Sumber gambar: http://www.konfrontasi.com

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

“Bahagia itu sederhana, bahagia itu indah,” begitu kata mutiara dari orang-orang bijak.

Siapa yang tidak ingin bahagia? Semua orang pasti ingin bahagia. Tapi caranya kadang yang berbeda-beda. Memaknai bahagia itu yang kadang setiap orang berbeda cara dan keadaan. Siapapun ingin bahagia. Berkeluarga tujuannya juga ingin bahagia.

Ada orang yang kadang rela bekerja mencari rezeki, pergi pagi (bahkan) hampir pulang pagi (lagi), ya tujuannya pasti ingin bahagia. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Keringat kuning menetes sampai tumitnya demi sesuap nasi dan menafkahi keluarganya, pasti orang seperti itu juga kalau ditanya, ingin bahagia.

Ada lagi, orang yang mengambil harta dengan cara yang tidak benar. Ada yang merampas, merampok, membegal, bahkan sampai dibela-belain korupsi ratusan juta, milyaran rupiah, bahkan ada yang triliunan rupiah. Pasti kalau ditanya orang yang begitu, juga ingin bahagia hidupnya. Walaupun dengan jalan yang tidak benar, salah dan mendzalimi dirinya sendiri.

Majalah Tebuireng

Kalau begitu, hakikatnya, bahagia itu sederhana dan relatif sekali. Tergantung bagaimana menikmati dan memaknai arti dan hakikat sebuah kebahagiaan. Kalau ukurannya dunia, materi, atau bahkan kekuasaan, jabatan, dan gemerlapnya dunia, jelas tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa indikator kebahagiaan itu bisa didapat dan dicapai dengan materialisme itu. Saya kok belum pernah menemukan referensinya.

Sejauh ini, yang saya sering baca dalam beberapa referensi, bahwa kalau seseorang itu mendasarkan kebahagiaan itu diukur dengan materi atau dunia serta isinya ini, jelas akan fana’ atau rusak. Materi itu akan rusak di telan zaman dan waktu. Kekuasaan akan hilang pada waktunya.

Kecantikan fisik akan lekang ditelan masa. Dunia dan isinya ini pun akan lenyap dan fana’ pada saatnya. Tidak ada yang permanen dan kekal. Sehingga, kebahagiaan yang sifatnya materialisme tidak bisa dijadikan ukuran yang absolut. Materi itu sifatnya hanya pelengkap saja. Tidak boleh lebih.

Menurut dalam kitab ini, Nashoihul ‘Ibad, manusia yang paling bahagia itu adalah:

1. Man Lahu Qalbun ‘Aalimun; orang yang memiliki hati, dimana hatinya itu selalu paham dan mengerti akan keberadaan Allah. Dan Allah merasa selalu bersamanya.

2. Badanun Shaabirun;  Orang yang selalu bersabar. Dalam situasi dan kondisi apapun. Karena Sabar itu tidak berbatas. Sabar dalam ketaatan (Al Shabru fiy Al Thaa’at), dan sabar dalam menghadapi musibah (Al Shabru fiy Al Musibah).

3. Wa Qona’ah bi Maa fiy Al Yad; Selalu menerima  (pemberian Allah) atas apa yang ada (sedang berada) di tangannya. Apa yang Allah berikan kepadanya, ia nikmati dan ia syukuri. Sebesar apapun, atau sekecil apapun sama-sama ia terima dengan ikhlas dan lapang dada. Tidak ngersulo, tidak meratapi nasib, (apalagi) menyalah-nyalahkan Allah SWT.

Tiga jenis orang inilah, yang benar-benar menjadi manusia yang paling berbahagia. Kebahagiaan yang abadi dan hakiki.

Wallahu A’lam.

Disarikan dari kandungan isi kitab Nashoihul ‘Ibad.

*Khadim Pesantren Peradaban AL-AULA Kombangan Bangkalan Madura.