Sumber: festivalsherpa.com

Oleh: Iryan Ramadhani* 

“Setelah mendengar kata Indonesia, mungkin hanya sepersepuluh yang engkau ketahui akan kebenaran bahwa Indonesia lebih dari yang dibayangkan”

Dunia tak sekecil yang mungkin kita pikirkan. Banyak tempat-tempat menakjubkan bertebaran di berbagai belahan negara. Bahkan terselimuti di pelosok-pelosok penjuru desa terpencil yang harus disaksikan oleh mata telanjang, kemudian mengagumi karya cipta tuhan yang agung. Tak banyak orang di dunia ini banyak mengetahui dimana surga kecil dunia lahir dan belum disaksikan oleh semua orang.

Mis Marianne pernah mengatakan satu hal padaku, “Bilamana kau telusuri seluruh dunia, maka kau akan menemukan sebuah surga kecil, tersimpan dan tak banyak orang mengetahuinya bahkan menemukannya sekalipun.” Dan aku, akan menjadi orang pertama kali meyakini dan membuktikan bahwa surga kecil itu memang benar-benar ada di dunia ini.

Rasanya begitu bosan jika terus memandangi bangunan-bangunan arsitektur tinggi. Biasa-biasa saja, hanya kesan itulah yang setiap orang katakan bilamana sudah lama tinggal di daerah perkotaan. Hingar-bingar kehidupan perkotaan yang terus berpacu dengan waktu. Kalau waktumu habis, maka kau tak akan bisa mengulanginya lagi. Kota Salzburg, terletak di benua Eropa yakni di negara Austria. Sungguh indah nan menakjubkan, sekaligus merupakan kota kelahiranku. Sangat eksotis namun sudah banyak pemandangan indah hingga tempat-tempat menakjubkan yang pernah ku jelajahi.

Majalah Tebuireng

Sudah tiga tahun lamanya berlalu, kami lama tak berjumpa lagi. Walau hanya pada waktu itu saja aku pertama kali mengenalnya dan bertemunya. Hanya dua jam saja. Berkacamata bulat bening, berambut panjang hingga sebahu, dan dengan suara khasnya saat berbicara dengan lugas dan detail. Seorang pria berusia sama denganku, bernama Nobi.

Untuk pertama dan terakhir kali kami bertemu pada saat berada di pemberhentian Busway, aku ingat pada saat itu mengalami nasib buruk. Aku tak menemukan bus dengan tujuan mengantarkanku ke bandara, namun disaat-saat seperti itu seorang pria menghampiriku dan menolongku. Pria tersebut adalah Nobi. Andaikan saya bila tak ada dia, mungkin aku harus menunggu beberapa hari lagi untuk berangkat kembali ke Austria.

Diwaktu senggang, aku sesekali menyempatkan waktu luangku untuk mengirimkan pesan lewat emailnya sebelum aku datang kembali ke negara Indonesia yang merupakan negara kelahiran kakekku. Aku hanya pernah mengunjungi satu kali dalam seumur hidupku, setelah penantian tiga tahun ini aku akan kembali mengunjunginya.

Seminggu sebelumnya, Nobi pernah mengatakan kepada-ku  bahwasannya akan ada festival kebudayaan yang diselenggarakan setiap tahun sekali di kampusnya. Mungkin sudah saatnya aku menjadi pengamat dan penonton bagi Nobi, sekian lama aku tak menemukan orang baik sepertinya.

***

Sekarang pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Pesawat yang membawaku sepuluh menit lalu sudah mendarat dengan mulus tanpa ada masalah sekecil apapun. Dan pasti Nobi sudah menungguku di luar bandara dengan mobil berwarna hitamnya. Aku berdiri beranjak dari antrian imigrasi menuju ruang kedatangan, kududuk di sebuah bangku sambil memeriksa ponselku. Mungkin Nobi tidak jauh dari sekitar sini, karena dia bilang akan menjemputku tepat waktu.

Apa yang harus kukatakan saat bertemu dengan Nobi? Terlepas akan hal tersebut tiba-tiba suara Nobi terdengar dari belakangku. “Ada yang bisa kubantu nona?” Sontak responku terkejut mendengar suara Nobi dari belakangku. “Nobi! Ah, syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi,” kalimat yang diucapkan Nobi mengingatkanku ketika berada di busway saat bertemu pertama kali dengannya. Aku memeluk erat tubuhnya, entah bagaimana caranya aku bisa membalaskan kebaikannya pada saat itu. Selagi masih berada di Indonesia, mungkin aku bisa membalas kebaikannya walau apapun itu.

“Bagaimana kabarmu selama di Austria sana?” Nobi langsung membuka topik pembicaraan. “Baik sekali Nobi. Namun aku belum diperbolehkan menetap lama berada di Indonesia,” mungkin itu bukannlah jawaban yang bagus. Namun aku harus mengatakan sejujurnya. “Baiklah kalau begitu, mari kita bergegas menuju mobilku di parkiran. Sebelumnya aku akan mengecek barang-barang yang kamu bawa bisa muat atau tidak di bagasi.” Nobi memang benar, aku memang membawa tiga koper besar serta satu buah ransel di pundak. Aku belum memikirkan sampai sejauh itu.

            ***

Jalanan di sini tidak sepadat jalanan diperkotaan Salzburg. Banyak lahan yang kosong digunakan untuk ditanami pepohonan. Penggunaan kendaraan mobil dan sejenisnya cukup minim di perkotaan ini. Dilihat dari dalam kaca mobil dengan sedikit terbuka, beberapa penduduk sekitar banyak berjalan kaki. Dan hal paling berkesan berbeda adalah udara di perkotaan ini sangatlah asri dan sejuk untuk dihirup.

Tak ada keberadaan asap dan polusi yang bertebaran dimana-mana. Ditambah beberapa penduduk sangat ramah sekali dari tepian jalan yang melambaikan tangan kepadaku  tanpa ragu. Sangat ramah tamah sekali. Sepertinya aku akan berada disini lebih lama.

“Patricia sedang melihat apa di jendela sejak dari tadi?” Nobi masih menyempatkan mengobrol sembari tangannya menyetir mobil. “Ehm. enggak kok. Hanya saja anginnya sangat sejuk sekali Nobi. Aku sampai melamun karena begitu menikmatinya”. Mungkin hanya itu jawabanku untuk menjawab pertanyaan Nobi sekarang.

Penataan bangunan-bangunan dengan berdampingan dengan rumah-rumah penduduk sekitar, tidak dibatasi dengan banyaknya pembangunan jalan. Berbeda dengan di perkotaanku, yang sudah diberlakukan penataan persektor agar lebih leluasa namun timbal balik sosialnya yang kurang.

Sejak dari tadi, aku melihat orang-orang di sekitar jalan saling bersolialisasi dan bercakap-cakap. Mulai dari pedagang gerobak dengan pegawai berdasi hingga anak-anak sekolah dengan nenek lansia. Sangat ramah sekali. Pedagang dan penjual di Indonesia ternyata masih menjajakan dagangannya secara tradisional.

Bukannya pembeli datang menghampiri penjual, namun penjual yang hadir makin dekat dengan pembeli. Berbeda dengan negara-negara lainnya, terdapat banyak keunikan dan perbedaan negara Indonesia dibanding negara lain.

“Seperti yang kukatakan sebelumnya, hari ini tepat pukul delapan pagi akan ada pertunjukan berbagai kesenian didalam kampusku. Kalau tidak keberatan, Patricia bisa menyaksikan”. Untuk saat ini aku belum menemukan agenda yang tepat untuk mengisi hari ini. Selama aku di Indonesia, mungkin aku akan ikut dengan Nobi untuk beberapa waktu. Ia mungkin banyak tahu semua hal.

“Aku ikut. Ada pertunjukan apa saja disana?” tanyaku. Lalu Nobi langsung respon menjawab “Nanti setelah sampai, kamu bisa mengetahui jawabannya”. Aku masih penasaran dengan jawaban Nobi.

***

Sebelum kami sampai tiba, terlihat beberapa penduduk sekitar tampak ramai mengerumuni di pinggiran jalan. Mulai dari usia lansia hingga ibu-ibu yang membawa anak-anak kecil mereka. Mungkin saja penduduk tersebut sedang mengantri masuk di festival kesenian, Nobi bilang jarak kampusnya tidak jauh dari sini. Sangat teratur dan antusias mungkin saja tebakanku tidak salah. Hingga beberapa menit kemudian kami sampai di depan kampus  dan berhenti di sebuh parkiran di samping gedung.

Begitu aku melangkah melewati gerbang depan, hal yang kurasakan pertama kali ketika melihat festival ini sangat tak terbayangkan, pandanganku tak berkedip sedikitpun melihat takjubnya isi festival  kesenian ini. Lebih dari kubayangkan, festival ini sangatlah patut diacubgi jempol.

Berbagai model pakaian yang dikenakan orang-orang disini belum aku lihat selama ini, mulai dari warnanya berwarna-warni, model yang hanya ditemukan di Indonesia, hingga berbahan rerumputan padi. Ternyata apa yang dikatakan Nobi benar, selama penantian tiga tahun ini ternyata tidak sia-sia. Indonesia lebih dari yang kubayangkan.

Beberapa pasar makanan dan aneka jajanan bertebaran disudut halaman mengisi Festival ini. Terlihat tulisan-tulisan aneka nama makanan dan jajanan dengan menambah nama daerah menambah ragamnya kuliner negara ini. Salah satu pedagan yang kulihat sedang membawa bahan-bahan makanan, pasti bahan tersebut masih menggunakan bahan alami. Kami menelusuri semua pedagang yang ada dihalaman ini hingga kami sampai diujung tengah lapangan. Bisa dihitung dengan jari jumlah pedagang disini sekitar 80. Dan diantara 80 pedagang tersebut 40 pedagang masih menggunakan  alat masak yang tradisonal seperti tungku dan wadah kendi.

Di tengah lapangan, suara alat musik terdengar diringi nyanyian seorang perempuan yang merdu dengan bahasa lain. Mereka menyebutnya dengan sinden. Walaupun aku tidak sepenuhnya mengerti bahasa apa saja yang terdapat dinegara ini, dan juga tidak sedikit alat musik tradisional juga mengisi Festival kesenian.

Beberapa pertunjukan ini mencangkup kesenian tarian, kuliner, alat musik tradisonal, baju adat tradisonal, mengisi festival ini. Namun bukan hal itu yang dapat ku-simpulkan, mereka memiliki keberagaman yang masih dijaga dengan utuh. Sangat ramai dan berkesan, seharusnya Festival seperti ini diselenggarakan di seluruh negara yang ada didunia.

“Jadi Patricia, apa yang bisa kubantu selama kamu berada disini?” tanya Nobi. “Hanya melakukan observasi dan meneliti tentang berbagai hal yang ada di Indonesia. Dan satu hal lagi yang terpenting. Apa yang membuat orang asing harus melihat jauh tentang Indonesia? Maksudku, mereka juga harus mengetahuinya Nobi”. Raut muka Nobi terlihat berubah serius dari biasanya. Ditambah lilitan didahinya menandakan bahwa Nobi sedang berfikir mencari jawaban atas pertayaanku. Dan akhirnya dia menjawabnya. “Oke. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, sekarang kita akan beristirahat sejenak sembari memperkenalkan rekan-rekan kampusku dikursi depan gedung.”

Kemudian aku pun mengikuti Nobi hingga kami sampai disebuah kursi di depan gedung. Terlihat ada dua orang perempuan, salah satu darinya memakai sebuah kain menutupi rambut hingga leher. Dan dua orang pria yang salah satu darinya berkepala botak. Langkah kaki Nobi terlebih dahulu menghampiri mereka dan berbincang, kemudian aku menyusulnya.

“Hai teman-teman, perkenalkan ini temanku namanya Patricia” Nobi memperkenalkan diri-ku dihadapan empat rekannya langsung. “Hai, namaku Patricia,” sapaku sambil melambaikan tangan kearah  rekan-rekan Nobi tersebut.

Salah satu rekannya berbicara menggunakan bahasa yang tidak ku-mengerti “Hei Patricia, engkok banyak tau tentang bolena dari Nobi. Le’bile kita lenjelenan ater-poter e Madura. Olok engkok Andhika”. Kurang lebih seperti itulah bahasa seorang pria berambut pendek.

Seorang perempuan memakai kain yang menutupi rambut hingga leher pun ikut berbicara dengan bahasa yang sedikit kumengerti namun tak sepenuhnya. “Nama gue Lily. Dari kota Jakarta, maaf gue gak terlalu bahasa Inggris. Senang bisa berkenalan dengan lu”.

Hingga pria berkepala botak pun ikut berbicara dengan bahasa yang tidak ku-mengerti sama sekali “Meniguelis si Nobi. Timana asalnya? Apa si eta bebaturan anjeun?”. Dan yang terkahir seorang perempuan yang berambut ikal “Nyak senang bertemu mak kau Nobi. Salam kenal”

Aku hanya bisa terdiam, tak mampu bagaimana cara membalas jawaban dari empat rekan Nobi. Terlebih lagi bahasa yang digunakan sangat sukar untuk dilihat dan pertama kali aku mendengarnya ada bahasa seperti itu. Namun Nobi tidak tingggal diam dan melanjutkan memperkenalkan diriku sebagaimana adanya, “Jadi, Patricia sedang mengadakan observasi di Indonesia ini. Sebelumnya aku belum banyak menceritakannya kepada kalian, bahwa Patricia juga belum paham bahasa yang kita gunakan dalam berbocara kecuali bahasa Indonesia. Beri sambutan kepadanya teman teman!”

Dan rekan-rekan Nobi ternyata mampu berbicara dengan bahasa yang digunakan Nobi. “selamat datang di Indonesia Patricia!” begitulah cara rekan-rekan Nobi menyambutku. Setelah berbincang banyak hal dengan rekan-rekannya, ternyata rekan-rekan Nobi berasal dari berbagai macam daerah yang beragam. Mulai dari Sumatra, Madura, Jakarta, dan juga Banten. Setelah itu, tiba waktunya aku mendengarkan jawaban Nobi.

“Aku mulai dari keramah-tamahan dan kebudayaan, Patricia. Banyak hal yang menjadi ciri khas sebuah negara didunia yang tidak jauh dari dua hal tersebut”. Aku pun bertanya kembali, “Ini berbeda dengan negaraku Nobi, negara ini jauh lebih indah dan menakjubkan daripada negaraku yang canggih namun belum bisa melestarikan kebudayaan aslinya”. Untuk beberapa saat kemudian, Nobi merenungkan sesuatu.

“Waktu itu relatif. Bertahun-tahun Indonesia berusaha mengubah negaranya sendiri untuk berkembang  di masa depan. Melihat momen ketika orang-orang asing yang datang dengan takjub. Tapi aku tak bisa melihat lebih jauh lagi, bagaimana cara mengubahnya.

Tak terhitung bagaimana hal-hal seperti kelaparan dan kemiskinan terjadi dengan cepat, bila kau tahu akan sebenarnya hal yang tak dapat kucegah. Namun setiap kali ku-cegah, selalu ada lagi hal yang tak terbayangkan datang kembali, semua mengarah kepada diri kita sendiri Patricia”.

Aku pun memotong penjelasan Nobi, “Aku pun belum pernah melihat masa depan Nobi”. Nobi kembali menjelaskan, “Hanya kemungkinan, setiap orang mempunyai jiwa penolong dan semangat nasionalisme dalam membangun tanah kelahirannya menjadi lebih baik. Dan berbagai hal untuk melakukan kebaikan. Tapi, apakah orang tersebut dapat menjalankannya? Namun hanya karena takut melakukan hal benar, mereka menyatu dengan pola pikir pendek masyarakat. Justru itu yang menghalangi diri seseorang dari hal yang benar.

“Sehingaa lupa darimana sejatinya ia lahir, hal itu masih menghalangi seseorang untuk belajar dari hal yang paling sederhana sekalipun hingga hal yang paling penting dalam bagaimana menjaga negaranya sendiri. Kita tidak bisa memilah waktu kita. Keberagamanlah yang memberi makna pada hidup. Agar kita menyadari bahwa kita adalah salah satu dari mereka.

Lihatlah para lelulur dan nenek moyang kita, yang menyebarkan banyak kebudayaan, keberagaman suku, bahasa yang berbeda, ras yang berwarna-warni, sampai akhirnya kita tak menyadari jika orang lain melebarkan senyum disatu moment bahwa negara kita sungguh kaya. Kaya akan kekayaan sumber daya alamnya, kebudayaanya, dan indah tak ternilai alamnya. Kelak agar anak-anak kita disuatu saat nanti bisa melihat kekayaan negara mereka sendiri, sungguh indah bukan jika kita bisa melihatnya lagi dimasa depan?”

Disaat-saat Nobi sedang menjelaskan, tak terasa air mataku menetes banyak. Aku banyak belajar dan menyadari dari hal yang dikatakan Nobi hari ini. Bila negara yang kuat, adalah negara yang mampu melestarikan semua warisan kebudayaannya, melakukan hal apapun untuk negaranya sendiri. Tanpa dorongan rakyatnya, sebuah negara tak akan kuat bagaikan bangunan. Bila ada negara seperti ini, aku akan tinggal lebih lama disana. karena aku yakin, negara yang canggih dan maju sekalipun jika tidak mampu melestarikan warisan negaranya sendiri, bagikan negara yang tak ternilai. Akhirnya aku baru menyadari bahwa tempat yang sedang ku-singgahi adalah surga kecil yang kucari selama ini. Surga kecil itu adalah Indonesia.


*Santri Tebuireng, di unit SMA. A. Wahid Hasyim