Oleh: M. F. Falah Fashih*

Belakangan ini, menjelang hari raya Idul Adha, sempat muncul pertanyaan yang menyeruak di tengah masyarakat tentang validitas berkurban menggunakan uang tunai. Sesungguhnya kemunculan pertanyaan semacam ini terasa wajar saja. Pasalnya, masyarakat modern lebih menyukai hal-hal yang sifatnya praktis dan instan. Apalagi, jika menilik pada persoalan zakat fitrah ternyata ada ulama yang melegalkan pembayarannya dengan uang tunai, alih-alih menggunakan bahan makanan pokok.

Persoalan pelaksanaan ibadah kurban dengan uang tunai ini ternyata berkembang lebih jauh. Muncul beragam persoalan turunan. Di antara persoalan turunan tersebut adalah legalitas penyaluran dana ibadah kurban yang dilakukan dengan uang tunai kepada korban terdampak pandemi COVID-19. Bagi beberapa pihak, persoalan ini dirasa memiliki urgensi yang cukup tinggi, apalagi Idul Adha tahun ini bertepatan di tengah program PPKM yang melemahkan kondisi ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, ada lonjakan angka yang cukup serius pada statistik korban terpapar COVID-19.

Persoalan semacam ini tentu saja tak bisa dijawab dengan seenak jidat. Mengatakan ‘ini legal’ ‘itu ilegal’ tanpa analisis tentu merupakan hal yang sembrono. Apalagi hal ini berkaitan dengan syariat, maka analisisnya pun tidak bisa didasarkan pada teori-teori yang bersifat asumtif saja.

Jika merujuk pada teori yang disampaikan oleh Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dalam Kanzu al-Raghibin, pada dasarnya ibadah kurban hanya bisa dilaksanakan dengan proses penyembelihan hewan, baik berupa kambing, sapi ataupun unta. Hal ini dipahami dari pernyataannya ‘Wa yahshulu al-tsawabu bi iroqoti al-dami biniyati al-qurbah’, pahala ibadah kurban bisa diperoleh dengan mengalirkan darah (menyembelih hewan) disertai niat mendekatkan diri pada Allah.

Majalah Tebuireng

Tentu saja pernyataan tersebut belum menafikan sepenuhnya asumsi bahwa ibadah kurban bisa dilakukan dengan cara lain, dengan uang tunai misalnya. Akan tetapi, Al-Mahally juga menyatakan bahwa ‘Wa la tashihhu al-udlhiyatu min haitsu al-tadlhiyatu biha illa min ibilin wa baqorin wa ghanamin’, ibadah kurban, dari segi hal yang dikurbankan, tidak bisa dihukumi sah kecuali berupa unta, sapi dan kambing. Analisis terhadap dua pernyataan ini membawa pada kesimpulan bahwa menunaikan ibadah kurban dengan uang tunai adalah ibadah yang invalid. Ditambah lagi, ternyata pernyataan semacam ini juga disampaikan oleh al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Khothib al-Syirbini dan al-Ramli al-Shaghir dalam kitab-kitab mereka.

Bahkan Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh memberikan vonis bahwa para ulama telah menyepakati bahwa yang bisa digunakan untuk berkurban hanyalah unta, sapi dan kambing. Al-Zuhaili menyatakan bahwa Rasulullah ataupun para sahabatnya tidak pernah berkurban kecuali dengan hewan-hewan tersebut. Sehingga berkurban dengan perkara lain, walau berupa hewan apalagi uang tunai, dianggap kurban yang invalid. Terlebih lagi, al-Zuhaili juga menyatakan bahwa kurban adalah ibadah yang berkaitan dengan (pengorbanan) hewan, maka tak bisa diganti dengan hal lain.

Meski regulasi ibadah kurban dalam syariat terkesan ketat dan rumit seperti ini, namun bukan berarti tidak ada celah sama sekali untuk menyederhanakan pelaksanaan ibadah kurban. Salah satu solusi inovatif adalah dengan pelaksanaan akad wakalah (mandat). Praktik akad ini dilakukan dengan penyerahan mandat oleh orang yang ingin melaksanakan ibadah kurban kepada seseorang atau sebuah lembaga untuk melakukan pembelian serta pengadaan hewan kurban, menyembelihnya sekaligus membagikan daging hewan tersebut.

Dalam praktik ini, pihak yang ingin melaksanakan ibadah kurban cukup memberikan nominal uang seharga hewan kurban tanpa harus repot dengan berbagai proses yang bagi beberapa orang dinilai rumit dan melelahkan. Pada akhirnya, meski orang yang melaksanakan ibadah kurban tampak hanya melaksanakan kurban dengan uang tunai, namun sesungguhnya tetap terjadi proses penyembelihan hewan sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan syariat dan dirumuskan oleh para ulama.

Analisis ini sekaligus memberikan jawaban bahwa penyaluran dana ibadah kurban yang dilakukan dengan uang tunai kepada masyarakat terdampak pandemi adalah tindakan  yang ilegal. Meski demikian, dalam suasana pandemi seperti ini yang perlu ditinjau ulang adalah keputusan dalam penggunaan uang tunai tersebut. Ada dua opsi besar, menggunakannya sebagai ibadah kurban atau menggunakannya sebagai sedekah untuk membantu masyarakat terdampak pandemi.

Merujuk pada pernyataan al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, suatu amal dari jenis yang sama bisa bernilai pahala yang berbeda tergantung keadaan dan dampaknya. Dalam kitab yang sama, al-Munawi mengutip sabda Nabi ‘Pahala sedekah dilipatkan sepuluh kali, sedangkan pahala memberikan hutang dilipatkan tujuh puluh kali’ dan memberikan komentar bahwa orang yang berhutang adalah orang yang benar-benar membutuhkan, sedangkan penerima sedekah belum tentu. Sehingga terasa wajar jika pahala orang yang memberikan hutang bisa menjadi lebih besar padahal orang yang memberikan hutang mengharapkan uangnya dikembalikan, berbanding terbalik dengan orang yang bersedekah.

Jika pernyataan tersebut diseret dalam konteks ini, maka seharusnya menggunakan uang untuk membantu masyarakat terdampak pandemi tentu dianggap lebih bijak dan lebih bernilai. Pasalnya, dalam suasana seperti ini hal tersebut lebih nampak manfaatnya. Ditambah lagi, masyarakat lebih membutuhkan biaya untuk bertahan menghadapi pandemi, alih-alih berpesta dengan memakan daging kurban. Lagipula, melakukan perayaan dengan memakan daging kurban di suasana yang serba memprihatinkan seperti ini terasa kurang etis.

Namun tentu saja, konsisten dengan analisis sebelumnya, menyalurkan uang tersebut sebagai bantuan sosial tak akan membuat seseorang dianggap melaksanakan ibadah kurban secara aturan formal syara’. Meski begitu, memaksakan diri untuk dianggap berkurban sedangkan masyarakat di sekitar lebih membutuhkan biaya tersebut untuk bertahan menghadapi pandemi juga terasa begitu egois bukan? Lagipula, menyalurkannya sebagai bantuan sosial – yang lebih dibutuhkan masyarakat – bisa jadi lebih bernilai pahala daripada menjadikannya kurban.

Kediri, 14 Juli 2021


*Founder IBIDISM (Komunitas Literasi Mahasantri Lintas Ma’had Aly), Mahasantri Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo – Kediri (fajreyfalah@gmail.com)