KH. Junaidi Hidayat saat menyampaikan mauidhah hasanah di Pesantren Tebuireng, (2017). (Foto: Kopi Ireng).

Oleh:  KH. Junaedi Hidayat

اَلْحَمْدُ لِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ أَمَّابَعْدُ.

 فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَالْعَصْرِ ،  إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.

Maasiral Muslimin Jamaah Jumah Rahimakumullah

Melalui khutbah jumah ini marilah kita memantapkan kembali kualitas ketakwaan kita kepada Allah Swt. dengan senantiasa menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah, dan meninggalkan segala hal yang dilarang oleh Allah. Dalam situasi apa pun, keadaan apa pun, kondisi apa pun, kita senantiasa imtitsal mematuhi terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah. Baik perintah ini al wajibat yang memang harus kita lakukan maupun perintah yang bersifat anjuran yang disebut al mandubat hal-hal yang dianjurkan.

Majalah Tebuireng

Kita tinggalkan segala yang dilarang di dalam agama kita baik larangan itu yang berupa al muharramat yang memang harus kita tinggalkan maupun larangan yang bersifat anjuran, sebaiknya kita tinggalkan disebut sebagai al makruhat. Kesadaran untuk mematuhi apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang ini menjadi modal atau kapital yang paling berharga untuk mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

Maasiral Muslimin Rahimakumullah

Bulan Ramadan ini adalah bulan yang penuh dengan keistimewaan. Kita bersyukur kepada Allah, karena telah memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa memasuki bulan yang penuh dengan kemuliaan ini. Allah memberikan kemuliaan dalam amal yang dilakukan oleh seorang hamba-Nya, bisa jadi terkait dengan dimensi waktu, atau terkait dengan dimensi tempat.

Ramadan ini, Allah memberikan keutamaan karena dimensi waktunya. Bahwa bulan Ramadan ini Allah mewajibkan puasa kepada kita. Seluruh dari amal yang kita lakukan baik puasa maupun ibadah lain, yang kita lakukan pada bulan ini, Allah memberikan keistimewaan dan keutamaan yang berbeda dibanding ketika kita melakukan di luar bulan Ramadan. Dimensi keutamaan ini terkait dengan “waktu” yaitu Ramadan.

Adakalanya dimensi keutamaan itu terkait dengan “tempat”. Masjid, diberikan oleh Allah keistimeaan yang khusus dibanding tempat selain masjid. Baik aspek hukum fikihnya, yang menyangkut tentang hal-hal yang berhubungan dengan masjid maupun keutamaan amalan-amalan yang dilakukan di dalam masjid, termasuk amalan khusus yang hanya bisa dilakukan di dalam masjid.

Oleh karena itu, ketika Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk memasuki bulan Ramadan ini, maka tentu harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Untuk bisa mendapatkan keutamaan itu secara penuh. Semaksimal mungkin kita raih, segala keistimewaan yang bisa diperoleh. Bukan hanya dengan puasanya saja, tetapi seluruh ‘amaliyah yang bisa kita lakukan di bulan Ramadan ini harus kita maksimalkan dengan sungguh-sungguh.

Qiyamu al-Lail, malam hari ketika kita harus melakukan shalat tarawih, shalat witir, shalat malam, I’tikaf terutama di 10 hari terakhir, sedekah, tadarus al-Quran, mencari ilmu, mengaji, seluruhnya itu adalah ‘amaliyah yang tentu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kemuliaan yang diberikan Allah di bulan Ramadan ini.

Ramadan ini adalah big sale, obral besar. Allah memberikan fasilitas yang begitu luar biasa. Sehingga ukurannya, seseorang di bulan Ramadan ini dengan seluruh fasilitas yang diberikan,  kok tidak juga bisa melakukan proses perbaikan diri, kok tidak juga bisa beribadah dengan nyaman, ini pertanda bahwa orang ini akan sulit untuk mendapatkan peluang melakukan sesuatu kebaikan diluar Ramadan.

Sehingga di dalam hadis nabi menyebutkan, ‘kalau di Ramadan saja tidak bisa melakukan kebaikan, fa mata, kapan lagi? Orang itu bisa melakukan kebaikan’. Ramadan ini waktu yang begitu hebat. Allah memberikan fasilitas, pahala dilipatgandakan dengan jumlah yang tidak terhingga. Allah sendiri yang turun tangan untuk memberikan pahala itu. Tidak lagi melalui proses pencatatan (amal) sebagaimana normalnya amal ibadah, dengan standar ganjaran yang sudah dinominalkan. Semua ibadah telah diberi Allah dalam banderol yang bisa kita hitung. Shalat jamaah, 27 derajat. Orang bersedekah, 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Dalam hitungan yang sudah ditentukan oleh Allah, hitungan-hitungan itu sudah ada, amalan yang kita lakukan diluar bulan Ramadan.

Tapi khusus untuk Ramadan ini, “as-Shoumu lii wa ana ajzii bihi”. Puasa ini adalah ibadah yang sangat privasi. Yang sangat pribadi, “yang hanya untuk Aku” kata Allah. Karena puasa ini adalah ibadah yang sangat kecil kemungkinannya untuk dipamerkan. Potensi untuk dipamerkan itu sangat kecil sekali. Berbeda dengan ibadah yang lain. Karena ibadah puasa ini adalah ‘ibadatun tarkiyyah, ibadah meninggalkan sesuatu. Tarku asy-Sya’I. Bukan ibadah yang fi’lu asy-Sya’I. Kalau ibadah yang lain itu hampir semua fi’lu sya’i.

Shalat, kita mengerjakan ada takbir, berdiri, ruku, sujud, membaca tahiyat, membaca surah al-Fatihah, itu semua “ada” yang dilakukan. Fi’lu sya’i. Haji juga begitu, ‘ibadah fi’liyyah. Ibadah yang didalamnya “melakukan sesuatu” sesuai yang ditentukan di dalam agama. Tapi khusus untuk puasa ini, ibadahnya adalah ibadah tarkiyyah. Tarku sya’i. Meninggalkan sesuatu, tidak makan, tidak minum, sehingga tidak bisa dipamerkan tidak ada “perbuatan” atau “ucapan” yang bisa dipamerkan kepada orang lain.

Seorang yang berpuasa maupun tidak itu sama saja, meskipun sama-sama ikut buka bersama. Tapi tidak kelihatan, mana yang buka karena berpuasa atau tidak puasa tapi ikut berbuka. Itu sama saja tidak kelihatan. Kenapa, karena tarku sya’i, ibadah yang karena “meninggalkan sesuatu” bukan “mengerjakan sesuatu”. Tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, ini adalah ibadatun tarkiyah, sehingga potensi untuk dipamerkan itu sangat kecil sekali.

Sehingga kita secara langsung terlibat di dalam suasana membentuk diri kita untuk menjadi orang punya kemampuan menahan dan mengendalikan diri atas nafsu kita. Direct, langsung kita terlibat dalam suasana lapar dan dahaga. Kalau ibadah lain, masih ada jarak. Orang shalat bisa saja, melaksanakan shalat tapi dia tidak berada (belum khusyuk) di dalam shalat. Untuk puasa tidak bisa, ketika orang berpuasa, dia akan lapar betul dan dahaga bener. Karena mubasyir, suasana itu langsung terlibat dalam diri kita dan kita langsung dididik dalam situasi dan suasana untuk mempunyai kemampuan dalam mengendalikan diri, dalam berlapar-lapar dan berdahaga.

Dalam situasi itulah, maka diharapkan seseorang itu mempunyai ketangguhan untuk melawan hawa nafsu, ketika nanti kita lepas dari bulan Ramadan ini. Dalam Ramadan, Allah memberikan fasilitas total kepada kita untuk enjoy dalam beribadah. Selepas Ramadan nanti, semua fasilitas dilepas kembali dan kita akan bertarung (dengan nafsu) secara normal. Oleh karena itu, kita manfaatkan dengan semaksimal mungkin, untuk santri: mengajilah semaksimal mungkin. Karena dengan mengaji itu kita bisa memanfaatkan sebagai syahrul ‘ilmi. Bulan untuk mencerdaskan diri kita, memahami agama ini dengan baik, sehingga kita menjadi seorang muslim yang baik.

Untuk masyarakat pun juga demikian : kita berusaha untuk menciptakan ini sebagai bagian membentuk diri kita dalam membangun proses kepedulian karena kita merasakan langsung lapar dan dahaga itu, sehingga kita mempunyai kemampuan untuk membangun kualitas hubungan sosial kita dengan sebaik-baiknya.

 

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ.  وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم

إنَّهُ تَعَالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ رَؤُوْفٌ الرَّحِيْمُ