Oleh: Aros*

Embrio Awal Poros Perempuan NU

Secara resmi Muslimat NU atau yang dulu disebut Nahdlatul Ulama Muslimat memang baru lahir pada 29 Maret 1946, berbarengan dengan Muktamar ke-16 di Purwokerto, namun fase perintisannya dimulai sejak muktamar XIII di Menes, Banten, 1938. Perjalanan panjang telah membuat Muslimat NU menjadi organisasi yang semakin matang dan terus meningkat kiprahnya bagi bangsa. Tetapi, perjuangan ini masih akan panjang dengan begitu banyak persoalan yang harus diatasi secara bersama-sama. Terlebih soal posisi perempuan dalam budaya dan tradisi masyarakat NU kala itu.

Kehadiran Muslimat NU menang tidak lepas dari kondisi sosial pada tahun 1930 yang didukung munculnya situasi emansipasi nasional dan kesadaran pendidikan bagi perempuan. Terlebih adanya kesadaran itu, dan mulailah dibentuk organisasi-organisasi perempuan bersifat regional dan keagamaan, merupakan tonggak penting dari pergerakan perempuan pada masa itu ditandai dengan diselenggarakannya kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta tahun 1928.

Eksistensi perempuan NU, mulai terlihat setelah dua belas tahun pasca lahirnya NU (1926), tepatnya dalam kongres ke-13 di Menes, Banten, pada tahun 1938. Para istri dan putri tokoh di lingkungan NU juga berkeinginan aktif berorganisasi untuk memperjuangkan berbagai persoalan yang menghinggapi perempuan, termasuk di antaranya adalah kedudukan dan peran sosial.

Majalah Tebuireng

Dalam momen kongres di Menes itu, aspirasi mereka diterima oleh para ulama NU dan untuk pertama kalinya, keterlibatan perempuan. Dalam momen itu, Muslimat mulai diterima sebagai anggota, tetapi belum diizinkan menjadi pengurus. Bahkan, sudah terdapat perwakilan perempuan yang menyampaikan pandangannya dalam pidato, yaitu Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah. Keduanya adalah perempuan NU pertama yang berbicara secara umum dalam momen besar NU yang di hadapan laki-laki.

Kemajuan mulai mulai terjadi dalam Muktamar ke-14 di Magelang (1939), Muslimat NU diberikan izin mendengar dari balik tabir, dan terdapat beberapa orang yang berbicara, malahan pimpinan sidang dipegang oleh Perempuan. 

Pada kongres tersebut, Nyai Djunaisih dari Bandung berkesempatan menyampaikan gagasannya akan pentingnya organisasi keperempuanan, ia merasa selama ini organisasi NU terlalu diwarnai oleh budaya partiarki. Menurut beliau tak hanya lelaki tapi perempuan pun harus mendapatkan pendidikan yang selaras dengan ajaran Islam dan hal tersebut bisa dilakukan melalui mengkoordinasikan para muslimat NU.

Di dalam agama Islam, bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum wanita yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama mesti bangkit.” (Nyai Hj. R. Djunaesih),”

Pernyataan ini merupakan sejarah cikal bakal alias embrio Muslimat NU lahir. Gagasannya didukung juga oleh Nyai Syarah yang berpendapat bahwa untuk melakukan itu perempuan perlu wadah pergerakan bagi perempuan. Beliau menyuarakan pentingnya perempuan berorganisasi dan berperan aktif tidak hanya di wilayah domestik. Pernyataan kedua tokoh perempuan itu, sangat meyakinkan untuk ukuran perempuan zaman itu. Para kiai dan ulama yang hadir terperangah. Kiai Wahab Hasbullah sang mentor pun berbangga.

Alhasil, sejak tampilnya Nyai Djunaesih dan Nyai Sitti Sarah itu, perempuan mulai mendapatkan perhatian dari kalangan tokoh NU. Setahun berjalan, pada kongres NU ke- 14 tahun 1939, Rapat Umum Muslimat NU pertama kali dilaksanakan yang dihadiri oleh para Muslimah perwakilan dari berbagai daerah.

Di antara yang ikut menyumbang gagasan selama rapat umum tersebut yaitu Ny. Saodah dan Ny. Gan Antang dari Bandung, Ny. Badriyah dari Wonosobo, Ny. Sulimah dari Banyumas, Ny. Istiqomah dari Parakan dan Ny. Alfiyah dari Kroya Cilacap.

Mulai Mendapatkan Ruang Luas

Dalam Kongres ke-15 NU di Surabaya, utusan muslimat dari berbagai daerah makin banyak yang datang. Kalau kongres sebelumnya muslimat telah diberi satu porsi sidang yang dipimpin wanita, walau di balik tabir, kali ini Musliamt diberikan kesempatan mengadakan rapat-rapat sendiri.

Tokoh yang getol membela Muslimat NU adalah KH. Muhammad Dahlan. Beliau bersama Kiai Wahab bahkan berbicara langsung dengan Rais Akbar Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari untuk bernego soal organasasi perempuan di tubuh NU untuk menandatangani surat persetujuan berdirinya organisasi tersebut.

Selasa, 10 Desember 1940, diadakan rapat tertutup di gedung Madrasah NU Bubutan Surabaya. Rapat dipimpin oleh Nyai Djunaisih dan sekretaris Siti Hasanah. Diputuskan:

  1. Pengesahan NU Muslimat
  2. Pengesahan Anggaran Dasar NUM oleh Kongres NU
  3. Adanya pengurus besar NUM
  4. Menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat madrasah Bannat
  5. Rencana menerbitkan majalah NUM bulanan

Diputuskan pengurus NUM:

  1. Ketua Nyai Hindun Surabaya
  2. Wakil Ketua Nyai R Djunaisih Bandung
  3. Penulis 1 Nn Sudinem Surabaya
  4. Penulis 2 Nyai Hasanah Indramayu
  5. Penulis 3 Nyai Rufiah Surabaya
  6. Bendahara 1 Nyai Marfuah Cirebon
  7. Bendara 2 Nyau Siri Salamah Tegal
  8. Pembantu Siti Maryam Surabaya, Siti Aisyah Jombang, dan Siti Ipah Bandung

Pada muktamar ke-16 di Purwokerto tahun 1946, Muslimat menjadi bagian resmi NU dengan nama bernama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang memiliki struktur kepengurusan sendiri, yang menangani berbagai masalah perempuan yang mereka hadapi. Karena itu, hari lahir Muslimat NU dicatat pada 29 Maret 1946 atau 26 Rabiul Akhir 1465.

Pengurus Muslimat pertama :

  1. Penasehat: Ny Fatmah Surabaya
  2. Ketua: Ny Chadijah Pasuruan
  3. Penulis: Ny Mudrikah
  4. Penulis II: Ny Muhajja
  5. Bendahara: Ny Kasminten Pasuruan
  6. Pembantu: Ny Fatehah
  7. Pembantu: Ny Musyarrafah Surabaya
  8. Pembantu: Ny Alfijah.

Mereka Yang Merintis, Tak Terdengar Lagi

Yang menarik dari perjuang para perintis yang nama-nama telah disebutkan di atas, yaitu ketidakinginan mereka terhadap jabatan, seperti Nyai Djunaesih, Nyai Hindun, Siti Hasanah, dll tidak bersedia menjadi pimpinan pusat, malah baru aktif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pada era 1950-an. Mereka memberikan mandat kepada perempuan-perempuan NU yang menurut mereka pas, yang dipimpin oleh Nyai Chadidjah Dahlan dan kawan-kawan.

Hingga saat ini data soal mereka-mereka-mereka sangat minim dan susah didapatkan. Para perintis itu, yaitu R. Djuanaisih Bandung, Nyai Sitti Sarah dari Menes, Nyai Saodah dari Bandung, Nyai Gan Atang dari Bandung, Nyai Badriyah dari Wonosobo, Nyai Sulimah dari Banyumas, Nyai Istiqomah dari Parakan, Nyai Alfiyah dari Kroya, Nyai Hindun dari Surabaya, Nyai Sudinem dari Surabaya, Nyai Hasanah Indramayu, Nyai Rufiah dari Surabaya, Nyai Marfuah dari Cirebon, Nyai Siti Salamah dari Tegal, Siti Maryam dari Surabaya, Siti Aisyah dari Jombang, dan Siti Ipah dari Bandung, lalu ada penerus lain Ny Fatmah Surabaya, Ny Chadijah Pasuruan, Ny Mudrikah, Ny Muhajja, Ny Kasminten Pasuruan , Ny Fatehah, Ny Musyarrafah Surabaya, Ny Alfijah, dan Nyai Yasin.

Barangkali nama-nama mereka asing di telinga para kader Muslimat NU, atau organisasi perempuan muda NU, seperti Fatayat, Kopri PMII, dan IPPNU. Padahal beliau-beliaulah yang membombardir tradisi kuno kaum nahdliyin saat itu soal perempuan. Sekarang perempuan NU dapat berjuang beriringan bersama dengan para kaum pria dalam NU. Bahkan, kader-kadernya dapat berkiprah di politik, sosial, ekonomi, dan kesehatan berkat perjuangan Nyai Djunaesih dan kawan-kawan. Harusnya nama-nama di atas, disematkan dalam monumen, ditulis dalam buku-buku, dikenang dalam pidato-pidato, sebagai perempuan-perempuan hebat dari kalangan NU yang juga berjuang untuk perempuan pada umumnya.


Sumber: Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama karya KH. Saifuddin Zuhri dan Tim Penyusun 

50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa karya Ny Hj. Asmah Sjahruni dan Tim Penyusun