tebuireng.online.- Lahir di lingkungan keluarga berbasis pesantren, Dr. Phil. Mohammad Nur Kholis Setiawan, MA., mengenyam pendidikan dasar dan menengah pertamanya di sekolah umum tempat kelahirannya, Kebumen, Jawa Tengah. Lulus sekolah menengah pertama, Nur Kholis melanjutkan rihlah ilmiahnya di Pesantren Tebuireng Jombang. Pilihannya jatuh pada Pesantren Tebuireng karena pada waktu itu (1985), Tebuireng merupakan satu diantara pesantren-pesantren yang memiliki lembaga pendidikan umum yang cukup maju. Tidak puas hanya belajar di Pesantren Tebuireng dan karena semangatnya yang tinggi untuk bisa menguasai ilmu-ilmu keagamaan, Nur Kholis harus membagi waktunya di sore hari untuk mengaji diniyah di Pondok Pesantren Pacul Gowang yang berjarak sekitar 5km dari Tebuireng.

Mondok di Tebuireng, seperti diakuinya, merupakan pengalaman pertama yang tak kan pernah terlupakan. Disitu dia bergaul dengan teman-teman dari berbagai daerah, suku, etnik, dan kebudayaan yang merupakan modal dasar bagi pikiran-pikirannya yang terbuka. Selepas dari Tebuireng melanjutkan kuliah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sambil mengamalkan ilmunya yang didapat dari Tebuireng di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Yogyakarta.

Karena ketekunan dan kesabarannya dalam menuntut ilmu, Nur Kholis terpilih sebagai mahasiswa Pasca Sarjana program Islmaic Studies di Leiden University, Belanda, melalui program pembibitan Dosen IAIN se-Indonesia di IAIN Jakarta yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dia menjadi alumnus pesantren pertama, khususnya Tebuireng, yang lulus program tersebut dan melanjutkan studinya di luar negeri.

Tidak hanya itu, penguasa enam bahasa asing ini, berhasil meyakinkan para professor di Belanda dan Jerman untuk merekomendasikannya mendapat beasiswa doctoral di Jerman. Bahkan, salah seorang dosen pembimbingnya di Jerman menyatakan kekagumannya atas kemajuan intelektual yang begitu pesat yang dicapai Nur Kholis selama menyelesaikan masa studinya, terutama dalam pengusaan bahasa Jerman.

Satu setengah tahun setelah kembali ke Tanah Air dan mengabdi di almamaternya, IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Nur Kholis mendapat penghargaan untuk program post-doctoral di Hannover dan kemudian di Bonn untuk melakukan riset selama tiga bulan. Saat itu juga, dia menerima surat dari lembaga antar universitas di Berlin yang memiliki proyek internasional tentang relasi antara Timur Tengah dan Eropa. Akhirnya, dia terpilih menjadi salah satu ilmuan muda dalam program itu yang jumlahnya hanya 10 orang dari 9 negara, khusus untuk mengkaji relasi Timur Tengah Barat.

Majalah Tebuireng

Selama studi di luar negeri, Belanda, Jerman, Prancis, Mesir, Nur Kholis kagum dengan budaya akademik dan kemandirian mahasiswa disana. Dia kemudian mencontohkan putranya sendiri yang baru duduk di sekolah dasar di Jerman, sudah di minta membuat paper yang selanjutnya di presentasikan didepan teman-temannya dan gurunya. Tradisi ini yang menurut Nur Kholis harus berkembang dilingkungan pesantren. Santri tidak harus dibimbing dari A sampai Z untuk mengkaji sebuah kitab. Tetapi, biarkan mereka mengembangkan kemampuan intelektualnya sendiri. Ia mengkritik budaya akademik yang kritis, keberanian serta kemandirian untuk mengkaji bacaan sendiri di pesantren yang kurang berkembang.

Untuk lebih mengetahui pikiran-pikiran Mohammad Nur Kholis Setiawan, berikut petikan wawancaranya dengan Majalah Tebuireng yang dilakukan disela-sela aktifitasnya mengajar di Program Pasca Sarjana IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari) Tebuireng Jombang.

Bagaimana bapak terlibat dalam aktifitas intelektual di level internasional?

Dulu sih gak ngebayangin seperti itu. Artinya, itu aktivitas yang memerlukan investasi jangka panjang. Ketika saya selesai s-1, karena di Tebuireng juga sudah diperkenalkan dengan lingkungan dimana banyak orang belajar bahasa arab, dan waktu ada yang khusus mempelajari native speaker yang didatangkan oleh almarhum KH. Yusuf Hasyim, kita dicoba, kemudian, merasa penting untuk mengembangkan lebih lanjut. Karena kemampuan bahasa asing itulah ketika ada program pembibitan dosen, saya menjadi salah satu peserta yang lolos dari 30 orang se-indonesia untuk di program bahasa inggris selama 6 bulan yang itu memang dipersiapkan untuk kuliah diluar negeri.

Setelah itu, saya berhasil melanjutkan program s-2 di Leiden, Belanda. Maka semakin luas lagi pergaulannya dan juga jaringannya. Saya juga berhasil meyakinkan beberapa professor di Leiden dan juga di Jerman, untuk mencarikan beasiswa program studi s-3 di Jerman. Kemudian, selesai di Jerman, tahun 2003 akhir, saya kembali ke tanah air untuk mengabdi dikampus dengan tetap memelihara jaringan yang dimiliki. Akhirnya, tidak lama setelah saya pulang, kira-kira satu setengah tahun, saya mendapat penghargaan untuk program post-doctoral di Hannover dan kemudian di Bonn untuk melakukan riset tiga bulan. Nah, otomatis itu kan menambah jaringan kembali. Jadi, jaringan yang sudah ada  kita kembangkan lagi dengan post-doctoral. Saat itu juga saya juga menerima surat dari lembaga antar universitas di Berlin yang memiliki proyek internasional tentang relasi Timur Tengah dan Barat juga Timur Tengah dan Eropa. Ini membuka para ilmuan muda untuk berpartisipasi disitu. Alhamdulillah, saya terpilih menjadi salah satu ilmuan muda dalam program itu yang jumlahnya hanya 10 orang dari 9 negara, khusus untuk mengkaji relasi antara Timur Tengah dan Barat juga Timur Tengah dengan Eropa. Ini bentuk investasi berjenjang yang setahap demi setahap. Artinya, tidak lompat begitu saja, tidak.

Apakah ada perbedaan mendasar mengenai metode pembelajaran keagamaan, terutama keislaman di Eropa dengan di Indonesia, khususnya di pesantren?

Kalau dilihat dari sisi materi, sebenarnya kita tidak kalah, bahkan kita menang. Pengkajian terhadap kitab-kitab kuning dari berbagai macam disiplin, seperti tata bahasa, sastra, hadist, ulumul hadist, dan fikih, itu kan kita banyak di pesantren. Dan masing-masing santri ada yang sangat menguasai, ada yang setengah-setengah, bahkan ada yang tidak sama sekali, ya itu wajar. Tetapi, itu tidak kita temukan di Eropa. Di Eropa mereka malah tidak banyak memberikan materi. Artinya, yang dibimbing secara langsung bahwa anda harus dibacakan dari A samapi Z, dari halaman pertama sampai halaman terakhir di pesantren, disana mahasiswa diberi tugas membuat paper, dipresentasikan dan silahkan mencaru literature di perpustakaan. Dijor istilahnya atau dilepaskan. Kalau disini kan dibimbing dari awal sampai akhir. Jadi secara materi kita jauh lebih banyak. Hanya kemudian budaya akademis yang kritis, keberanian untuk mengkaji bacaan sendiri, itu kan di pesantren kurang berkembang. Bahkan ada semacam pendapat bahwa “ngaji ora ono gurune podo ngaji karo setan”. Itu menurut saya tidak pas, karena berapa sih waktu yang dibimbing oleh guru untuk murid. Guru membimbing murid kan tidak 24 jam. Kalau ngaji bandongan paling lama 2 jam. Tetapi waktu santri yang 24 jam itu kalau tidak didorong untuk mengolah sendiri, membaca sendiri kitab-kitab yang diajarkan, itu kan jauh lebih banyak jumlah waktu yang dimiliki. Mungkin, itu perlu di budi dayakan atau dipompa untuk belajar mandiri. Karena itulah ciri khas pembelajaran di Eropa dan barat yang lebih menekankan kemandirian. Contoh gampang, anak saya sendiri baru kelas 2 SD sudah diminta membuat paper, mencari data sendiri, dipresentasikan dan dipertahankan didepan teman-temannya.

Sekarang beralih ke bidang spesialisasi Bapak, yaitu studi al-Qur’an dan tafsir, bagaimana bapak memandang al-Qur’an?

Saya sebagai muslin yang taat tetap menganggap al-Qur’an sebagai kitab suci saya, kita suci umat islam yang harus kita sanjung dan junjung tinggi. Sikap itu tidak berarti kita takut untuk mengkajinya. Itu salah, kalau kemudian karena kesuciaanya, karena keimanan kita takut untuk menkajinya. Itu salah besar. Karena itu, (pengkajian al-Qur’an) dilakukan oleh para ulama-ulama klasik sejak awal. Mereka bisa melahirkan sebuah peradaban dan bisa menelurkan berbagai macam ilmu humaniora, seperti sastra, falsafah dan segala macam, karena persentuhan dan pergaulan mereka dengan al-Qur’an. Kalau tidak, tidak mungkin ada al-Jahiz yang bisa menulis al-Bayan wa at-Tabyin. Tidak mungkin Abdul Qahir ar-Jurjani merumuskan sesuatu teori yang sangat dahsyat, dalam kitabnya Asrarul Balaghah dan Dala’il al-I’jaz, tanpa pergaulan intensif dia dengan al-Qur’an. Jadi sebagai seorang muslim mereka luar biasa. Tetapi, justru karena luar biasa kekaguman mereka itu, mereka tertarik untuk mengkajinya secara lebih berani. Diotak-atik sedemikian rupa, itu yang seharusnya kita kembangkan. Sebagai seorang muslim kita wajib hukumnya untuk mempercayainya, untuk mengimani al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang suci, yang tidak ada tandingannya. Tetapi pada saat yang sama justru menjadi pemicu kita untuk mengkajinya secara lebih serius, jangan hanya dibaca. Kalau (hanya) dibaca saja, ngapain. Ya harus dikaji secara akademis. Tetapi ya sesuai dengan back ground keilmuan kita. Kalau kita punya back ground keilmuan sosial humaniora, cobalah kita bedah al-Qur’an dari sisi sosial humaniora. Bagi teman-teman yang punya back ground ilmu eksak, misalnya, cobalah kaji al-Qur’an dari sisi itu. Artinya, untuk menunjukan bahwa al-Qur’an itu benar-benar sesuatu yang sangat luar biasa. Karena dibedah dari sisi manapun bisa.

Sebagai murid Nasr Hamid Abu Zaid apakah bapak mendukung tesisnya bahwa al-Qur’an itu muntaj Al-Tsqafi?

Harus dilihat dulu. Itu kan satu rangkaian argument. Tidak bisa kemudian kita potong, al-Qur’an adalah produk budaya, titik, tanpa sebelumnya dan tanpa seterusnya. Itu salah besar. Harus kita tempatkan pada proporsinya. Ia mengatakan begitu dalam teori komunikasi. Dalam teori komunikasi, sebuah komunikasi, itu kan bisa berjalan kalau ada komunikator, orang yang mengkomunikasikan, ada reseptor, penerima, sekaligus ada media komunikasinya, saya dengan anda sekarang, saya ngomong. Kalau saya nggak ngomong, apa ada komunikasi? Tidak, kan? Saya ngomong kepada anda, saya menggunakan bahasa, bahasa Indonesia. Itu media komunikasinya. Nah, logika ini atau teori komukasi ini yang dipakai Nasr Hamid Abu Zaid untuk melihat proses turunnya wahyu. Dan kalau saya lacak, apa yang dikatakan oleh Nasr Hamis Abu Zaid ini tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan Yusuf al-Qirmany dakam syarah bukhari. Al-Qirmany membahas begitu cantik tentang proses pewahyuan itu. Ada tanasub (penyeimbang). Dia bilang begini, “mustahil terjadi komunikasi antar dua pihak tanpa ada ‘kesetaraan’, dalam konteks Allah dan Rasulallah itu mungkin Allah ‘mendekati derajat’ Nabi Muhammad atau sebaliknya, Nabi Muhammad ‘diangkat derajatnya’.”

Apa tidak dikhawatirkan dengan tesis muntaj tsqafi itu akan memposisikan Nabi Muhammad sebagai penulis al-Qur’an?

Tidak. Sama sekali bukan itu indikasinya. Yang dikehendaki oleh Nasr Hamid Abu Zaid, al-muntaj al-tsaqafi, itu konteksnya begini, al-Qur’an yang disampaikan kepada Rasulallah itu kan masih bahasa lisan. Sementara al-Qur’an yang kit baaca sekarang kan sudah tulisan. Proses dari lisan ke tulisan apa itu bukan proses budaya? Ya, nggak? Ya, itu yang saya katakana, kerangkanya, ya teori komunikasi tadi. Perkara itu relevan atau tidak itu urusan lain. Saya hanya ingin menempatkan sesuai porsinya, kenapa sapai lahir statemen al-muntaj al-tsaqafi. Proses transformasi dari lisan ke tulisan, dari bunyi menjadi sistem bahasa (alat), dengan huruf yang sedemikian rupa, itu kan sudah melibatkan unsur budaya, budaya arab. Makanya, saya katakana, saya tidak ingin membicarakan apakah kesimpulan Abu Zaid itu bermanfaat atau tidak, itu urusan lain. Saya hanya ingin mengatakan dan menjelasakan, apa sih yang dimaui Abu Zaid? Maunya dia begitu. Jadi, untuk menjelaskan wahyu verbal (lisan) menjadi tulisan, itu yang dikehendaki. Dan pada saat yang sama al-Qur’an juga menciptakan budaya dan peradaban baru dalam intelektualisme Islam.

Jadi, menurut Abu Zaid budaya arab mempengaruhi al-Qur’an hanya dari sisi luarnya atau tampilannya saja, bukan isinya?

Yang dipengaruhi budaya arab ya transformasinya itu. Dari yang tidak berbentuk itu tadi, (al-Qur’an) diterima, dilafalkan, dihafalkan, kemudian dibentuk menjadi huruf, itu kan suatu konversi. Ba’-nya seperti ini, ta’-nya seperti ini, itu kan kesepakatan budaya arab. Logikan yang digunakan Abu Zaid ya seperti itu. Jadi, ya, logis saja.

Tetapi mengapa sampai membuat kontroversi?

Ya, karena gaya bahasa yang digunakan Abu Zaid saja.

Apakah hal itu berhubungan dengan buku bapak yang berjudul “al-Qur’an buku sastra terbesar”?

Tidak, tidak ada hubungannya sama sekali dengan itu. Saya hanya ingin menunjukan bahwa pendekatan apapun, katakanlah ilmu sosial humaniora, itu sah saja untuk mengkaji al-Qur’an. Dan latar belakang yang mempengaruhi saya mengapa saya harus begitu, karena ada antipati yang semakin berkembang dikalangan kebanyakan umat islam sekarang ini, bahwa al-Qur’an itu tidak boleh disentuh dengan pendekatan humaniora. Saya hanya ingin membuktikan pemikiran progresif  dan liberal, bukan Jaringan Islam Liberal, itu anak kandung sejarah Islam, abna’ al-hadlarah al-islamiyah, itu saja tesis saya. Makanya saya katakana dalam buku saya itu, setelah melacak akar-akar historisnya, dari mulai Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, sampai Muqotil bin Sulaiman, bahwa pemikiran-pemikiran progresif  itu sudah ada sejak awal-awal tasyri’ islam. Kalau sekarang pemikiran progresif dibunuh, itu merupakan kemunduran. Wong, dasar pijakannya jelas. Kalau masalah judul, ya itu karena penerbitnya saja mencari sensasi.

Menurut bapak, bagaimana perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia?

Selagi komunitas pesantren masih bisa berkembang dengan baik akan bersemi dengan baik. Saya sangat percaya bahwa pemikiran-pemikiran progresif akan lahir dari rahim pesantren. Karena mereka itulah yang menguasai khazanah intelektual islam. Tidak mungkin kita berharap dari perguruan tinggi yang tidak berbasis pesantren. Sebenarnya ada keunggulan kompetitif dari pesantren. Kemudian tinggal kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang tadi saya sebutkan itu dibenahi bersama.

Apa harapan bapak untuk mengembangkan pemikiran islam di Indonesia?

Perlu ada sinergi. Karena, pemikiran tok, itu juga tidak menyelasaikan maslaah. Jadi menurut saya, pemikiran-pemikiran keislaman di Indonesia itu perlu sinergis dengan dunia aktivis. Kalau hanya pemikiran, sementara kita dihadapkan pada realitas persoalan bangsa, umat islam yang masih miskin, terhimpit, itu juga susah. Jadi harus ada sinergi lah untuk bersama-sama memperbaiki keadaan. Itu yang saya harapkan. (Umb)

 

Mohammad Nur Kholis Setiawan

Dosen Fakultas Syariah dan HUkum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 2/Oktober-Nopember 2007, dimuat kembali untuk kepentingan edukasi