Oleh: Nur Ifana dan Muhammad Zaenal Karomi*

Setiap insan di kehidupan dunia pastilah ingin berlomba-lomba menjadi insan yang mulia dan bermanfaat terhadap lingkungan sekitarnya. Ketika kita berbicara tentang orang baik, maka tak lepas dengan akhlaq yang menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia saja, akan tetapi menyangkut antara makhluq dan sang maha pencipta-Nya. Lalu bagaimana hakikat dari orang yang baik itu? Siapakah orang yang baik itu? Orang yang berpakaian mewahkah? ataukah orang yang rajin beribadah?.

Dalam firman Allah menjelaskan tentang kriteria menjadi orang baik. Diantara kriteria tersebut adalah beriman kepada Allah, para Malaikat, al-Qur’an, para Nabi, dan hari kiamat. Selain itu, dikatakan menjadi orang baik, jika orang itu dapat memberikan harta yang dicintainya kepada orang lain. Seperti kerabat dekat, anak yatim, orang – orang miskin, dan ibnu sabil (musafir). Adapun kriteria selanjutnya adalah menegakkan sholat. Dalam hal ini menggunakan kata menegakkan, karena sholat harus ditegakkan dengan sabar bukan hanya dengan kata “dikerjakan”. seperti firman Allah yang dijelaskan dalam surat Toha ayat 132:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْها لا نَسْئَلُكَ رِزْقاً نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعاقِبَةُ لِلتَّقْوى (132

Artinya: “Dan perintahlah pada keluargamu dengan mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak akan meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu, dan akibat yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Majalah Tebuireng

Dalam ayat ini, Syaikh Wahbah Zuhaily dalam Tafsir al-Munir mengemukakan pendapatnya, ayat ini berisi tentang perintah untuk mendirikan sholat dengan sabar sebagai sarana mencapai derajat ketaqwaan. Dengan ketaqwaan ini seorang muslim mendapat jaminan Allah berupa solusi dari berbagai kesulitan dalam kehidupan dan terbukanya sebuah pintu rizki yang tidak terduga-duga.

وأخرج ابن أبي حاتم وابن المنذر والطبراني وأبو نعيم في الحلية عن عبد اللّه بن سلام قال: كان النبي صلّى اللّه عليه وآله وسلّم إذا نزلت بأهله شدة أو ضيق، أمرهم بالصلاة وتلا: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ.

Riwayat ini menjelaskan bahwa, ketika turun ayat di atas, keadaan Nabi Muhammad dan keluarganya sedang payah dan kesulitan (kesukaran). Maka Nabi Muhammad menyuruh keluarganya untuk menegakkan sholat dan membaca ayat وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ.. (Riwayat Ibnu Abi Khatim, Ibnu Mundzir, al-Thabrani, Abu Nua’im dari Abadullah bin Salam)

Menunaikan zakat, Menepati janji dan bersabar dalam penderitaan adalah rentetan dalam persyaratan menjadi orang baik. Kriteria ini dijelaskan dalam surat al-Baqoroh ayat 177:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ.

Artinya: Bukankah menghadapnya wajah kalian  ke arah timur dan Barat itu satu kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Akhir (kiamat), malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatirn, orang-orang miskin, rnusafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang betaqwa.” (al-Baqarah: 177)

Ayat yang mulia ini mengumpulkan antara aqidah, yaitu beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi, dengan ibadah ritual, seperti shalat dan zakat dan dengan akhlaq serta ibadah sosial, yaitu memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim dan seterusnya, hingga menepati janji, sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Kemudian menjadikan keterkaitan yang rapi tersebut sebagai hakikat kebajikan, hakikat beragama, dan hakikat ketakwaan, sebagaimana hal itu dikehendaki oleh Allah.

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمى إِنَّما يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ (19) الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثاقَ (20) وَالَّذِينَ يَصِلُونَ ما أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخافُونَ سُوءَ الْحِسابِ (21) وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقامُوا الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْناهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً وَيَدْرَؤُنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ (22.

Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orangyang menunaikan apa-apa yang Allah perintahkan supaya ditunaikan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhann Tuhan-nya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (al-Ra’du: 19-22)

Gambaran dalam ayat ini memiliki keistimewean, yakni dengan mengkombinasikan antara akhlaq Rabbaniyah (berkaitan antara manusia dengan Allah SWT) seperti takut meninggalkan syariat yang menjadi ketetapan Allah SWT dengan akhlaq lnsaniyah (berkaitan antara manusia dengan manusia lain) seperti menepati janji, sabar, silaturrahmi, bersedekah dan memberikan motivasi kepada tetangga yang mendapat musibah.

Sesungguhnya orang yang merenungkan ayat ini akan medapatkan bahwa pada dasarnya akhlaq itu seluruhnya bersifat Rabbaniyah. Karena pada hakikatnya kesetiaan itu adalah setia terhadap janji Allah, sabar semata-mata untuk memperoleh ridha Allah, bershodaqoh juga mengeluarkan rezeki Allah yang dititipkan kepada kita, maka seluruhnya menjadi akhlaq Rabbaniyah yang sampai kepada Allah. Apalagi disertai dengan mendirikan shalat karena shalat itu seluruhnya termasuk ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah dan menerima sesuatu yang ada di sisi-Nya.

Oleh karena itu, berawal dari mempunyai rasa iman yang kuat akan memberikan peluang untuk senantiasa takut kepada Allah SWT dan menemukan jalan keluar yang terbaik bagi seorang muslim memecahkan masalahnya. Kemudian, dengan menunaikan kewajiban, menyadari eksistensinya sebagai makhluk Allah yang selaras dengan ketentuan syari’at, dan berbuat kebaikan kepada sesama manusia, akan menjadikan kita masuk pada kategori orang baik.

Jadi, Ibadah yang bersifat sosial kepada sesama manusia pada hakikatnya adalah yang bersifat rabbaniyah, antara manusia dengan Tuhannya. Karena setiap perbuatan bajik adalah yang dilandaskan atas keikhlasan dan ketulusan hati, akan menurunkan ridla Allah. Dalam setiap langkahnya akan dinaungi ridla dan keberkahan-Nya. Maka, untuk menjadi orang bajik, jangan lah pilah-pilah, mana yang untuk Allah dan untuk manusia, karena keduanya sama-sama adalah ibadah yang kembalinya kepada Allah. Waallahu ‘alam.

*Keduanya adalah mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang  semester 6, dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang.