Karakter Asal dan Karakter Bentukan

Sumber: http://infosekolahterbaru.blogspot.co.id/2015/07/pengertian-karakter.html

Oleh: Yayan Musthofa*

Perilaku seseorang adalah perwujudan batiniah yang menampakkan diri sehingga bisa kita lihat setelah terjadi peperangan dahsyat di dalam diri orang itu. Sebelum Suliono melakukan penyerangan di Gereja Santa Lidwina Bedog misalnya, telah terjadi peperangan panjang dalam dirinya. Tidak ujug-ujug pemuda tersebut melukai banyak orang. Begitu pula beberapa orang yang katanya “gila” dan menganiaya beberapa kiai dan tokoh agama di beberapa tempat.

Peperangan itu didalangi oleh dua aktor utama, akhlak thabī’iyah dan akhlak khalqiyyah. Thabī’iyah adalah karakter dasar atau bawaan lahir. Apakah seseorang itu diciptakan dengan sifat pemarah, pemalu, pemberani, cerdas, bebal, dan seterusnya. Antara satu orang dengan yang lain pasti mempunyai kapasitas yang berbeda di sini. Tidak mungkin kita menyamakan karakter dasar Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan kebanyakan manusia adalah sama. Pasti berbeda.

Imam Fakhruddin ar Razi berbicara detil tentang karakter dasar itu dalam Kitābul Firāsah. Salah satu konsep dasar yang dipakai adalah kiyas. Ketika kita mengamati Budi yang sedang marah, kita memeprhatikan bagaimana ekspresi wajah, warna kulit, dan guratan-guratannya. Semakin sering memperhatikan orang sedang marah, maka semakin detil pandangan kita terhadap ekspresi wajah yang sedang marah.

Dari kebiasaan meneliti ekspresi, seseorang akan bisa melihat dalam sekilas apakah Budi, Toni, dan Joni adalah orang yang bertipe pemarah, pemalu, atau pemberani. Wajah alami seseorang dikiaskan dengan wajah Budi, Toni, dan Joni yang sedang marah, malu, takut, dan seterusnya.

Bisa juga mengkiaskan suara. Ketika Budi takut, suaranya bagaimana. Toni sedang marah, nadanya bagaimana, dan seterusnya. Semakin sering mengklasifikasi suara, maka dengan sekilas seseorang akan bisa menilai apakah Budi, Toni, dan Joni adalah seorang penakut, pemalu, pembohong, atau pemberani.

Karakter dasar itu bawaan masing-masing individu, gharīzah (potensi dasar). Satu dengan lainnya berbeda. Bahkan dari guratan-guratan tangan, bentuk kepala, telinga, dan lainnya bisa menggambarkan karakter dasar seseorang. Orang Jawa pun tidak sedikit yang masih percaya dengan tanda semacam itu. Kalau misal si Budi lahir pada Selasa Legi, berkarakter pengecut, pandai, atau ketika punya dua unyeng-unyeng adalah anak nakal, dan telinga lebar atau bentuk kepala peang punya daya kecerdasan bagus. Di Arab juga demikian. Ada orang yang bisa “membaca” nasab dan nasib dengan melihat garis-garis tangan.

Sebenarnya tidak jauh dengan kejelihan seseorang dalam mengamati sifat dasar awan yang membawa hujan dan cerah. Atau mengamati hewan pemberani dan penakut, dan seterusnya. Begitu juga manusia bisa diamati sedemikian rupa.

Akan tetapi, thabī’iyah bukanlah segala-galanya. Dia harus berinteraksi atau bahkan bertempur terlebih dahulu dengan khalqiyyah, karakter bentukan sebelum menjadi “perbuatan”. Khalqiyyah ini bisa diraih salah satunya dengan pengetahuan dan lingkungan. Oleh karena itulah manusia dituntut untuk belajar dengan kekuatan hukum wajib dan mencari teman yang bagus. Seorang yang mempunyai watak dasar pemalu bisa berubah menjadi pemberani karena dilatih terus-menerus.

Oleh karena itu, al A’sya, salah seorang penyair terkenal pernah menantang seseorang yang pandai dalam memprediksikan rahasia garis tangan. Apakah kemudian dengan hasil prediksi itu,  al A’sya akan benar-benar celaka? Barangkali karena penyair ini menyadari betul bahwa ada faktor lain yang juga mempunyai pengaruh besar dalam menciptakan “perbuatan” dan “nasib”.

Latar belakang hadis fadhāiliyyah juga demikian adanya. Misal dalam satu kasus Nabi SAW bersabda, “amal yang terbagus adalah jangan marah”, tapi dalam kasus yang lain, “amal yang terbagus adalah dermawan”. Karena faktor kepribadian seorang sahabat yang diajak bicara mempunyai pribadi dasar yang berbeda. Karena suka marah, misalnya, maka yang terbagus adalah jangan marah. Kalau kikir sifat dasarnya, maka yang terbagus adalah dermawan, dan seterusnya.

Penambahan pengetahuan yang terus menerus dan lingkungan yang bagus mempunyai signifikansi yang besar dalam menyumbang pasukan untuk berperang dalam jihād akbar dalam diri manusia.

Nah, hasil persinggungan antara akhlak thabī’iyah dan khalqiyyah akan terlihat dalam perbuatan seseorang dalam keseharian itu. Jika memang benar thabī’iyah Suliono adalah pendiam dan ramah, maka secara teknis harusnya mudah berubah, begitu juga orang-orang “gila” itu, karena khalqiyyah adalah watak bentukan, dan akan berubah seirama dengan bertambahnya pengetahuan yang kemudian dibiasakan sehingga menjadi karakter baru. Walaupun, interaksi atau mungkin peperangan antara thabī’iyah dan khalqīyyah tidak akan pernah berhenti hingga ajal datang. Skor masih bisa terus berubah-ubah.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dan aktif di Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng

Exit mobile version