Sumber gambar: www.cronyos.com

Oleh: Fathur Rohman*

Seorang pemuda dan pemudi ketika beranjak dewasa dan menginjak usia menikah, mereka memiliki ketertarikan kepada lain jenisnya. Bagi yang mendapat hidayah, mereka akan menikah. Hampir semua orang yang beragama Islam ketika ditanya; kenapa kamu mau menikah dengannya, maka jawabannya selalu agamis, diantaranya adalah karena aku ingin mengikuti sunnah rosul, karena ingin mencari ridha Allah, dan lain sebagainya.

Namun ketika pertanyaan itu dipertajam; apa maksudnya mencari ridha Allah dan mengikuti sunnah rosul, tak banyak yang bisa menjelaskan, terkadang ada yang dengan jawaban sederhana; maksudnya nabi menikah, maka saya ya menikah.

Ketika orang tersebut ditanya lagi; apakah kamu mencintai calon pasanganmu, mayoritas jawabannya adalah iya saya mencintainya, makanya saya mau menikah dengannya, sebagian lagi beralasan; saya tidak mencintainya tetapi saya percaya pilihan orang yang saya hormati itulah yang terbaik, dengan kata lain ia menikah hanya ingin membuat orang yang dihormatinya senang dan tidak marah.

Menikah karena cinta sering kali datang diawali oleh ketertarikan dari sebuah pengamatan, baik mengamati kecantikannya/ketampanannya, kekayaannya, keturunannya, kehormatannya atau yang lainya, kemudian muncul perasaan menyukai yang sangat dan ingin memilikinya yang terkadang mengabaikan dan melanggar aturan main dalam syariat Islam.

Majalah Tebuireng

Demikian juga menikah karena menuruti orang lain yang acap kali dilatarbelakangi karena ingin membalas jasa kebaikan, entah jasa kebaikan itu berupa telah membesarkannya, membiayayai hidupnya, mendidiknya, atau yang lainnya, sehingga niatnya melangsungkan pernikahannya dengan pilihan orang lain tersebut hanya untuk membalas jasa kebaikannya.

Kedua pernikahan yang dilatarbelakangi oleh dua hal di atas biasanya ketika sudah berumah tangga mendapatkan ujian berupa urusan hati.

Pernikahan dengan alasan pertama biasanya setelah berumah tangga, ia melihat ternyata di luar sana banyak orang yang lebih cantik/tampan, lebih kaya, lebih terhormat dan lebih lain lainya dari pada pasangannya.

Untuk yang pernikahan karena alasan menuruti orang lain, biasanya ujiannya berupa ternyata sosok pasangan yang dipilihkan untuk dirinya bukanlah sesorang yang sesuai dengan harapannya, sehingga ia merasa tidak ikut bertanggung jawab atas pernikahannya, dan menyalahkan orang-orang yang dulu menyuruhnya menikah dengan pasangannya tersebut.

Bukan ujian atau masalah namanya jika tidak ada solusinya, untuk ujian yang pertama Rasulullah sudah mengajarkannya dengan beberapa cara; pertama, tundukkan pandangan dan menahan nafsunya sebagiamana ayat Al Quran:

لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’.”(QS. An-Nur [24] : 30).

Kedua, lihatlah orang yang di bawahmu (lihatlah orang yang kenikmatannya di bawah kenikmatan yang engkau miliki), agar senantiasa engkau bersyukur. Sebagaimana hadits di bawah ini:

إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه

“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan untuk ujian kedua Allah telah menjelaskan bahwa setiap amal akan dimintai pertanggung jawaban. Amal dalam hal ini adalah termasuk persetujuan seseorang ketika mau dijodohkan pada waktu pernikahan, ketika ia menikah, maka secara dhohiri ia telah setuju, dan ketika berumah tangga ia mendapatkan ujian seperti itu, maka ia tidak bisa serta merta menyalahkan orang orang yang dulunya menasihatinya, karena setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sehingga diantara solusinya adalah bertanggung jawab atas sikap setuju/menurutnya dulu dengan cara senantiasa memperbaiki diri dan pasangannya untuk senantiasa saling menjalankan hak dan kewajibannya masing masing. Sebagaimana ayat di bawah ini:

كُلُّ نَفْسٍۭ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ ﴿٣٨

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Q.S.74:38)

Selain itu, solusi sederhana lainnya adalah suami dan istri meminta nasihat kepada orangtuanya, para kerabatnya, para guru-gurunya, para ulama yang ahli dalam bidangnya agar suami istri tersebut mendapatkan pemahaman yang benar tentang arti sebuah pernikahan dan bagaimana cara mengarugi rumah tangga yang baik, dan tidak semakin tersesat. Sebagaimana ayat di bawah ini:

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Semoga Allah senantiasa menjadikan keluarga kita sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta selalu dalam naungan rahmat dan ridha Allah. Amin


*Penulis adalah Dosen Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang.