BerandaOpiniPalestina, NU, dan Israel

Palestina, NU, dan Israel

Foto: Razan Al Najjar, paramedis yang tewas ditembak Israel dalam aksi demo Great March Return (1 Juni 2018)

Oleh: Dina Sulaiman*

Sejak sebelum Ramadan, saya mendapat kiriman beberapa e-flyer tentang kedatangan “imam dari Palestina”. Mereka didatangkan oleh lembaga-lembaga amal yang memang sudah biasa menggalang dana untuk Palestina. 

Solidaritas global kaum Muslim untuk membantu Palestina sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu. Di Indonesia, tahun 1938 (saat itu bahkan kita belum merdeka), dalam Muktamar NU ke-13 (12-15 Juli) di Banten, KH. Abdul Wahab Chasbullah sudah menyerukan penggalangan bantuan untuk Palestina. Saat itu, Palestina berada di bawah penjajahan Inggris.  

Inggris angkat kaki dari Palestina pada 14 Mei 1948 dan di hari yang sama komunitas Zionis mendeklarasikan berdirinya Israel. Persiapan pendirian Israel sudah dimulai jauh hari. Tahun 1917, Menlu Inggris Lord Balfour, sudah menjanjikan kepada pemimpin komunitas Yahudi Inggris, Lord Rothschild bahwa Inggris akan mendirikan negara (“a national home for Jewish people”).

Saat itu, bahkan hingga kini, mayoritas penduduk Palestina adalah Muslim. Jadi sangat wajar, bahkan memang diharuskan dalam agama, bagi setiap Muslim untuk membantu saudaranya yang sedang menderita dalam penjajahan. Bahkan ketika diri sendiri dalam kondisi terjajah. Itulah spirit seruan KH. Abdul Wahab pada tahun 1938. 

Kini pun, tidak salah jika organisasi-organisasi keislaman menyerukan penggalangan dana untuk membantu Palestina. Orang susah di sekitar kita wajib dibantu, tapi tidak salah kalau di saat yang sama kita bantu juga orang-orang yang jauh.

Masalahnya adalah, trust, kepercayaan. Sejauh mana kita percaya pada lembaga yang mengumpulkan donasi itu? Masalah kepercayaan ini berlaku untuk isu apapun.

Apalagi, bila lembaga donasi itu sudah terbukti melakukan kebohongan terbesar abad ini: perang Suriah. Selama 7-8 tahun terakhir, lembaga-lembaga tersebut membangkitkan kemarahan dan simpati publik dengan kebohongan: kaum Sunni dibantai rezim Syiah di Suriah. Adakah yang lebih keji daripada orang yang menyebar kebohongan demi meraup uang? Jangan lupakan bahwa lembaga-lembaga donasi itu berhak mendapatkan sekian persen dari dana yang terkumpul.

Inilah nestapa Palestina, selalu saja ada yang ‘menggunting dalam lipatan (berkhianat). 

Kondisi faktual Palestina yang terjajah selalu saja dikaburkan oleh pengkhianatan dan disinformasi: 

(1) Para elit Palestina saling berseteru (Hamas vs Fatah)

(2) Ada elit Palestina yang hidup mewah & kalangan yang memanfaatkan kondisi untuk mencari kekayaan.

(3) Menggunakan fakta no. 1 dan 2 untuk merendahkan Palestina, seolah-olah mereka pantas dijajah, tanah dan rumah mereka dirampas (perampasan masih terus berlangsung hingga kini) gara-gara no. 1 dan 2 itu.

(4) Dalam perang Suriah, sebagian pejuang Palestina (sebagian faksi di Hamas) bukannya membela Presiden Assad yang memberi logistik untuk mereka selama puluhan tahun, malah membantu para teroris untuk menggulingkan Assad. Meski akhirnya mereka mundur dan menyatakan akan fokus memperjuangkan Palestina, tapi dosa pengkhianatan mereka tidak bisa dihapus sampai kapanpun.

Tapi lagi-lagi, no. 4 ini tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk berhenti mendukung Palestina. 

(5) Israel didirikan dengan mengusir 800.000 orang Palestina pada tahun 1948, lalu 300.000 orang lagi diusir tahun 1967, dan berbagai pengusiran yang terus berlangsung hingga hari ini. Dalam puluhan tahun ini, populasi mereka bertambah (punya anak, cucu, dst.), sehingga totalnya, ada 7 juta orang Palestina yang berada di pengungsian, baik di luar Palestina, maupun di dalam wilayah Palestina (Gaza & Tepi Barat).

Ada sebagian pengungsi yang tetap berada di kawasan Israel dan menjadi warga kelas dua (mengalami sangat banyak diskriminasi dan sewaktu-waktu bisa diusir; tapi tetap wajib ikut wajib militer). Kisah ini dipakai oleh ZSM: orang Arab aja mau kok jadi warga Israel, bahkan jadi tentara, ngapain kalian sok-sok bela Palestina?

(6) Gaza sudah 12 tahun diblokade Israel, dihalangi akses terhadap kebutuhan pokok, 50% hidup di bawah garis kemiskinan, 40% menganggur, hanya 5% air yang layak minum (sisanya terpolusi berat), listrik menyala hanya 4 jam sehari, 68% warga mengalami food-insecurity (tidak cukup pangan).  

Sejak Maret 2018, setiap Jumat, para pemuda Gaza melakukan aksi demo di perbatasan Gaza-Israel. Awalnya mereka demo damai, tapi malah ditembaki dengan peluru tajam dan gas air mata. Lebih 250 orang tewas dan belasan ribu lain terluka. 

Tapi ketika mereka hanya melawan sebisanya, dengan melempar batu atau layang-layang yang diisi bola api, para fans Israel, serta media mainstream di seluruh dunia berteriak: Kalian Melakukan Kekerasan!

Ketika aksi demo tak jua bisa dibungkam dan Israel membombardir dengan bom berkekuatan besar, lalu dibalas dengan roket-roket, lalu dibalas kembali dengan aksi bombardir yang  lebih besar lagi, dunia berteriak:

(a) yang pro-Palestina (tapi kurang paham sikon): pejuang Palestina seharusnya tidak melakukan kekerasan! Ini malah dijadikan alasan oleh Israel untuk menyerang! Sudahlah, damai aja! 

(b) yang pro-Israel: lihat, ini buktinya, mereka itu teroris! Israel selama ini hanya melindungi dirinya dari teroris!

Baik (a) maupun (b) sedang melakukan falasi (kesalahan logika): non causa pro causa (kesalahan menetapkan mana sebab, mana akibat). Ibarat menonton film, mereka menilai perilaku si tokoh yang memukul lawannya pada menit ke-30, tanpa peduli apa yang terjadi di menit sebelumnya. 

Palestina adalah bangsa yang terjajah, itu fakta. Bagi yang masih berusaha mengaburkan fakta ini, silahkan baca ulang tulisan ini. Dan membantunya, adalah kewajiban bagi semua manusia yang bernurani. Namun bila ingin berdonasi, sebaiknya pilih lembaga yang tidak punya rekam jejak kebohongan soal Suriah. 


*Pengamat Politik Timur Tengah.

Exit mobile version