Oleh: Bambang Subandi*

Pengajian kitab kuning menjadi komponen utama dalam pesantren. Komponen lainnya adalah kyai, masjid, bangunan pondok, dan santri. Kitab kuning memiliki jenjang pengajaran: Ula, Wustho, dan ‘Ulya. Doktrin pertama sebelum pengajian kitab kuning adalah penghormatan terhadap ilmu yang bermanfaat melalui kajian kitab Ta’limul Muta’allim. Doktrin ini menggambarkan perlunya adab sebelum pendalaman ilmu (al-adab qabl al-‘ilm). Santri diarahkan agar mematuhi tata krama dalam belajar. Cara yang benar dalam belajar akan membuahkan ilmu yang benar dan bermanfaat, meski ilmu yang diserap amat sedikit. Tata krama ini pula melahirkan sosok santri yang penuh dengan kepatuhan, rendah hati, serta tidak berhenti dalam menuntut ilmu. Karakter cinta pada ilmu menjadi identitas santri sejati di manapun, meski dirinya telah keluar dari lingkungan pesantren.

Cinta pada ilmu menjadi parameter kaum santri dalam memandang pergaulannya dengan orang lain. Kedudukan santri dipertimbangkan dari sisi keilmuan. Semakin tinggi ilmu seorang santri, meski usianya masih muda, semakin besar penghormatan kepadanya. Ketinggian ilmu bukan didasarkan pada tingkat pendidikan formal, melainkan penguasaannya dalam bidang khazanah keislaman pesantren. Santri yang mampu membaca kitab kuning memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan para santri. Penguasaan kitab kuning merupakan harapan yang sama sekaligus parameter keberhasilan pendidikan pesantren. Karena itu, pesantren mewajibkan setiap santri untuk mengikuti pelajaran Nahwu dan Sharaf sebagai bekal pengenalan kepada kitab kuning. Kebersamaan pun terjadi dalam pembelajaran kitab kuning: bersama dalam hafalan, pamaknaan, penyimakan, serta majelis pengajian.

Selama mengikuti kajian kitab kuning secara klasikal, pemahaman dalam disiplin (fann) ilmu menjadi tolok ukur kelanjutan ke jenjang berikutnya. Dalam hal ini, usia, khataman, apalagi target kurikulum merupakan faktor yang diabaikan. Di pesantren yang masih menerapkan tradisinya, forum pengajian diikuti oleh para santri dengan usia yang berbeda-beda. Tidak hanya itu, di antara peserta pengajian ini, terdapat beberapa santri yang mengikuti forum yang sama berulang kali. Motif pengulangan ini pun juga beragam, antara lain: harapan keberkahan, idola figur kyai, atau benar-benar kurang memahami. Jika sistem belajar di luar pesantren mengukur keberhasilan dengan angka kuantitatif, semacam target waktu, target nilai, dan target pertemuan, justru pembelajaran di pesantren diukur dengan data-data kualitatif.

Karena berulangkali mengikuti pengajian kitab tertentu hingga keluar dari pesantren, maka santri demikian ini akan dikenal dengan kitab spesifikasinya. Tidak jarang ia pun hampir hafal seluruh isi kitab tersebut, karena kitab ini telah dikaji, ditelaah, dan diajarkan berulang kali. Akhirnya, perilakunya mengikuti pesan dalam kitab tersebut. Orang lain selalu menilainya sebagai santri yang kurang kritis dan taqlid (mengikuti tanpa pengetahuan dalil). Akan tetapi, pegangan pada kitab tertentu memudahkan masyarakat dalam pengamalan beragama. Kitab Taqrib –sebutan lainnya: ghoyah al-ikhtishar (amat tertalu ringkas)- menjadi pegangan masyarakat. Hampir seluruh pesantren mengajarkan kitab ini. Di masyarakat pun, kitab ini terus dibacakan berulang kali. Akhirnya, pola keagamaan masyarakat tidak terlepas dari kitab Taqrib.

Majalah Tebuireng

 Di dunia akademik perguruan tinggi, pemecahan masalah keagamaan menggunakan metode kompilasi (al-jam’), yakni menelaah berbagai sumber referensi primer yang relevan dengan masalah. Jawaban yang disampaikan pun kerap membingungkan, karena aneka pendapat disajikan tanpa identitas yang jelas. Tidak demikian dengan fatwa sang kyai yang tetap merujuk pada kitab spesialisasinya. Hanya saja, penjelasan isi kitab lebih dikembangkan melalui telaah kitab-kitab yang lain. Metode ini disebut dengan istilah ilhaq, metode yang digunakan forum bahtsul masail al-waqi’iyyah. Dengan metode ini, pengulangan pengajian tidak membosankan, karena terdapat penambahan penjelasan dalam materi yang sama. Selain untuk memudahkan umat dalam beragama, metode ini juga memberikan pesan tentang keteguhan bermadzhab. Tradisi semacam ini sekaligus menjadi jawaban: mengapa banyak kitab madzhab Syafi’i tidak diajarkan –setidaknya diperkenalkan- di pesantren.

Di pesantren Tebuireng, terkenal sebagai spesialisasi kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dua kitab ini dibacakan berulangkali sebagai tradisi. Tidak sedikit santri mengikutinya berulangkali, karena pembacanya memberikan penjelasan yang lebih aktual. Penjelasan ini biasanya dicatat oleh santri yang rajin di pinggir kitab. Catatan dan makna kitab yang diterima dari gurunya ini menjadikan nilai kitabnya semakin tinggi. Kehilangan kitab ini tidak bisa diukur dengan harta benda apapun. Karenanya, kitab yang telah diberi makna dan catatan selalu disimpan dan sulit untuk dipinjamkan. Kelak, kitab-kitab ini menjadi saksi atas ketekunan seorang santri saat mengikuti pengajian di pesantren.

Keilmuan santri tidak dilihat dari kemampuan membaca kitab kuning saja, melainkan juga keterkaitan dan kedekatan dengan gurunya. Semakin dekat santri dengan gurunya, semakin tinggi derajatnya di pesantren. Pengabdian kepada guru –sekalipun belum diajarkan ilmu oleh gurunya- adalah dambaan para santri. Melalui pelayanan santri kepada kyai, secara tidak langsung, santri belajar lebih dalam mengenai keseharian gurunya. Meminjam istilah riset sosial, santri tersebut telah melakukan pengamatan yang terlibat (participatory observation). Santri ini bisa menceritakan gerak-gerik guru yang sesungguhnya implementasi dari seluruh keilmuannya.  Sementara itu, santri lain yang mengaji di hadapan guru hanya memperoleh sebagian kecil dari ilmu gurunya.

Ilmu di pesantren tidak diperkenankan lepas dari guru, betapapun santri bisa membaca aneka kitab di perpustakaan. Geneologi keilmuan pesantren tampak dari transmisi keilmuan (sanad) yang pada gilirannya membentuk pola pemikiran khas pesantren. Sebagai contoh, konsep keagamaan yang dipahami santri sesuai dengan pemahaman gurunya, KH. Ishaq Lathif. Pemahaman ini ternyata berasal dari guru beliau, KH. Idris Kamali. Akhirnya, pemahaman konsep tersebut diperoleh KH Idris Kamali dari gurunya yang sekaligus menjadi mertuanya, yaitu Hadratussekh KH. Hasyim Asy’ari. Penelusuran konsep-konsep yang memiliki geneologi keilmuan ini perlu dilacak, sehingga konsep tersebut menjadi pemikiran khas pesantren Tebuireng. Bagaimanakah konsep “jihad” dalam pemikiran pesantren Tebuireng? Jawaban ini hanya bisa dikemukakan oleh santri yang memiliki transmisi keilmuan hingga pendiri pesantren Tebuireng.

Suatu ilmu akan memiliki identitas bila ia memiliki karakter yang kuat. Karakter keilmuan ini bisa digali dari transmisi pemikiran maupun tradisi khas pesantren. Dengan identitas ilmu yang kuat, pesantren mudah mengembangkan cabang pesantren baru sesuai dengan identitas tersebut. Identitas keilmuan ini akan tetap dipertahankan meski perubahan sosial berkembang secara massif. Melalui identitas keilmuan ini, orang lain bisa membedakan dengan jelas masing-masing alumni pesantren. Dengan demikian, ilmu yang bermanfaat tetap sebagai tolok ukur tradisi pesantren, namun ilmu yang khas menjadi identitas bagi pesantren.

*Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.