Sumber: erabaru.net

Oleh: Muhammad Masnun*

Nabi Muhammad merupakan pemimpin yang selalu mengawali (memberi tauladan) dari diri beliau sendiri ketika diperintah oleh Allah. Beliau merupakan sosok teladan yang selalu bisa dicontoh di manapun dan kapanpun. Rasulullah karena sikap baik dan kejujurannya, mampu diterima oleh orang lain. Ketika seseorang sudah tidak jujur, maka kepercayaannya akan hilang.

Jujur, Indonesia selama 32 tahun telah diberikan contoh oleh presiden orde barunya. Contoh untuk mencintai materi yang ada di dunia. Ketika nyaman menjadi pemimpin dan bergelimang harta, maka lupa akan dirinya.

Dulu orang Jawa sering mengatakan, “Urip iku mung mampir ngombe”. Hidup hanya berhenti sebentar untuk meminum. Seperti seseorang yang melakukan perjalanan, kemudian berhenti untuk meminum air sejenak agar kebutuhan dahaganya hilang. Paska orde baru, hilang sudah ungkapan seperti itu. Sekarang sudah berubah, mampir ngombenya lebih berkembang. Dahulu untuk melepas dahaga, sekarang untuk menghabiskannya. Awalnya untuk kebutuhan badan, sekarang malah untuk kebutuhan tanki-tanki kontainer.

Kemarin ada kegiatan pelatihan workshop yang biayanya sudah ditanggung oleh pemerintah. Diadakan oleh Kementerian Agama yang dilakukan di salah satu hotel di Surabaya, tepatnya di daerah makam Sunan Ampel. Kegiatan itu diikuti oleh Ma’had Aly yang menerima bantuan perpustakaan.

Majalah Tebuireng

Mereka difasilitasi transformasi dan biaya hidupnya selama kegiatan. Setiap peserta diminta untuk menulis biaya transportasinya kedatangan di kegiatan workshop ini. Kemudian dilipatgandakan untuk ganti transportasi pulangnya juga. Ada salah satu peserta menuliskan hanya Rp. 50.000. Petugasnya pun bertanya, “Loh, cuma segini ta?” Dia menjawab, “Iya, bu.” “Ya sudah, pakai hitungan transpor lokal saja.”

Awalnya dia sudah dibekali oleh pimpinannya bahwa ketika menulis laporan biaya transportasi untuk menulis Rp. 200.000, karena itu standar transport. Namun dia tidak melakukan hal itu. Karena saat perjalanan berangkat, dia hanya menghabiskan ongkos Rp. 50.000. Ketika ditanyai, dia mau menulis seperti itu karena dua hal. Pertama, di kertas laporan terdapat tulisan bahwa itu merupakan bukti kebutuhan transportasi sebenar-benarnya. Di sisi lain, terpikirkan pula oleh perkataan ibunya yang dulunya merupakan pengawas di bidang diniyah non-PNS.

Diceritakan oleh ibunya, “Saya tidak nyaman hidup seperti ini. Membuat laporan dari kegiatan yang tidak semestinya. Kegiatannya berjalan, namun tidak sesuai dengan program yang direncanakan ada. Saya tidak bisa hidup seperti ini.” Dan akhirnya ibunya pun mengundurkan diri dari jabatan pengawas. Padahal sang Ibu diberikan apresiasi bagus dari atasan-atasannya karena program-program pendidikan diniyahnya begitu bagus, tersusun dengan rapi dan sistematis. Namun ibunya lebih memilih mengundurkan diri.

Mungkin peserta workshop tadi terlalu lugu, takut, atau memang mempunyai rasa kepedulian yang tinggi terhadap negara. Telah ditulis di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2017 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2018. Di situ termaktub bahwa standar biaya lokal daerah Jawa Timur antara Rp. 225.000 sampai Rp. 285.000 untuk transportasi dari kota/kabupaten ke ibu kota provinsinya.

Antara kebutuhan dan standar nasional. Ketika terjadi seperti ini, semua kembali ke individu. Bila mengacu kepada kebutuhan versi tasawuf, maka tidak akan mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan. Karena hal berlebih tersebut yang akan dipertanyakan di akhirat kelak. Untuk hal yang pas atau dibutuhkan, tidak akan dipertanyakan. Sedangkan bila materialistik sudah tercapai, maka yang diutamakan adalah keuntungan finansial. Malah bisa dipastikan dia akan menulis lebih dari standar yang ada untuk mendapatkan keuntungan lebih.

Kemudian panitia memberikan uang ganti lebih dari apa yang dia tulis. Walaupun tidak semaksimal ketika dia menulis dengan nominal tinggi, dia bersyukur. Dia sudah berusaha jujur dengan keadaan, walau dengan sedikit keragu-raguan. Semoga uangnya bermanfaat bagi dirinya. Dan tidak merugikan negara dan kaum yang membutuhkan.


*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.