sumber ilustrasi: lpm-bhaskara

Empat belas tahun lalu aku adalah gadis kecil di sebuah desa. Orang bilang, aku adalah gadis yang malang. Kau tahu mengapa diriku masyhur disebut gadis yang malang? Berkakak idiot! Itulah mengapa aku sering menangis ketakukan saat kakakku Rohim sedang kumat. Meski selisih tujuh tahun dengannya, aku rasa ia adalah laki-laki manja yang menyebalkan. Sore dimana aku menyaksikan ia mengamuk…

“Gubraakk!.” Jatuh lagi sepeda kecil yang aku naiki beserta tubuh kecilku.

“Hahahaha dasar tolol! Kasih saja sepedamu itu untuk kakakmu yang idiot!.” Ujar seorang laki-laki brengsek. Bisanya menghina anak kecil yang sedang belajar menyeimbangkan diri naik sepeda.

“Ini O’im aja! Anah amu pegi!” (Sini Rohim saja! Sana kamu pergi!). Ucap kakkaku sambil merebut sepeda dari tanganku dan mendorong tubuhku.

Lisan kakakku tidak bisa bicara dengan jelas sejak usia belajar bicara, bahkan hingga hari ini.

Majalah Tebuireng

“Huehuehue…” Aku menangis kesal, sementara teman-teman sebayaku asyik mengelilingi lapangan jalur sepeda ditemani orangtua atau kakak mereka masing-masing.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan berlali secepat mungkin menemui ibuku dengan perasaan geram.

“Ibu.. ibu.., kakak merebut sepedaku!.” Aku menangis marah sambil ku pegang erat-erat daster ibu.

“Haduh.. lalu bagaimana kakakmu? Apakah kakak ikut marah?.” Wajah ibu mewakili kehawatiran anak-anaknya. Aku terdiam. Bibirku manyun dua senti. Dan aku menyeka air mataku dengan daster ibu.

“Ya sudah, Hana yang sabar, ya. Nanti ibu belikan sepeda baru kalau sudah ada uang.” Ibu menenangkan diriku sambil mengusap-usap kepalaku yang penuh debu sedari aku berlari tadi.

Tak lama dari itu…

“Assalamu’alaikum! Bu Musringah, Rohim, bu.. Rohim mengamuk di lapangan.” Suara tetanggaku yang nyaris beradu dengan napasnya yang terpenggal-penggal. Ia panik. Ibuku ikut panik.

Belum sempat menjawab salam, ibu langsung berlari menuju lapangan.Ternyata kakak mengamuk karena sebuah layangan. Setelah bosan naik sepedaku yang kakak rebut, ia beralih membeli layangan. Begitulah kakak, suka ikut-ikut temannya bermain, tapi tidak mengerti konsep permainannya. Saat layangan kakak putus, ia tidak terima, mengamuklah ia sejadinya-jadinya.

“Huaaakh!!..” Keras terdengar dari kejauhan suara kakak mengamuk bersatu padu dengan tangisan dan tangannya memukul-mukul dadanya.

Kakak duduk berguling-guling di tanah lapang, baju dan tubuhnya penuh debu dan pasir. Dengan hebat ia menghentakan kaki ke tanah berulang-ulang. Amarahnya memuncak membuat orang-orang heboh menonton atraksi gratis itu. Sedih rasanya, tapi hati ibu lebih sedih lagi.

“Ya Allah gusti, tolong anak hamba.” Ibu berlari menembus keramaian menghampiri kakak dengan peluh keringat dan perasaan khawatir, takut, sedih, bercampur aduk.

Kerudung lusuh ibu ditarik-tarik dengan kuat oleh kakak. Kau tahu kan betapa kuat energi laki-laki saat emosi?. Ibu berusaha sekuat tenaga menenangkan kakak dengan caranya yang luar biasa. Ibuku begitu sabar dan tegar.

“Hana, tolong belikan layangan baru.” Aku diperintah ibu membeli layangan baru untuk kakak.

Secepat kilat aku berlari membeli layangan baru. Namun salahnya aku, alih-alih membeli layangan dengan gambar yang sama, aku membeli dengan gambar yang berbeda. Aku merasa bersalah karena membuat kakak semakin marah. Sementara ibu berupaya menangani kakak yang tengah mengamuk di lapangan.

 Dan akhirnya energi kakak telah habis. Ibu mengajaknya pulang. Dengan penuh kasih sayang, ibu memandikan dan membersihkan tubuh kakak yang penuh debu dan sedikit luka akibat kerikil yang menggores tubuh kakak, juga menggores hati ibu. Ibu, betapa kuat hatimu.

Hari berganti..

“Anaa.. O’im mau akan pupuk! Beli anah e waung!.” (Hanaa.. Rohim mau makan kerupuk, beli sana ke warung!). Teriak kakak memanggilku.

“Shodaqollahul’adzim.. Iya, sebentar.” Aku yang sedari tadi sedang mengaji di kamar langsung ku tutup mushaf al-Qur’an dan langsung menyahut panggilan kakak.

Aku mengambil uang lima ribu dari tangannya.

Namun, setelah sampai warung. Uang tadi jatuh. Entah di jalan atau dimana. Sungguh aku lupa. Aku yang mulai panik kembali berjalan menuju rumah. Tuhan.. dadaku sesak saat melihat kondisi rumah.

Ternyata kakak hilang kesabaran menunggu kerupuk. Dengan geram ia menonjok cermin yang baru ayah beli. Tangannya berdarah, bau anyir dimana-mana. Lalu membanting kipas angin. Hancur terbelah dua. Lalu ia menyobek celana dan baju.

Setelah setengah jam mengamuk, akhirnya kakak mau makan. Tangan kanannya dibalut perban putih oleh ibu. Tangan itu yang menjelma cermin menjadi serpihan mengerikan.

“Ya Allah.. boleh kah aku memilih berganti kakak. Boleh kah aku memilih kakak yang normal saja, ya Allah. Kakak yang bisa menyayangiku.” Suara kalbu bergema memenuhi ruang batinku sambil kedua tanganku sibuk membersihkan serpihan cermin di lantai.

“Hana itu luar biasa, ibu sangat menyayangi Hana dan juga kakak. Nanti kalau Hana sudah besar, dan ibu telah tiada. Ibu titip kakak, ya.” Tiba-tiba suara ibu memecahkan pikiranku. Seolah ia mendengar gema kalbuku.

Senyum ibu bak taman bunga yang mekar. Meninggalkan semerbak aroma kasturi. Meski lelahnya ibu di dunia ini tak berkesudahan, tapi aku yakin bahwa Allah Maha Penyayang dan begitu besar kasih sayang-Nya kepada ibu.

Sudah dua minggu kakak tidak masuk sekolah. Pihak sekolah menelpon ayah menanyakan kondisi kakak. Padahal baru enam bulan kakak bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Serang, Banten. Tapi kakak sudah bosan. Dan memilih bermain bersama temannya yang bernama Trisno. Rupanya Trisno dan kakakku satu cyrcle. Dua laki-laki itu menjadi sahabat karib. Sering bermain dan lupa pulang. Seharian ibu dan nenek mencari-cari. Panik, khawatir.

Sampai pada satu hari..

“Emak, Rohim karo Trisno durung balik. Ning ndi nggelatine?.” (Emak, Rohim dan Trisno belum pulang. Dimana kita mencarinya?). Dengan bahasa Jawa Serang, ibu mengadu pada nenek dengan suara parau. Wajahnya letih. Kantung mantanya sayup. Tapi harapannya tak pernah hilang.

“Saiki wes bengi. Isuk subuh numpak kereta nggelati Rohim.” (Sekarang sudah malam, besok subuh naik kereta mencari Rohim). Jawab nenek yang juga khawatir. Cemas.

Kakakku hilang. Sudah tiga hari kakakku dan temannya itu tidak pulang. Dan ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Mereka berdua sudah sering hilang. Hari ini Trisno yang pulang lebih dulu dan kakakku yang ditinggal. Tapi Trisno tidak bisa bertanggungjawab.

Dengan membawa selembar foto kakak, harapan ibu dan nenek adalah harapan setiap orang tua pada anaknya. Kembali pulang dengan selamat. Berharap foto itu dapat menjadi kompas bagi setiap orang yang melihat jejak kakak. Ibu dan nenek bertanya-tanya kepada setiap orang di jalan, di pasar, di terminal, di stasiun.

“Ngapunten, bapak ibu. Ada kah yang melihat anak dalam foto ini?.” Sambil menunujukkan foto kakak, ibu bertanya pada orang-orang dengan penuh harap. Begitu juga nenek.

Tidak terasa, sudah dua minggu kakak hilang. Rumah terasa sepi. Tak mendengar suara kakak. Tak melihat sosok yang selalu meramaikan rumah. Ternyata kita akan merasa kehilangan bila seseorang telah pergi dalam hidup kita.

Di malam-malam yang panjang, aku selalu berdoa dalam munajatku kepada Tuhanku.

“Ya Allah.. Jika kakakku masih hidup, tolong jaga ia dimanapun ia berada. Berilah ia makan ketika ia lapar, berilah ia minum saat ia merasa dahaga, berilah ia petunjuk jalan pulang. Maafkan aku ya Allah.” Dalam munajatku, tak sadar berlinang air mata di pipiku.

Setelah dua minggu hilang, kakak kembali pulang. Tetangga dan masyarakat sekitar menyambut kedatangan kakak. Rumahku penuh sesak orang-orang berkumpul ingin melihat kondisi kakak. Tak luput iring-iringan sholawat pemuda masjid turut menyambut riang gembira. Pasalnya, nenekku adalah orang yang cukup terkenal di masyarakat. Nenekku memiliki keahlian dalam proses persalinan. Membantu para ibu kampung yang hendak melahirkan bayi. Membantu tanpa pamrih. Oleh karena itu, nenekku dikenal baik di masyarakat.

“Alhamdulillaah gusti.. Rohim putu mbah dah balik ke rumah sehat wal afiyat.” (Alhamdulillah gusti.. Rohim cucu nenek sudah kembali ke rumah dalam keadaan baik). Tangis haru nenek memeluk erat tubuh kakak yang sudah dua minggu tidak mandi. Aroma badan kakak sungguh tak sedap. Tapi kehadirannya memberi kehangatan.

Saat aku sudah duduk di bangku menengah pertama, kakakku bahkan masih mengompol saat tidur. Maka setiap pagi sebelum berangkat sekolah, aku harus menjemur kasur kakak.

Di sekolah, aku bukan hanya sibuk belajar, tapi juga jualan. Jualan makanan risoles isi kentang dan wortel, ada juga varian mayones dan telur rebus. Aku mengambil dagangan itu dari tetangga. Hasil penjualan risoles aku mendapat dua puluh persen yang masuk ke kantong jajanku. Tapi lagi-lagi bila kakak mengamuk meminta sesuatu sementara ibu sedang tidak punya uang, uangku jajan akulah yang menjadi sasaran. Untuk itu, aku belajar berpuasa sunnah dengan tujuan lain agar bisa menghemat uang jajan.

Di depan pintu kelas, aku berdiri dan melihat teman-teman diantar ke sekolah oleh kakak-kakak mereka. Mereka saling canda tawa. Wajah-wajah mereka menyimpulkan kebahagiaan. Indah nian!

“Eh.. Han! Besok aku izin ya.” Tasya memecah lamunanku sambil merangkul tubuhku dari belakang.

Ia meminta izin tidak masuk sekolah. Sudah semestinya sebagai ketua kelas, aku membuatkan surat izin untuknya.

“Wiih, mau izin kemana nih. Tumben kamu Tasya, biasanya nggak pernah izin. Anak rajin, hehehe.” Candaku pada Tasya melepas senyumku di pagi hari.

“Jadi, besok itu aku mau mengantar kakakku ke bandara. Ia lolos seleksi beasiswa student exchange ke Jepang.” Ungkap Tasya dengan sumringah.

Hatiku bahagia melihat teman bahagia, namun juga terpukul mengingat kakakku.

“Wiiih kereen. Selamat ya buat kakakmu.” Takjubku mewakili balutan nasibku.

“Terimakasih ya ketua kelas kita yang selalu positive vibes. By the way, kakakmu kuliah atau sudah bekerja, Han?.” Tanya Tasya padaku yang membuat aku mencari-cari jawaban aman.

“Eh, aku kebelet pipis. Aku ke toilet dulu, ya.” Izinku mengalihkan pembicaraan.

Malam itu aku mengadu kepada Allah, Tuhanku.

“Ya Allah ya Tuhanku, Engkau Maha Adil. Aku percaya pada janji-Mu bahwa Engkau tidak akan membenani seseorang di luar batas kemampuannya. Tolong kuatkan hamba atas seorang kakak yang Engkau titipkan dalam hidupku.” Derai tangis hatiku kepada yang maha kuasa.

Aku teringat untaian hikmah seorang guru di kelas…

“Imam Syafi’i pernah berkata: Jika engkau tidak tahan menahan lelahnya belajar, maka engkau akan merasakan pahitnya kebodohan.” Ungkap bu Ani mengawali mata pelajaran pendidikan agama Islam. Membuat semua murid tergugah mendengar kalam itu.

Mulai hari itu, aku semakin semangat dalam belajar. Aku mendapat juara kelas secara pararel. Banyak prestasi yang aku raih diantaranya juara dua baca puisi bahasa Inggris, juara satu musabaqah tilawah al-Qur’an, juara satu cerdas cermat, dan masih banyak lagi.

Aku semakin yakin, bahwa kehadiran kakak dalam hidupku membawa banyak kebaikan. Dan aku semakin yakin juga bahwa setiap orang pasti memiliki kesempatan meraih prestasi tanpa melihat latar belakang keluarga.

Selepas sholat malam, air mataku menetes pada lembaran mushaf tepat pada ayat “Fadzkkuruni adzkur kum wasykuruli wala takfurun.” (Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah mengingkari nikmatku). Aku semakin yakin bahwa janjki Allah itu benar.

Sejak saat itu, aku memandang kakakku sebagai ladang pahalaku di dunia. Terimakasih, kak. Kehadiranmu mengubah hidupku menjadi lebih berwarna.

Pelajaran yang bisa diambil dari kisahku:

Bahwa apapun yang Allah titipkan dalam hidup kita pasti yang terbaik. Seorang kakak seperti kakakku bisa menjadi jalan surga bagi keluarganya. Dan tetaplah berhusnudzhon kepada Allah karena Dia adalah sebaik-baik pembuat skenario dalam setiap perjalanan hidup hamba-Nya.

*Peunulis: Alfiya Hanafiyah, Mahasantri Tebuireng, asal Serang Banten.