebijakan kurikulum. Yang jadi pertanyaan dimanakah seharusnya revolusi mental diterapkan? jika wadah revolusi mental yakni pendidikan turut dikontaminasi oleh sebuah kebijakan.

Mengambil sebuah jalan tengah sebagai solusi yaitu apapun kurikulumnya pendidikan karakter tetaplah diterapkan dalam proses pembelajaran, tidak hanya tertulis secara normatif dalam perangkat pembelajaran melainkan dipraktekkan. Pembentukan karakter tidak terpaku pada silabus, RPP, yang hanya berhenti pada kompetensi inti yang diukur dengan angka-angka. Melainkan dengan penerapan dan penanaman karakter dalam setiap pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Artinya pembelajaran tidak hanya selesai di sekolah, oleh sebab itu diperlukan kerja sama antara guru, orang tua, dan masyarakat sebagai penanggung jawab pendidikan.

Masih dalam konsep revolusi mental yang menjadi ikon pemerintah saat ini, keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama turut mewarnai keberhasilan pendidikan. Keluarga adalah miniatur kecil dari masyarakat, jika keluarga-keluarga baik otomatis terbentuklah masyarakat yang baik. Untuk itulah diperlukan kesadaran serta kerja sama guru, orang tua, masyarakat dan tentunya subyek didik sendiri yaitu murid. Menumbuhkan kesadaran kepada mereka semua bahwa pendidikan sebagai suatu sistem yang mengkonsekwensikan tidak dapat berdiri sendiri jika salah satunya tidak mendukung akan terjadi kepincangan.

Untuk itulah menumbuhkan kembali ruh guru yang sejatinya bukanlah sebuah mata pencaharian demi sebuah materi, berjiwa pendidik, sikap dan perbuatan layak untuk dicontah, menjaga martabat guru dengan berpegang teguh terhadap nilai-nilai. Sedangkan dalam menumbuhkan kembali ruh guru penulis setuju dengan pendapat Ramayulis yang menyatakan murid yang berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang murid akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut. Sehingga agar seorang guru mampu membentuk murid yang berkepribadian dan dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu memahami murid beserta segala karakteristiknya.

Tidaklah mudah memang tetapi harus, artinya butuh kerjasama dari semua pihak yang terkait dalam pendidikan dalam hal ini tidak semuanya berada di pundak guru. Wallahua’lam.

*Ayu Nuzuiya

Aktif di Sanggar KomunitasPenulis Muda Tebuireng (Kepoedang)