Bu Nyai Lelly Lailiyah Hakim, saat diwawancarai di ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng. (foto: rizal)

Tebuireng.online– Baru-baru ini, warganet dihebohkan dengan rekaman video pembullyan anak di sekolah. Diketahui bahwa bullying dalam rekaman tersebut terjadi di SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah. Bullying dalam rekaman yang beredar itu memperlihatkan ada seorang siswa yang dianiaya dengan mendapatkan pukulan dan tendangan dari siswa lain yang memakai topi.

Usai Cilacap menjadi trend di media, kembali tersebar video perundungan anak dari daerah Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam unggahan itu, tampak seorang anak yang mengenakan seragam pramuka menghajar korban dengan gaya smackdown.

Menanggapi hal bullying yang tengah menjadi isu hangat belakangan ini, Bu Nyai Lelly Lailiyah Hakim, istri Pengasuh Pesantren Tebuireng mengungkap bahwa perundungan atau bullying itu terjadi sebab pengaruh eksternal terhadap anak.

“Saya tidak bisa menyalahkan anak (pelaku) itu seratus persen. Karena pasti ada pengaruh lingkungan juga. Entah itu lingkungan keluarga, teman, atau hanya orang-orang disekelilingnya,” tegas Bu Nyai saat di wawancara pada (3/10/2023) oleh tim tebuireng.online.

Bu Nyai juga menegaskan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian seperti ini.

Majalah Tebuireng

“Kalau ditanya pihak yang paling bertanggung jawab, tidak ada yang paling (bertanggung jawab). Namun, jika terjadi hal semacam itu, bisa jadi sebab lingkungan dan orang tua. Karena itu mereka tidak hanya membangun pendidikan intelektualnya saja, namun spiritualnya juga perlu.”

Pesantren Ramah Anak

Sebagai istri dari Pengasuh Pesantren Tebuireng, yang kerap kali dihadapkan dengan permasalahan tingkah laku santri sehari-hari, Bu Nyai Lelly juga mondorong agar lingkungan pesantren itu menjadi lingkungan pendidikan yang ramah anak.

“Ramah bukan berarti ‘rajin menjamah geh,’ tapi bagaimana santri itu menjadi senang. Nah, dalam membangun pendidikan ramah anak, yang harus diperhatikan dahulu adalah membangun sistem institusi yang baik,” ungkapnya.

“Di Tebuireng sendiri kita lengkap (hierarki strukturalnya). Santri itu dibersamai oleh pembina di kamarnya, 1 pembina mengurus 20-30an santri. Di atas pembina itu ada koordinator pembina, di atasnya ada kepala pondok, mudir, terus ke kami (pengasuh). Dan ini semua harus saling singkron,” lanjutnya.

Ibu dari dua orang anak tersebut, juga mengungkapkan bagaimana edukasi tentang tindakan perundungan bagi santri di Tebuireng.

“Kita dibantu oleh para pembina, yang sudah dilatih oleh tenaga ahli psikolog langsung, agar para pembina tersebut dapat mengedukasi para santri tentang tindakan bullying.”

Beliau kemudian melanjutkan, seandainya terjadi pembullyian di Tebuireng. Maka, sistem hierarki ini tadi secara otomotis berjalan.

“Dalam menyelesaikan masalah seperti ini, kita juga harus mengkaji anak yang terlibat ini, dia kamar berapa, kelas berapa, kesehariannya bagaimana, dan lain-lain. Jadi kita tidak boleh langsung menyalahkan dan langsung mengeluarkannya. Meskipun terpaksa harus kita keluarkan, kita juga memberi solusi kepada anaknya, bukan dikeluarkan begitu saja, tapi juga dibantu mencari sekolah penggantinya.”

Terakhir, Bu Nyai Lelly menyampaikan kepada orang tua di rumah, agar bahwa mereka juga memiliki peran penting bagi anaknya di pesantren.

“Orang tua tetap berdoa, bacakan Al-fatihah tiap lima waktu. Karena di situlah, ada ikatan batin yang terbangun. Ikatan itu biasanya yang akan mengingatkan anaknya kepada orang tuanya. Sehingga dialog-dialog semacam ini, insyaallah akan membawa anak-anak untuk menjaga dirinya di sini,” pungkas Bu Nyai sekaligus menutup dialog.

Di sisi lain, salah satu pembina unit SMA, Ust. Sholihin (22) yang diserahkan tanggung jawab untuk menerapkan konsep-konsep yang disampaikan Bu Nyai di atas mengatakan,

“Di kamar saya, setiap malam Selasa kita adakan evaluasi ke santri. Kalau hanya sekedar omong-omongan itu hampir setiap malam,” ungkapnya.

Pewarta: Al Fahrizal