Judul Buku: Memahami Makna Al Qur’an

Penulis: KH. Mustain Syafi’i

Penerbit: Pustaka Tebuireng

Cetakan: I, 2014

Tebal: 80 Halaman

Majalah Tebuireng

Resensor: Ahmad Faozan*

Isu masalah berbau agama selalu memberikan respon publik secara cepat. Misalnya, kemunculan seseorang yang memiliki nama, ‘Tuhan’ menghebohkan jagat media. Larangan menggunakan nama ‘Tuhan’ sebagai nama orang sebenarnya merupakan masalah klasik. Ketidaktahuan ‘Tuhan’ dibalik pemberian namanya memantapkan dirinya untuk tidak mau mengubah sesuai masukan para ulama. Semakin sempurna seiring dengan orang-orang yang baru belajar ilmu agama mencoba ikut andil memberikan jawaban. Kegaduhan di wilayah sosial media, seperti, twitter, facebook, dll tak terhindarkan.

Pemangku otoritas keagamaan, seperti para kiai dan ulama untuk mengeluarkan petuahnya secara sigap amat dibutuhkan. Dan melebarkan sayapnya berdakwah, dari dunia nyata ke dunia maya menjadi menemukan relevansinya. Selain itu, mampu mengkontekstualisasikan ajaran agama yang sesuai zamannya. Mengingat, seorang penafsir di tuntut untuk kreatif menafsirkan ajaran agama, tanpa mengurangi subtansi yang terkandung di dalam kitab suci.

Berkembangnya berbagai persoalan umat manusia secara tak langsung juga memaksa para ahli tafsir kita untuk mampu mendekatkan pesan-pesan Tuhan dengan fakta ilmiah. Jika tidak, agama tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Bertafsir sendiri merupakan sebuah upaya untuk menguak pesan Tuhan yang tersembunyai dalam sebuah wahyunya. Kitab suci umat Islam yang memiliki keunikan tersendiri secara bahasa menjadikan setiap orang kesulitan dalam memahaminya. Tak dapat dibayangkan, jika ada sebuah ayat yang kenyatannya tidak sesuai dengan konteks. Disinilah letak, kepiwaian ahli tafsir.

Lewat media pesantren Tebuireng, KH. Mustain Syafi’i, pakar Tafsir Al Qur’an ini berupaya memberikan pencerahan kepada umat. Melalui ruang terbuka ‘Rubrik tanya jawab’ di Majalah Tebuireng masyarakat bebas mengajukan beragam pertanyaan keagamaan kepadanya. Misalnya, persoalan mengenai Al Qur’an sebagai petunjuk kehidupan orang-orang bertakwa, bagaimana dengan manusia lainnya.

Dengan al Qur’an orang yang belum bertaqwa akan semakin meningkat keimanannya. Ketinggian ketakwaan tidak pernah terskorsing dengan angka dan tak terbatas. Mengingat, masalah taqwa adalah fluktuatif, tidak stabil, naik turun sebagaimana keimanan yang kapan saja grafiknya berubah-rubah. Maka dari itulah, konsumsilah al Qur’an dengan baik dan benar secara istiqamah.(halaman 5) Dipastikan ketakwaanmu akan meningkat.

Selanjutnya persoalan hukum memberi fatwa dan nasehat kepada orang lain, tetapi sang penceramah tidak mengamalkan. Menurut santri senior pesantren Tebuireng ini, hal diatas merupakan bentuk sindiran langsung kepada orang munafik. Yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mengimani. Dosanya berlipat ganda, karena sudah mengajak kebaikan malah tidak memberi contoh yang baik. (hal 50)

Dalam konteks sekarang ini, begitu banyak orang yang memang pandai memberikan ceramah dan nasehat kepada sesamanya. Ironisnya, menasehati dan menceramahi dirinya sendiri tak mempan. Kurangnya praktek dalam kehidupan sehari-hari menjadikannya sekedar mengetahui semata. Padahal pengetahuan seorang mukmin tersebut makin sempurna manakala di imbangi dengan perbuatan konkrit. Tak pelak, orang lain yang awalnya bersimpatik berbalik arah menghujatnya. Bahkan, merontokan harkat dan martabatnya.

Dalam ajaran Islam, memang memberikan mandat kepada umatnya untuk menyampaikan kebenaran walaupun pahit. Namun juga harus di iringi dengan bukti, misalnya dengan perbuatan nyata. Dengan begitu, apa yang didakwahkan kepada orang lain akan mudah di terima. Mengingat, manisnya kata-kata seorang mukmin tidak akan ada harganya jika tidak di iringi perbuatan konkrit. Hal ini tentu sangat menggugah para juru dakwah Islam terbarukan untuk tidak hanya mahir berpidato. Bukankah, kini krisis keteladan sedang menggejala di negeri bermayoritas muslim terbesar di dunia ini?

Buku kumpulan tanya jawab seputar tafsir al Qur’an ini, penting dijadikan pegangan oleh siapa saja. Sehingga, beragam isu yang berkecambah tidak mendorong untuk ikut terprovokasi. Selain itu, juga mengembalikan persoalan agama kepada ahlinya ketimbang dari orang-orang yang mengaku paham agama. Namun, salah dalam memberikan penafsiran.

Buku ini penting untuk menebarkan pemahaman ulama pesantren kepada khalayak umum sudah sepantasnya diberikan apresiasi. Dengan begitu, mencegah kesesatan memahami pesan-pesan suci Tuhan yang termaktub dalam al Qur’an dapat terhindarkan. Ditangan ulama pesantren sejatinya, yang memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat secara luas dan masif. Selamat membaca!


* Kepala Penerbit Tebuireng dan pembina Sanggar Kepoedang