(Sumber: dunia.news.viva.co.id)

Oleh: Nurul Insani*

Gelap hampir telan seluruh senja. Langit kejinggaan semakin hilang. Pelan-pelan sang rembulan beranjak menduduki singgasananya. Berteman ribuan bintang, cukup mengahapus kesepiannya di langit. Sesekali kutengok lewat jendela usang kamar. Indah. Kemerduan si muadzin menghapus ketakutanku ‘kan malam. Sebelum turun dari tangga menyapa subuh dan menyambut pagi nan cerah, ku sempatkan melihat wajah dalam bingkai foto yang terpajang di dinding kamar.

Aku Nai, seorang yang terbiasa dengan kesederhanaan. Aku peneliti aliran radikal lulusan pesantren di Yogyakarta. Setiap usai menyesaikan penelitian, wajah dalam foto ini selalu mengundangku tuk melihatnya berlama-lama. Tatapan kerinduan penuh dengan kenangan, mengembalikan putran ingatan pada saat itu, belasan tahun lalu.

Saat dimana aku hanyalah santri putri di sebuah pesantren di Yogyakarta asal Bandung yang hidup bersama ayah merangkap sebagai ibu sejak 14 tahun dengan tatapan fana dunia. Aku tidak sendiri. Kakakku, Zainul membenciku selama belasan tahun. Menurutnya akulah penyebab ibu meninggalkan kami. Dari jutaan detik, sekali ia tak pernah berkata halus. Bahkan mengobral cerita dusta di depan ayah. Walaupun sungguh keji hinaannya, tapi aku selalu mengalah. Kelahiranku memang merenggut nyawa ibu.

Rak buku tertata rapi. Tampak bersih, mengalahkan perpustakaan kota yang biasa kukunjungi. Seminggu liburan membuatku rindu ‘kan kegaduhan teman-teman. Sembari mengemasi barang-barangku ke pondok, aku menatap koleksi buku ayah. Keren. Seluruhnya menjelaskan Islam ahlussunnah wal jama’ah. Maklum ia adalah tokoh agama di desa. Ia begitu khawatir jikalau anaknya terjerumus aliran sesat yang kian hari makin marak. Oleh karenanya, beliau memintaku mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Sungguh menyenangkan. Walaupun masaku di pondok tak lama lagi, begitu indah aku dapat berkumpul ria dengan kawan-kawan.

Majalah Tebuireng

Selama ini aku kemarau akan kasih dan cinta wanita mulia. Hatiku terlunta-lunta setiap melihat malaikat kecil menggelayut di tangan bunda. Suatu hari saat seorang wanita bercadar bernama Sayyidah asal Nganjuk sedang menggendong bayi mencoba mengenalku, batinku terenyuh, ngelantur tak waras. Akankah aku bisa seperti bayi itu, mendapatkan kehangatan seorang bunda yang selama ini kurasa beku? Tapi aku wanita yang sedari kecil pantang air mata. Sebab itulah, aku mampu menyunggingkan senyum pada wanita itu.

Siang ini, ayahku akan datang ke pesantren untuk menghadiri haflah akhiris sanah. Ia berencana menginap di salah satu temannya yang tak jauh dari pondok. Entah kenapa, jantungku berdetak begitu cepatnya. Mungkin karena sosok yang benar-benar kujunjung tinggi akan berkunjung. Belasan tahun aku mencoba menanam yang terbaik, agar kelak ia dapat turut menuai kebahagiaan esok. Persis seperti kiaiku, wejangan-wejangan ayah membekali keislamanku yang masih belia.

“Nai, jika nanti kau lulus dari pondok dan melanjutkan studi, jangan sampai salah jalan dan mendukung aliran-aliran radikal. Peganglah erat ajaran ASWAJA! Kalau sampai kau langgar, wah jangan harap ridho ayahmu ini ya!”

Begitulah ayah. Selalu menjunjung tinggi ajaran kami. Besar jasanya tak ternilai. Biarpun gak ada wanita yang menghadiri acara pentingku, aku punya ayah. Yang keikhlasannya melebihi wanita di dunia. Ketegarannya melebihi laki-laki yang pernah ada. Bahkan gombalan penyair tak mampu melukiskannya.

“Kapan ayahmu datang?,” tanya Shofiyah sambil mencari-cari buku harian di dalam lemari.

“Entahlah, beliau bilang akan menelponku jika sudah sampai stasiun. Tapi hingga sore ini  belum datang juga.”

“Ah, macet kali. Oh ya Nai, tau gak? Tadi pas kamu tidur, ada suara ledakan dari arah utara.” Tutur Shofiyah.

“Mana ada sepur macet. Haduh aku nggak dengar. Suara apa?”

“Ya mana kutahu. Tadi ustadz-ustadz mencoba kesana, mungkin aja sedang memeriksa apa yang terjadi,” kata Shofiyah sok tahu.

“Semoga aja gak ada apa-apa,” sambil mengangkat kedua tanganku layaknya berdo’a.

Tiba-tiba ada seorang ustadz menghampiri kami dan mengabarkan bahwa tepat pukul satu siang tadi telah terjadi bom bunuh diri di stasiun Yogyakarta. Polisi telah memeriksa rekaman CCTV area tersebut dan berhasil menemukan identitas pelaku. Seorang saksi mata mengatakan bahwa perempuan belasan tahun tersebut sempat ia jumpai di pasar setempat. Berdasarkan informasi yang terkumpul, ia bernama Sayyidah, warga asal Nganjuk yang menginap di salah satu Pesantren dengan motif program pengabdian.

Seorang rekannya yang sempat terekam kamera mengaku bahwa mereka berdua adalah pengikut salah satu aliran radikal, ISIS. Sayyidah bersedia melakukan bom bunuh diri dengan tujuan mengombang-ambingkan pemerintah Indonesia. Sampai sekarang tim SAR hanya menemukan tiga korban yang masih dapat diidentifikasi biodatanya.

Layar televisi milik pondok terus mengulas berita tindakan teror itu, seakan taka da acara lain yang pantas disiarkan. Hingga satu jam belum jelas selain tiga nama itu, nama-nama korban yang teridentifikasi. Lima menit kemudian, salah satu televisi swasta merilis data jumlah korban meninggal dan luka-luka. Disebutkan 210 orang meninggal paling banyak adalah penumpang Kereta Api Majapahit dari Bandung ke Yogyakarta gerbong 2, karena pelaku diketahui adalah calon penumpang kereta tersebut dengan tujuan Solo. Saat masuk  baru sampai di pintu garbong ia meledakkan diri.

Tim identifikasi telah merilis 20 orang korban meninggal. Satu persatu nama-nama yang disuguhkan televisi itu aku baca. Tidak, aku baca berulang-ulang, rasanya ingin aku pause dan ku dekatkan mataku sedekat mungkin dengan layar. Bagaimana tidak, tepat nomor 19 dari 20 nama itu tercantum nama, Ahmadi Thahir asal Bandung, nama yang sama dengan ayahku. Ku ingat-ingat lagi sms dari Ayah kepada Ustadza Hajar, gerbong 2 kereta api Majapahit Jakarta-Surabaya. Belum percaya, aku datangi rumah sakit terdekat yang menjadi persinggahan para mayat itu. Shofiyah yang tahu tingkahku aneh bergegas mengikutiku keluar area pondok tanpa ia tahu apa yang terjadi sebenarnya padaku. Satpam pondok hanya melongo melihat dua santri putri lari tunggang langgang tanpa alas kaki.

Badanku terkulai lesuh. Jiwa ini tak sanggup menopang apa yang terjadi. Tapi ku tetap mengangkat kakiku. Memerintahnya berlari secepat mungkin. Ku kejar rumah sakit sejauh satu  kilo dari pesantren. Tak mudah tahan tetesan air mata. Peluh aku dibuatnya. Sesak dada kurasakan. Sesampai disana, orang sudah berkerumun ingin memastikan nasib keluarga mereka. Setelah lolos pemeriksaan data, akhirnya aku bisa masuk. Ingin rasanya ku acak-acak rumah sakit ini. Porak-porandakan seisinya. Hingga aku dapat menemukan ayah walau tak utuh.

“Dimana korban bom bunuh diri tadi siang?”

“Mereka di kamar mayat. Letaknya di pojok blok anggrek,” jawab seorang suster.

Dunia penuh batasan. Sabarku berpuncak. Tegarku di ujung garis. Kehidupan sesingkat tarikan nafas. Selalu berhenti di akhirnya. Tanpa menoleh ke garis start. Lalu aku hanyalah kenangan. Hidup sendiri bersama duri-duri mawar dan kaktus yang kau sisakan untukku. Tinggallah sebentar. Cukup lima menit. Tidak! Satu menit. Tidak! Satu kedipan mata. Jiwaku akan sadar hanya melihatmu bergerak. Begeraklah! Sungguh panas hatiku melihat sosok yang kukagumi membunuhmu. Dalam diam aku menjerit. Seraya lontarkan sumpahku perlahan.

“Aku Nailul Muna. Di depan jasad ayah kubersumpah. Maka kuingatkan kalian, malaikat. Catatlah janjiku! Dan kau para setan, janganlah tinggalkan tempat ini! Sebab sumpahku kan menyayat habis dirimu. Biarlah aku berjanji, tak kuijinkan kaum radikal mencoreng negeri ini. Membunuh habis hamba-hamba-Mu. Kan kusebarkan ahlussunnah wal jama’ah yang tak kenal kekerasan. Cinta damai. Kefanatikannya jauh darimu. Akan kuajarkan pada remaja penerus bangsa bahwa cinta tak dapat dipercaya satu dua kali pandang. Tak bisa diperoleh cara instant. Sebab mata tak kujamin kejujurannya. Dan suara yang selalu berdusta.”

Sejak itu, radikalisme tak pernah punya tempat di hati. Aku meneliti jaringan mereka mulai dari yang di Nusantara hingga mancanegara. Setiap aku sukses mengungkap satu jaringan aliran manusia-manusia sok paling beragama itu, ku sempatkan menatap wajah ayah melalui foto sambil tersenyum bangga, dalam hati berkata, “Satu lagi jaringan yang merengut nyawamu telah adinda temukan yah.”

Menjadi peneliti telah mempertemukanku pada Muhammad Fahri Abdullah, suamiku sekarang yang juga adalah anak korban kebengisan teroris. Ia adalah wartawan sebuah televisi berita swasta. Kami sama-sama saling mendukung menemukan jaringan demi jaringan terorisme. Kakakku, Zainul semakin benci denganku hingga sekarang. Ia menganggap aku jugalah yang menjadi penyebab Ayah meninggal. Naif memang pemikiran seperti itu, tapi sudahlah, mungkin ia ingin berpisah denganku lebih cepat. Lima tahun lalu, ia menjadi tentara bertugas di Sulawesi Utara yang sedang berjuang membasmi jaringan teroris Filiphina. Kami sama-sama anti teroris, namun dengan jalan yang berbeda.

Ayah, dan seluruh korban kebiadaban terorisme adalah bukti bahwa agama ini telah dijual kepada para pembunuh dengan menggunakan doktrin “jihad fi sabilillah” dan “isy kariman au mut syahidan”. Barangkali inilah yang dikatakan Allah dengan “Wa laa tasytaru bi ayati tsamanan qalilan (jangan menjual ayat-ayatku dengan harga yang murah)”. Ayah, putrimu tak akan pernah menyerah.


*Mahasiswi Keperawatan Gigi Poltekkes Kementerian Kesehatan Surabaya