Sumber gambar: https://www.asholat.com

Oleh: Ustadz Miftah Al Kautsar*

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Dalam perjalanan di kendaraan seorang musafir diperbolehkan menjalankan shalat an-Nafilah (sunah). Lalu bagaimana dengan shalat fardhu seperti halnya melakukan perjalanan naik kereta dari Surabaya ke Jakarta?

Hamba Allah- Gresik

Wa’alaikumussalam Wr.Wb

Majalah Tebuireng

Terima kasih kepada penanya yang budiman. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan kehidupan kita dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Adapun jawabannya akan kami paparkan di bawah ini;

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang paling utama dari pada ibadah yang lainnya. Shalat (fardhu) diwajibkan atas setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan bermukim (menetap) atau safar (berpergian), dan setiap keadaan memiliki cara khusus yang sesuai dengan keadaannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, shalat memiliki beberapa syarat dan rukun shalat yang harus dipenuhi, jika tidak maka shalatnya tidak sah.

Berdasarkan keterangan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah bahwa Nabi  Saw. turun ketika hendak melaksanakan shalat fardhu.

عن جابر بن عبد الله، قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي على راحلته حيث توجهت فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة

“Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di atas kendaraannya (tunggangannya) menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun, jika beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhori)

Dari redaksi hadis di atas Imam Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fath al-Bari memberikan penjelasan, bahwa boleh melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan ketika berpergian meski tidak menghadap kiblat dengan menghadap ke arah mana kendaraan itu menghadap atau melaju. Menurut ijma’ ulama (kesepakatan ulama) hadis tersebut menunjukan dalam melaksanakan shalat fardhu harus menghadap kiblat kecuali ada udzur syar’i.

Dengan demikian, shalat fardhu harus dilaksanakan dengan sempurna sebagaimana mesti shalat itu dilaksanakan. Hal ini bisa kita pahami dari kalimat bahwa Rasulullah Saw turun dari tunggangannya ketika hendak melakukan shalat fardhu. Turunnya beliau ini dimaksudkan agar beliau dapat melakukan shalat fardhu dengan sempurna, yakni dengan menghadap kiblat, berdiri, ruku’, dan sujud secara benar. Akan tetapi pada dewasa ini yang terjadi di tengah masyarakat dengan realita yang ada ketika seorang sedang melakukan perjalanan jauh tidak bisa turun untuk melakukan ibadah shalat. Kemudian kiranya sulit untuk shalat dengan sempurna dan terkadang tidak menghadap kiblat semisal naik kereta api, kapal laut, bus, dan pesawat.

Ketika seorang mengalami kondisi ini, maka kita tetap melaksanakan shalat lihurmatil waqti, yakni melakukan shalat sekedar untuk menghormati waktu shalat, karena pada dasarnya seorang tidak boleh meninggalkan shalat pada waktunya. Shalat lihurmatil waqti ini dilakukan bagi seorang yang tidak bisa melakukan shalat secara sempurna dengan terpenuhi syarat dan rukunnya. Orang yang melakukan shalat lihurmatil waqti wajib mengulangi shalatnya ketika telah mampu untuk melakukannya secara sempurna. Keterangan ini berdasarkan Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab juz 3 halaman 242

قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ

“Para sahabat kami (ulama Madzhab Syafi’i) berpandapat, bila telah datang shalat fardhu sementara mereka dalam perjalanan, dan bila turun untuk shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat khawatir akan tertinggal dari rombongannya atau mengkhawatirkan dirinya sendiri, hartanya, maka tidak diperbolehkan baginya meninggalkan shalat dan mengeluarkan dari waktunya. Ia mesti shalat di atas kendaraannya untuk menghormati waktu shalat dan wajib mengulanginya (bila telah memungkinkan), karena hal itu merupakan uzur yang jarang terjadi.”

Perlu diperhatikan juga, bila seorang itu menggunakan kendaraan pribadi maka kiranya tidak ada alasan untuk tidak bisa turun dan melakukan shalat fardhu sebagaimana mestinya, karena orang yang menggunakan kendaraan pribadi serta mampu untuk turun tidak boleh melaksanakannya di atas kendaraan. Wallahu ‘alam bisshowab.

Sekian jawaban dari tim redaksi kami. Semoga bermanfaat dan bisa dipahami dengan baik. Wassalamu’alaikum Warahmatuh Wabarakatuh.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.