Oleh: Zainuddin Sugendal

Orang kampung Sebrang menganggap anak yang lahir di bawah Pohon Angsana di tepi sungai Sengon akan tumbuh menjadi orang sugih. Kebutuhan duniawinya tercukupi bahkan berlebih-lebih. Para perempuan hamil, suaminya akan menyiapkan tempat persalinan di bawah pohon itu. Sehingga ketika si hamil meringis-ringis ingin melahirkan, keluarganya tinggal mengambil tandu dan mendatangi rumah nenek dukun bayi untuk kemudian bersama-sama pergi menuju pohon Angsana tua yang tumbuh kokoh di hutan. Itu adalah pohon Angsana yang paling besar di hutan, akarnya kuat, dan tidak mudah tumbang, berbeda dengan pohon Angsana lain yang rawan sempal diterpa angin, orang Sebrang menganggap jika ada perempuan apes melahirkan di bawahnya, kelak si bayi akan tumbuh menjadi manusia yang peragu-ragu dan plin plan dalam menjalani hidup.

Bila Anda kebetulan ingin pergi ke sana (pohon Angsana yang ada di hutan di tepi sungai Sengon), Anda bisa melihat banyak bekas ari-ari kering bergelantung di ranting-ranting karena banyak perempuan yang lahir hanya menggelantungkannya ke ranting pohon Angsana. Bagi perempuan yang tidak begitu fanatik dengan mitos ari-ari yang digelantungkan di ranting tapi masih percaya, maka mereka akan membuat kuburan-kuburan kecil di bawah pohon itu untuk ari-ari dan bayi-bayi yang mati karena keguguran.

****

Sore menjelang malam, ketika alam kampung Sebrang mulai buram. Seorang perempuan bernama Zuja berjalan sedikit tergesa sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Rambutnya disanggul dan pakaiannya kebaya warna merah gelap, perutnya kembung karena ia sebenarnya sedang hamil tua. Ia pergi ke arah selatan menuju pohon Angsana yang berada di tengah hutan, ia ingin melahirkan bayinya di bawah pohon itu.

Majalah Tebuireng

Sebagai seorang perempuan, ia juga punya rasa takut pergi sendirian ke sana, tapi rasa perih karena mengandung janin tua hasil sembrononya dan karena sebuah harapan kecil nanti putranya menjadi orang yang kokoh dan akan kuat menjalani hidup, ia nekat pergi menerobos ke arah hutan yang gelap. Tidak ada yang tahu kapan ia melakukan hubungan gelap itu, hingga ia menjadi bunting, namun kelahiran bayinya akan menjadi sakral karena bertepatan dengan malam Jumat Legi yang menurut kepercayaan orang Sebrang pula, malam itu disucikan dari makhluk halus dan hantu-hantu. Tetapi tetap saja kesan suci malam Jumat Legi tidak mampu menghapus gelisah hamil kerena hasil hubungan gelap. Zuja harus kabur membawa isi perutnya ke hutan untuk menghindari hujatan penduduk kampung Sebrang, karena kelakuan binalnya bersama lelaki entah siapa dia!? Ia harus menanggungnya sendiri. Setan mendengar bisikannya tentang niat bunuh diri “aku lebih baik berakhir dari derita yang tak kuingini ini!” dalam hatinya berkecamuk jahanam. Sambil kakinya terus berjalan, di tepi sungai Sengon ia menatap ke arah seberang lalu melompati satu persatu batu sungai, arah yang ia tuju adalah hutan. Di sana juga hidup bermacam binatang, sedangkan ia adalah seorang perempuan yang sedang dirundung derita, derita maha dahsyat akibat kesembronoannya. Ia lebih takut pada aibnya sendiri dari pada sekedar lelucon para hantu dan jin atau binatang sekalipun.

Ketika Zuja sudah sampai di tengah hutan, melewati pohon akasia, bindeng, dan bodhi dan akarnya yang menggelantung, ia berdiri di depan pohon Angsana yang sakral sambil memegangi perutnya yang sedang nyeri, tangan kanannya meraih sobekan kain sarung yang menempel di batang pohon dan membeber di atas tanah di antara sisa-sisa sesajen, lalu duduk dengan menyandarkan tubuh berbalut kebaya itu ke dalam lekukan pohon Angsana dan mencengkramkan dirinya sendiri ke dalam posisi yang paling dalam dari kalbunya, ia meringis kesakitan dengan keringat mengalir deras.

Bayinya lahir tanpa suara tangis. Bayi itu kemudian ia gendong namun diam saja, keresahan perempuan itu menjalar melalui pori-pori kulit si bayi, tetapi masih diam, diam dalam keadaan terlelap. Kaki Zuja terlihat kotor dimakan lumpur, matanya sayu. Dalam kosong, ia menatap ke depan, ke arah kegelapan. Para jin menyangka ia akan membunuh dirinya sendiri di kegelapan hutan dan meninggalkan bayinya tergeletak di bawah pohon Angsana, dipasrahkan ke alam untuk dijaga atau dimakan hewan-hewan. Tapi Zuja tidak sebejat itu untuk tega melakukan tindakan macam meninggalkan mayat bayinya sendiri di dalam hutan.

Para lelembut di sana bisa melihat naluri kemanusian Zuja ketika ia pergi menggendong bayinya menuju ke dalam gelapnya hutan. Di sana ada sungai yang jernih airnya mengalir deras dan sebagian lagi diam menggenang tenang, di bawah permukaannya berkeliaran nila, mujair dan bader atau juga udang rawa. Di situlah Zuja berhenti berjalan dan berdiam diri. Zuja duduk di tepi sungai itu, meletakkan bayinya di atas batu. Kemudian meringkuk di sana, menangis dan meronggeng sendiri. Dalam alam yang petang, hutan dalam siang adalah gelap, dan Zuja rebah dalam malam. Si bayi masih lelap di atas batu. Bunyi hewan-hewan terdengar di telinga, para arwah datang menghampiri Zuja, sebagian mereka mengintip di balik pohon angsana dan akasia. Sebagian yang lain mengintip dari belakang batu hitam dan sebagian lagi pergi membawa kabar ke kampung Sebrang.

Setelah enam hari, barulah kabar itu menyebar di kampung Sebrang. Desas-desus tentang perutnya yang buncit menjadi menarik diperbincangkan ibu-ibu di sembarang tempat, di warung, di teras rumah, di lincak samping dapur dan di ladang. Semua mulut orang Sebrang isi dengan nama Zuja yang pergi dengan kondisi perut kembung. Siapa yang membikin dia hamil? Pertanyaan itu sepakat berada di kepala orang-orang Sebrang, terutama perempuan-perempuannya. Para perempuan Sebrang curiga laki-laki terdekatnyalah yang berani berbuat senonoh dengan Zuja, mungkin ia berbuat itu di warung tongkrongan atau di hutan sepulang dari ladang atau di rumah mereka ketika para istri pergi ke pasar. Maka tak jarang setelah kejadian hilangnya Zuja dalam keadaan perut berisi, para perempuan Sebrang langsung melabrak suaminya dengan tuduhan tidur dengan si Zuja.

Tuduhan itu membuat lelaki Sebrang memilih diam dan mematung saja, karena tuduhan serupa juga dialami lelaki Sebrang lainnya. Ada juga perempuan Sebrang yang mendadak bisu dan tidak berkata apa-apa pada suaminya, tapi menyingkirkan tangan si suami ketika menyentuh tubuhnya saat akan tidur, tindakan yang seolah mewakili serapah; jangan sentuh aku, kamu tidur sama Zuja sana!  Kemudian si perempuan berlalu di dalam selimut dan memunggungi suaminya.

Penduduk kampung Sebrang terlalu mengenal Zuja sebagai perempuan manis berlesung pipi tanpa suami. Dia sering terlihat berdandan dan duduk di warung Mak Tarmi. Zuja, perempuan kaya yang tidak bekerja. Gelang dan kalung dari emas asli menghiasi kuning langsat kulitnya, itu adalah warisan orang tua. Tawanya yang menggoda tidak akan hilang dari kepala para lelaki Sebrang. Suaranya sedikit berat dan suka meronggeng sendiri sehingga banyak laki-laki suka dengan suaranya itu. Zuja adalah perempuan yang mengundang keirian perempuan-perempuan Sebrang, banyak suami istri bertengkar karena nama Zuja muncul tiba-tiba dari mulut sang suami atau dari mulut istri yang dianggap keluar dari mulut suami, membuat pecah kaca cermin atau piring dan mangkok yang kebetulan berada di sekitar si istri.

Maka peristiwa hilangnya Zuja bukan hanya menyisakan curiga atas siapa yang menghamilinya, tetapi juga membuat hati para istri merasa tenang ketika suaminya nanti duduk di warung Mak Tarmi atau ketika para istri sedang pergi ke pasar. Tapi lagi-lagi misteri hilangnya Zuja dari kampung Sebrang dalam keadaan perut kembung membawa prasangka baru yang lebih miris dari yang terduga sebelumnya, bahwa dia akan melahirkan bayi seorang diri. Siapa yang akan membantu melahirkan bayinya di hutan? Bisakah dia mengeluarkan bayi dari dalam perutnya sendirian? Hampir mustahil, apa dia dan bayinya sudah dimakan binatang buas? Perihatin macam itu muncul belakangan, setelah berhari-hari Zuja tidak pulang. Sedangkan nyaris tidak seorangpun melihatnya saat pergi dari kampung menuju hutan. Zuja berkelebatan keluar dari rumahnya seorang diri dengan memakai kebaya dan rambut disanggul. Hanya kakek Marsalim yang sore itu menyapa saat dirinya melihat Zuja menangis sambil memegangi perut kembungnya, “mau ke mana Maghrib begini, Neng?” Namun Zuja terus pergi tidak menghiraukan suara sapaan itu. Dan Kakek Marsalim baru buka mulut bahwa dirinya orang terakhir yang melihat Zuja setelah kejadian hilangnya berlalu enam hari. Itupun setelah mendengar orang-orang sedang sibuk menanyakan keberadaannya.

Sehingga setelah enam hari itu, barulah orang-orang kampung Sebrang mencari Zuja ke hutan, mencari di tepi sungai Sengon dan di sekitar pohon Angsana yang sakral. Tidak ditemukan bekasnya sedikit pun, tidak ada bayi, tidak ada ari-ari, hanya sobekan kain sarung yang terbeber di atas tanah di antara sisa-sisa sesajen. Kain sarung itu pun mereka anggap jatuh tertiup angin dari batang pohon Angsana. Namun ketika seorang di antara mereka mencoba mengambil bekas persalinan itu, hutan mendadak mendung, ada kabut tipis aroma melati terasa menyentuh hidung. Mereka saling berpandang-pandang, ada pesan halus yang tidak bisa mereka pahami. Tatapan mata mereka kemudian menyimpulkan bahwa hutan kini tidak aman. Mereka gemetaran dan langsung bergegas pulang ke kampung Sebrang, menyebarkan berita tentang kabut aroma melati itu kepada orang-orang, sehingga kampung Sebrang menjadi terasa mencekam. Mereka mendadak tidak keluar rumah pada waktu malam. Para perempuan yang akan melahirkan hanya dipanggilkan dukun bayi. Mereka melahirkan di rumahnya sendiri, tidak ke hutan, tidak di bawah pohon Angsana. Sebab di sana, di dalam hutan itu ada satu wajah yang tidak ingin mereka kenang sampai anak turun mereka, wajah yang penuh kelam, wajah yang tertikam derita, wajah perempuan yang hilang dalam malam []