sumber ilustrasi: www.google.com

Oleh: Ustadz Jailani*

Assalamualaikum Wr. Wb

Ayah saya umur 70 tahun, kondisi saat ini tidak lagi bisa melihat dan pikun. Karena pikun maka beliau tidak lagi ingat bacaan dan gerakan salat, juga urutan berwudu. Bagaimana hukumnya menurut Islam atas kondisi beliau di atas terutama mengenai kewajiban salatnya karena pun sebagai makmum salatnya cenderung “berantakan.”

Mohon pencerahan berkaitan informasi diatas. Terima kasih sebelumnya.

Penanya: Alifo Aqbar, Jakarta

Majalah Tebuireng

 

Waalaikumussalam Wr. Wb

Seseorang yang sudah pikun tidak terbebani kewajiban yang ada dalam agama Islam termasuk salat. Karena Dalam agama Islam seseorang tidak akan dibebani suatu kewajiban, kecuali ia mempunyai kemampuan untuk melakukannya, termasuk di dalamnya kesempurnaan akal. Selain itu semua kewajiban dalam agama Islam harus dilakukan dalam keadaan sadar.

Oleh karena itu dalam Usul Fiqh terdapat teori (عوارض الأهلية), yaitu teori yang menjelaskan bahwa manusia bisa bebas dari beban hukum disebabkan pada dirinya terdapat gejala-gejala yang dapat menyebabkan hilangnya akal. Menurut Dr. Muhammad Mushtafa Al-Zuhaili dalam kitab Usul Fiqh Al-Islami, bahwa hal-hal yang menyebabkan seseorang bebas dari beban kewajiban ialah gila dan tidur.[1]

العوارض التي تعرض لأهلية الأداء فتزيلها أصلًا، كالجنون والنوم – إلى قوله – ويصبح الإنسان في هذه الحالات عديم الأهلية تمامًا، ولا يترتب على تصرفاته أثر شرعي، وتنعدم عنه التكاليف.

Hal itu merujuk kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Ali:

” عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ”  (رواه أبوداود)

Diriwayatkan dari Ali, bahwasannya Nabi bersabda, “pena catatan amal diangkat dari tiga golongan. Orang yang tidur hingga ia terbangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia waras”.(H.R. Abu Daud)

Dalam riwayat lain Imam Abu Daud menambahkan:

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: رَوَاهُ ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَادَ فِيهِ: «وَالْخَرِفِ»

Ibn Juraij meriwayatkan dari Qasim bin Yazid dari Ali, bahwa dalam hadis di atas Nabi Muhammad menambahkan lafazd (الخرف) artinya orang yang pikun.[2]

Dikarenakan dalam riwayat yang lain tak hanya menyebutkan orang gila dan orang tidur saja, namun juga terdapat tambahan orang pikun, maka Imam Al-Subki menjelaskan bahwa yang dimaksud orang pikun ialah seseorang yang akalnya hilang disebabkan sudah tua, dan menyebabkannya tidak tamyiz, sehingga ia dianggap tidak termasuk mukallaf.[3]

قَالَ السُّبْكِيُّ يَقْتَضِي أَنَّهُ زَائِدٌ عَلَى الثَّلَاثَةِ وَهَذَا صَحِيحٌ وَالْمُرَادُ بِهِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي زَالَ عَقْلُهُ مِنْ كِبَرٍ فَإِنَّ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ قَدْ يَعْرِضُ لَهُ اخْتِلَاطُ عَقْلٍ يَمْنَعُهُ مِنَ التَّمْيِيزِ وَيُخْرِجُهُ عَنْ أَهْلِيَّةِ التَّكْلِيفِ.

 

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.


[1] Dr. Muhammad Mushtafa Al-Zuhaili Al-wajiz fi usul fiqh Juz 1, 496. Cet. Dar Al-khair Damasyqus, 2006.

[2] Muhammad Asyraf bin Amir Al-Shadiqi ‘Aunil Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud Juz 12, hal 15. Cet DKI Bairut.

[3]