Makam Imam al Junaid al Baghdadi (sumber: http://pengumpulhikmah.blogspot.com)

Dalam bidang tasawuf, golongan Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) memegang teguh prinsip-prinsip dari dua tokoh besar sufi, yaitu Imam al Junaid al Baghdadi dan Imam al Ghazali. Namun dalam hal ini, penulis akan memaparkan empat alasan mengapa aliran Aswaja mengambil konsep sufistik dari imam besar al Junaid al Baghdadi yang dijuluki Syaikh at Tha’ifah as Sufiyyah wa Sayyiduha (Tuan Guru dan pemimpin kaum sufi).

Nama lengkapnya adalah Abu al Qasim al Junaid bin Muhammad bin al Junais al Khazzaz al Qawariri al Nahawandi al Baghdadi. Dari namanya bisa diketahui bahwa Imam Junaid berasal dari Baghdad dan diketahui wafat  pada 297 H/910 M. Dalam kesehariaannya Imam Junaid bekerja sebagai pedagang kain sutera. Ia mendapat kedalaman ilmu di bidang tasawuf dari gurunya, yaitu Sari bin al Mughallis al Saqathi (w. 253 H/876 M), seorang tokoh sufi terkemuka yang juga saudara kandung dari ibunya, alias pamannya.

Sejak usia 20 tahun ia mampu mengeluarkan fatwa, dan bahkan jauh sebelum itu, ketika berusia tujuh tahun, ketika ditanya tentang definisi syukur, secara tepat ia menjawab: “Jangan sampai anda berbuat maksiat dengan nikmat yang diberikan Tuhan.”

Menurut sejarawan, terdapat empat faktor mengapa madzhab sufi yang dibangun Imam al Junaid dijadikan sebagai acuan dan standar dalam konsep tasawuf ahlussunnah waljama’ah. Diantaranya (1) konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah (2) konsistensi terhadap syari’at (3) kebersihan dalam akidah (4) ajaran tasawuf yang moderat.

Pertama, konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah. Kecerdasannya di bidang studi ilmu Al Quran, hadis dan fikih memang tidak perlu diragukan lagi. Ia membawa pengaruh positif terhadap perkembangan ilmu keagamaan pada saat itu. Di antara perkataan al Junaid yang terkenal dan dijadikan kaidah kalangan sufi adalah kalimatnya yang berbunyi: “Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun dengan pondasi al Kitab dan Sunnah. Barangsiapa yang belum hafal Al Quran, belum menulis hadis dan belum belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf.”

Majalah Tebuireng

Kedua, konsistensi terhadap syari’at. al Junaid membangun konsep tasawufnya di atas pondasi konsistensi terhadap syari’at yang selalu dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, tasawuf tidak bisa diikuti sebagian saja sementara sebagian yang lain tidak. Tasawuf harus diikuti secara komprehensif.

Konsistensi pada syari’at juga dicontohkan sendiri oleh al Junaid. Abu bakar al ‘Athawi berkata, “Al Junaid tidaklah berhenti shalat dan membaca Al Qu’an, sedang beliau dalam keadaan sakit keras, hingga pada waktu beliau menghembuskan nafas yang terakhir, telah dibacanya 70 ayat dari surat al Baqarah sebagai ulangan membaca Al Quran kesekian kalianya dalam keadaan sakit.”

Ketiga, kebersihan akidah. Imam al Junaid membangun madzhab di atas pondasi akidah yang bersih, yakni akidah Ahlussunnah Waljama’ah. Tidak sedikit orang pada masanya yang terjerumus pada akidah menyimpang seperti akidah hululiyah (tuhan menempati makhluk-Nya), akidah mubahiyyah (membolehkan semua larangan syari’at, yang luarnya Islam namun batinnya menyimpang dari pokok-pokok agama).

Akidah yang diajarkan dalam tasawuf al Junaid merupakan ajaran akidah yang simpel, mudah dicerna, dan bersih dari tajsim, tasybih, hulul dan ibahi. Salah satu pernyataan al Junaid yang populer dalam soal akidah adalah salah satunya ketika ditanya tentang tauhid, ia menjawab, “Tauhid ialah membedakan Dzat yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya yang baru.” Jawaban ini mengisyaratkan bahwa akidah Ahlussunnah Waljama’ah  menganut tanzih (menyucikan Tuhan dari menyerupai makhluk-Nya) dan jauh dari tajsyim dan tasybih.

Keempat, Tasawufnya yang moderat. Tasawuf yang dibangunnya ialah tasawuf moderat, yang merupakan ciri khas ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Dalam hadis dikatakan, “Sebaik-baiknya perkara adalah yang moderat (khair al umur ausathuha)”. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra juga mengatakan: “Ikutilah kelompok yang bersikap moderat, yang dapat diikuti orang-orang dibelakangnya dan menjadi rujukan orang-orang yang berlebihan (ekstrim).”

Berdasarkan keempat alasan tersebut, menunjukkan bahwa tasawuf Aswaja dari tasawufnya Imam al Junaidtidak hanya berkonsentrasi pada perlakuan syariat saja, namun juga berkontribusi aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada sesama manusia.


*Disarikan oleh Rif’atuz Zuhro dari Buku Khazanah Aswaja